Selasa, 31 Januari 2012

ADAP BERDEBAT DAN BERDIALOG

ADAB BERDEBAT DAN BERDIALOG

Debat dan dialog adalah diskusi antara dua orang atau lebih untuk menyelesaikan permasalahan atau perselisihan yang timbul. Pada umumnya semua perlakuan dan acara dalam hidup ini perlu mempunyai etika untuk dipegang sebagai perkara dasar dalam gerakan kita. Selari dengan itu etika untuk berdebat dan berdialog perlu diketahui dan dipatuhi supaya tidak terjadi perselisihan dalam menyelesaikan masalah yang ada. Etika ini perlu kita hormati agar kita dapat menghormati orang yang kita lawan bicara dan khalayak ramai yang ada. Tidak kurang pentingnya kita perlu mematuhi etika ini agar orang lain akan menghormati kita sebagai insan yang profesional, sabar dan rasional.

Allah berfirman didalam kitabNya :

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’, 4:59)

Abu Umamah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Aku menjamin sebuah rumah di pinggiran syurga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar, dan sebuah rumah di tengah syurga bagi orang yang meninggalkan dusta, dan sebuah rumah di puncak syurga bagi orang yang memperelokkan akhlaknya.” (H.R. Abu Dawud, Hasan)

Menurut Islam debat dan berdialog terbahagi kepada dua:

1. Debat & dialog yang disyariatkan – Iaitu yang bertujuan mencari dan menjunjung kebenaran, yang dilandasi adab dan dalil sehingga dapat menjadi sarana penyampaian dakwah. Dialog dan debat seperti ini lebih fokus kepada saling menepatkan dalil masing - masing kepada qur an dan hadis mengikut paham para sahabat Nabi saw.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

( فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ )

Maksudnya : “ Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham …“. [HR Abu Daud : 4607, al-Tirmidzi : no.2676]


2. Debat yang tercela – Yakni yg bertujuan hanya ingin menang, membela diri atau kelompoknya, tak ada niat untuk mencari kebenaran. Jauh dari pada adab dan tidak bersandarkan kepada dalil, lebih fokus kepada menjatuhkan seseorang bukan melemahkan argumentasi.

ADAB BERBICARA

1. Semua pembicaraan harus kebaikan, (QS 4/114, dan QS 23/3), dalam hadits nabi SAW disebutkan:

“Barangsiapa yang beriman pada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.” (HR Bukhari Muslim)

2. Berbicara harus jelas dan benar, sebagaimana dalam hadits Aisyah ra:

“Bahwasanya perkataan rasuluLLAH SAW itu selalu jelas sehingga bias difahami oleh semua yang mendengar.” (HR Abu Daud)

3. Seimbang dan menjauhi bertele-tele, berdasarkan sabda nabi SAW:

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat ialah orang yang banyak omong dan berlagak dalam berbicara.” Maka dikatakan: Wahai rasuluLLAH kami telah mengetahui arti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa makna al-mutafayhiqun? Maka jawab nabi SAW: “Orang2 yang sombong.” (HR Tirmidzi dan dihasankannya)

4. Menghindari banyak berbicara, karena kuatir membosankan yang mendengar, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Wa’il:

Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami setiap hari Kamis, maka berkata seorang lelaki: Wahai abu AbduRRAHMAN (gelar Ibnu Mas’ud)! Seandainya anda mau mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu Mas’ud : Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu, hanya aku kuatir membosankan kalian, karena akupun pernah meminta yang demikian pada nabi SAW dan beliau menjawab kuatir membosankan kami (HR Muttafaq ‘alaih)

5. Mengulangi kata-kata yang penting jika dibutuhkan,

dari Anas ra bahwa adalah nabi SAW jika berbicara maka beliau SAW mengulanginya 3 kali sehingga semua yang mendengarkannya menjadi faham, dan apabila beliau SAW mendatangi rumah seseorang maka beliau SAW pun mengucapkan salam 3 kali. (HR Bukhari)

6. Menghindari mengucapkan yang bathil, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai ALLAH SWT yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh ALLAH SWT keridhoan-NYA bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai ALLAH SWT yang tidak dikiranya akan demikian, maka ALLAH SWT mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

7. Menjauhi perdebatan sengit, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan hidayah untuk mereka, melainkan karena terlalu banyak berdebat.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Dan dalam hadits lain disebutkan sabda nabi SAW:

“Aku jamin rumah didasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.” (HR Abu Daud)

8. Menjauhi kata-kata keji, mencela, melaknat, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Bukanlah seorang mu’min jika suka mencela, mela’nat dan berkata-kata keji.” (HR Tirmidzi dengan sanad shahih)

9. Menghindari banyak canda, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi ALLAH SWT di hari Kiamat kelak ialah orang yang suka membuat manusia tertawa.” (HR Bukhari)

10. Menghindari menceritakan aib orang dan saling memanggil dengan gelar yang buruk, berdasarkan QS 49/11, juga dalam hadits nabi SAW:

“Jika seorang menceritakan suatu hal padamu lalu ia pergi, maka ceritanya itu menjadi amanah bagimu untuk menjaganya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menghasankannya)

11. Menghindari dusta, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Tanda-tanda munafik itu ada 3, jika ia bicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika diberi amanah ia khianat.” (HR Bukhari)

12. Menghindari ghibah dan mengadu domba, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba ALLAH yang bersaudara.” (HR Muttafaq ‘alaih)

13. Berhati-hati dan adil dalam memuji, berdasarkan hadits nabi SAW dari Abdurrahman bin abi Bakrah dari bapaknya berkata:

Ada seorang yang memuji orang lain di depan orang tersebut, maka kata nabi SAW: “Celaka kamu, kamu telah mencelakakan saudaramu! Kamu telah mencelakakan saudaramu!” (2 kali), lalu kata beliau SAW: “Jika ada seseorang ingin memuji orang lain di depannya maka katakanlah: Cukuplah si fulan, semoga ALLAH mencukupkannya, kami tidak mensucikan seorangpun disisi ALLAH, lalu barulah katakan sesuai kenyataannya.” (HR Muttafaq ‘alaih dan ini adalah lafzh Muslim)

Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata: Berdiri seseorang memuji seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad secara berlebih-lebihan, maka Miqdad mengambil pasir dan menaburkannya di wajah orang itu, lalu berkata: Nabi SAW memerintahkan kami untuk menaburkan pasir di wajah orang yang gemar memuji. (HR Muslim)

ADAB MENDENGAR

1. Diam dan memperhatikan (QS 50/37)
2. Tidak memotong/memutus pembicaraan
3. Menghadapkan wajah pada pembicara dan tidak memalingkan wajah darinya sepanjang sesuai dengan syariat (bukan berbicara dengan lawan jenis)
4. Tidak menyela pembicaraan saudaranya walaupun ia sudah tahu, sepanjang bukan perkataan dosa.
5. Tidak merasa dalam hatinya bahwa ia lebih tahu dari yang berbicara

ADAB MENOLAK / TIDAK SETUJU

1. Ikhlas dan menghindari sifat senang menjadi pusat perhatian
2. Menjauhi ingin tersohor dan terkenal
3. Penolakan harus tetap menghormati dan lembut serta tidak meninggikan suara
4. Penolakan harus penuh dengan dalil dan taujih
5. Menghindari terjadinya perdebatan sengit
6. Hendaknya dimulai dengan menyampaikan sisi benarnya lebih dulu sebelum mengomentari yang salah
7. Penolakan tidak bertentangan dengan syariat
8. Hal yang dibicarakan hendaknya merupakan hal yang penting dan dapat dilaksanakan dan bukan sesuatu yang belum terjadi
9. Ketika menolak hendaknya dengan memperhatikan tingkat ilmu lawan bicara, tidak berbicara di luar kemampuan lawan bicara yang dikuatirkan menjadi fitnah bagi diri dan agamanya
10. Saat menolak hendaknya menjaga hati dalam keadaan bersih, dan menghindari kebencian serta penyakit hati.

Diantara pandangan para ulama tentang debat dan dialog adalah :

Telah berkata Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah didalam kitab beliau Al-Faqih wal-Mutafaqqih :

ينبغي للمجادلِ، أن يُقَدّم على جدَالهِ تقوى اللهِ تعالى، لقول سبحانه : (فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)، ولقوله : (إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ).
ويُخْلِصُ النِّية في جداله، بأنْ ينبغي به وجه الله تعالى. وليكن قصده في نظره إيضاح الحق، وتثبيته دون المغالبة للخصم..

“Menjadi satu keharusan bagi orang yang berdebat untuk mengutamakan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dalam perdebatannya, sebagaimana firman Allah subhaanahu (wa ta’ala) : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16]. Dan juga firman-Nya : “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” [QS. An-Nahl : 128].

Orang yang berdebat harus mengikhlashkan niat dalam perdebatannya tersebut semata-mata hanya mengharap wajah Allah ta’ala. Kemudian tujuan yang ia harapkan adalah untuk menunjukkan dan mengokohkan kebenaran (al-haq), tanpa harus mengalahkan lawan debatnya.

قال الشافعي : ما كلمتُ أحدًا قط إلا أحببتُ أن يُوفقَ ويسدد ويعانَ، ويكونَ عليه رعايةٌ من اللهِ وحفظٌ، وما كلمتُ أحدًا قط إلا ولم أبالِ بيين اللهُ الحقَّ على لساني أو لسانه

Telah berkata Asy-Syafi’iy : ‘Aku tidak pernah berbicara kepada seorangpun melainkan aku berharap agar ia ditetapkan dan ditolong dalam kebenaran, serta menjadikan pembicaraanku tadi sebagai petunjuk dan bimbingan Allah kepadanya. Dan aku tidaklah peduli – saat berbicara pada seseorang – apakah Allah akan memberikan kebenaran melalui lisanku atau lisan orang lain” (Aadaabusy-Syaafi’iy wa Manaaqibuhu oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 91)

ويبني أَمْرُهُ على النصيحة لدين الله، وللذي ويُجادله، لأَنَّهُ أخوهُ في الدين، مع أنَّ النصيحةَ واجبةٌ لجميع المسلمين

Dan agar ia melandasi semua tindakannya di atas nasihat kepada agama Allah dan kepada orang yang didebatnya. Tidak lain adalah karena ia merupakan saudaranya seagama, dan juga bahwasannya nasihat itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi seluruh kaum muslimin”.


http://abul-jauzaa.blogspot.com

MENANGKIS FITNAH SIRAJJUDIN ABAS KEATAS SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH

Menangkis Fitnah K.H Sirajuddin Abbas al-Jahmiyyah Ke Atas Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah

Menangkis Fitnah K.H Sirajuddin Abbas al-Jahmiyyah Ke Atas Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah


Menangkis Fitnah K.H Sirajuddin Abbas al-Jahmiyyah
Ke Atas Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah
Sebagai Pencetus Akidah Al-Mujassimah dan Al-Musyabbihah.

Penulis artikel: Mohd Hairi bin Nonchi
Pendidikan Sains Sosial, Universiti Malaysia Sabah.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah ialah nama yang tidak asing lagi di sisi para pendukung dan pencinta al-Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mengingatkan sumbangannya yang begitu besar di dalam meneruskan kesinambungan usaha memelihara dan mendakwahkan al-Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada umat manusia serta berusaha gigih memeliharanya dari sebarang unsur luar yang menghakis ketulenannya.

Siapakah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah ?

Nama penuh beliau ialah Ahmad bin ‘Abd al-Halim bin ‘Ab al-Salam al-Harani, merupakan seorang Imam Mujtahid yang dilahirkan pada tahun 661H dan meninggal dunia pada tahun 728H di Damsyik. Beliau terkenal sebagai seorang yang bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu-ilmu agama sehingga akhirnya beliau telah menjadi seorang yang amat pakar di dalam bidang keilmuan seperti bidang usul, hadis, tafsir, fiqh, bahasa, syari’at, mantik, falsafah, perbandingan agama dan pelbagai lagi. Beliau juga begitu terkenal sebagai seorang ulamak Islam yang banyak berkarya sehingga mencapai beratus-ratus judul (diterangkan bahawa beliau memiliki lebih kurang 300 buah karya) dan kitab beliau yang paling terkenal adalah bertajuk Majmu’ al-Fatwa.

Pandangan tokoh-tokoh Islam ke atas Syaikhul Islam.

Setelah kita mengetahui serba sedikit mengenai latar belakang Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah, maka ada baiknya kita melihat pula apakah pandangan para imam muktabar Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang bermanhaj al-Salaf al-Shalih ke atas Syaikhul Islam.

· Pertama: Pujian al-Hafiz al-Zahabi rahimahullah (w.748H), seorang tokoh agung dalam Ilmu Hadis - yang juga merupakan murid Ibn Taimiyyah – menyenaraikan gurunya itu di dalam kitabnya Tazkirah al-Huffaz yang dikhaskan untuk para hafiz dalam hadis. Beliau memuji Ibn Taimiyyah dengan pujian yang sangat hebat juga menggelarnya dengan gelaran Syaikhul Islam, antara lain katanya:

"Ibn Taimiyyah: Seorang syaikh, imam, al-`allamah (sangat alim), al-hafiz (dalam hadis), seorang yang kritis, mujtahid, penafsir (al-Quran) yang mahir, beliau adalah syaikhul Islam….dari lautan ilmu, dari para cendikiawan yang terbilang, dari golongan zuhud yang sukar dicari, dari tokoh-tokoh yang berani dan pemurah lagi mulia, dipuji oleh penyokong dan penentang." [Dinukil daripada buku Himpunan Risalah Dalam Beberapa Persoalan Ummah (Buku 3); dalam edisi e-book, Hafiz Firdaus Abdullah (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2005), ms. 115].

· Kedua: Pujian al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani rahimahullah (w.852H) dalam kitabnya al-Durar al-Kaminah menceritakan mengenaikan fitnah yang dikenakan kepada Ibn Taimiyah, sehingga beliau menyebut:

"Ibn Taimiyyah terus dipenjara sehingga kembali ke rahmat Allah. Kepada Allah juga kembali segala urusan. Dia memerhatikan mereka yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada. Hari kematian Ibn Taimiyyah itu menjadi bukti, manusia memenuhi jalan menyambut jenazahnya, orang Islam datang dari serata pelusuk. Mereka mengambil keberkatan dengan menghadiri jenazahnya, pada hari yang ditegakkan bukti, mereka semua ingin memegang kerandanya sehingga patah kayunya …… Ibn Taimiyyah imam kepada semua para imam, keberkatan umat, yang sangat alim di kalangan ulama, pewaris para anbiya." Sehinggalah beliau juga menggelarnya sebagai “Syeikhul Islam”. [Dinukil daripada buku Himpunan Risalah Dalam Beberapa Persoalan Ummah (Buku 3), ms. 116].

· Ketiga: Pujian al-Imam Sayuti rahimahullah (w.911H) juga menyenaraikan Ibn Taimiyyah dalam senarai para huffaz hadis (para hafiz hadis), iaitu dalam kitabnya Tabaqat al-Huffaz. al-Imam Sayuti yang bermazhab Syafi’i itu memperkenalkan Ibn Taimiyyah seperti berikut:

"Ibn Taimiyyah, seorang syaikh, imam, al-`allamah (sangat alim) hafiz, seorang yang kritis, faqih, mujtahid, seorang penafsir al-Quran yang mahir, Syeikhul Islam, lambang golongan zuhud, sangat sedikit sepertinya di zaman ini …… salah seorang tokoh terbilang …… memberi perhatian dalam bidang hadis, memetik dan menapisnya, pakar dalam ilmu rijal (para perawi), `illal hadis (kecacatan tersembunyi hadis) juga fiqh hadis, ilmu-ilmu Islam, ilmu kalam dan lain-lain. Dia daripada lautan ilmu, daripada cendikiawan yang terbilang, golongan zuhud dan tokoh-tokoh yang tiada tandingan." [Dinukil daripada buku Himpunan Risalah Dalam Beberapa Persoalan Ummah (Buku 3), ms. 116-117].

· Keempat: Pujian al-Imam al-Subki rahimahullah (w.756H), iaitu seorang ahli tafsir dan ahli dalam medan debat terkemuka bermazhab Syafi'e. Beliau berkata mengenai Ibn Taimiyyah semasa menjawab surat gurunya, al-Hafiz al-Zahabi yang memarahinya di atas perkataannya terhadap Ibn Taimiyyah sebelum ini dimana dia berkata:

"Adapun apa yang tuan katakan mengenai al-Syaikh Taqiyuddin (Ibn Taimiyyah), maka hamba ini (saya) telah pun pasti ketinggian kemampuannya, limpahan dan keluasan lautan ilmunya dalam naql (al-Qur'an dan al-Sunnah) dan akal, kehebatan dan kebijaksanaan dan ijtihadnya, juga dia mencapai kesemuanya itu lebih dari yang disifatkan. Hamba ini (saya) sentiasa akan mengakuinya. Nilainnya (Ibn Taimiyyah) pada diri ini lebih besar dan mulia dari segalanya. Dengan apa yang telah Allah himpunkan padanya dari sifat zuhud, warak, kuat beragama, membela dan menegakkan agama kebenaran semata-mata kerana Allah. Dia melalui perjalanan ulamak salaf dengan sepenuhnya, sangat asing orang sepertinya pada zaman ini bahkan di mana-mana zaman pun." [Dinukil daripada buku Menangkis Pencemaran Terhadap Agama & Tokoh-Tokohnya, Dr. Mohd Asri Zainul Abidin (Karya Bestari Sdn Bhd, Selangor, 2005), ms. 123].

Demikianlah beberapa pujian dan pengiktirafan yang diberikan oleh para ulamak muktabar Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah terhadap Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah. Sungguhpun demikian pujian dan pengiktirafan yang telah diberikan oleh para ulamak muktabar Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah ke atas beliau rahimahullah, namun di sebalik itu semua masih ada lagi segolongan manusia yang dilihat begitu tegar di dalam memerangi dakwah Syaikhul Islam.

Di antara fitnah yang sering dilontarkan oleh para musuh Syaikhul Islam terhadap beliau ialah termasuklah menganggap beliau sebagai pencetus kepada akidah al-Mujassimah, iaitu meyakini Allah sebagai Tuhan yang beranggota (berjisim) dan al-Musyabbihah, iaitu menganggap Allah sebagai Tuhan yang memiliki sifat yang sama dengan sifat makhluk. Keadaan ini semakin menjadi berat apabila kebanyakan fitnah tersebut adalah dilontarkan oleh sebahagian "golongan agamawan", terutamanya dari kalangan para penganut amalan kesufian yang menyeleweng dan golongan jahil yang sememangnya memiliki manhaj yang bertentangan dengan manhaj al-Salaf al-Shalih dalam persoalan akidah (khususnya yang berkaitan dengan perkara tauhid al-Asma' wa al-Sifat). Antara individu yang paling lantang melontarkan fitnah ke atas Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah termasuk yang berada di Malaysia ialah:

· Zamihan Mat Zain al-Ghari menerusi buku yang bertajuk Salafiyah Wahabiyah Satu Penilaian yang diterbitkan oleh Tera Jaya Enterprise, Cheras, 2001 dan beberapa kertas kerjanya seperti Menjawab Kritikan Terhadap Fahaman Wahabiyah Di Malaysia dan Memahami Ancaman Terhadap Ahli Sunnah Wal Jamaah.

· K.H Sirajuddin Abbas menerusi bukunya yang bertajuk I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jakarta Selatan, 2008.

· ‘Abdullah al-Siddiq al-Ghumari menerusi bukunya yang kini sudah diterjemahkan atas judul Makna Sebenar Bid’ah: Satu Penjelasan Rapi, terbitan Middle East Global, Kuala Lumpur, 2005.

Walau bagaimanapun, kesemua fitnah, pengkhianatan, pembohongan dan penyelewengan ilmiah para pemfitnah dan pendusta di atas telah pun dibongkar dan dijawab semula oleh para pendukung dan pencinta Sunnah tanah air. Silalah rujuk buku-buku berikut di bawah ini bagi mengetahui apakah bentuk fitnah, pengkhianatan, pembohongan dan penyelewengan ilmiah yang dilakukan oleh para pemfitnah dan pendusta di atas dalam menjustifikasikan fitnah-fitnah yang dilontarkan oleh mereka terhadap Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berserta jawapan Ahli Sunnah terhadapnya:

1) Menjawab 17 Fitnah Terhadap Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, Syaikh Murad Syukri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru).

2) Pembongkaran Jenayah Ilmiyah Buku Salafiyah Wahabiyah: 73 Penilaian Semula Ke Atas Penilaian Zamihan Mat Zain al-Ghari, Hafiz Firdaus Abdullah (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru).

3) Menangkis Pencemaran Terhadap Agama & Tokoh-Tokohnya, Dr Mohd Asri Zainul Abidin (Karya Bestari Sdn Bhd, Selangor).

4) Siapakah Ahli Sunnah Yang Sebenar, Dr Azwira Abd Aziz (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru).

5) Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah Menurut Manhaj Salaf As-Soleh (Jilid 1), Ustaz Rasul Dahri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru).

Sekilas mengenai fitnah K.H Sirajuddin Abbas ke Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah.

Ingin ditarik perhatian para pembaca yang budiman sekalian kepada salah seorang tokoh pemfitnah dan pendusta yang cukup masyhur di Indonesia iaitu K.H Sirajuddin Abbas yang merupakan salah seorang pembawa bendera al-Jahmiyyah dan salah seorang pemimpin besar quburiyyun (pemuja qubur). Menerusi bukunya yang bertajuk I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, beliau didapati telah pun menabur begitu banyak fitnah dan pendustaan yang tidak berasas ke atas Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah. Di antaranya yang paling masyhur ialah beliau mendakwa bahawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah sebagai penganut akidah al-Mujassimah dan al-Musyabbihah, lantas dengan itu beliau menjatuhkan hukum "sesat" kepada tokoh tersebut dan mereka yang sealiran dengan pegangan Syaikhul Islam. Bagi menguatkan dakwaan ini, berikut dinukilkan beberapa contoh fitnah oleh K.H Sirajuddin Abbas ke atas Syaikhul Islam sebagaimana yang dimaksudkan berserta koreksi Ahli Sunnah ke atasnya, antara lain beliau berkata:

"Bagi Ibn Taimiyyah Tuhan mempunyai muka, tangan, mata, rusuk, duduk bersela, datang dan pergi dan Cahaya langit dan bumi, karena hal itu semuanya tersebut dalam al-Quran, katanya. Tuhan berada di atas langit, boleh ditunjuk dengan anak jari, mempunyai tumit kaki, mempunyai tangan kanan, mempunyai nafas, naik-turun dan Tuhan itu "masa", karena semuanya itu tersebut dalam Hadits yang sahih-sahih, kata Ibnu Taimiyah. Jadi beliau sebenarnya harus dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah atau Musyabbihah, karena ada persamaannya dalam I'tiqad" [I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, K.H Sirajuddin Abbas (Pustaka Tarbiyah Baru, Jakarta Selatan, 2008), ms. 300].

Sekian "fatwa" yang dikeluarkan oleh K.H Sirajuddin Abbas terhadap Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah. Bagi menjawab tuduhan yang dilontarkan oleh tokoh al-Jahmiyyah terhadap Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah di atas, berikut akan saya turunkan beberapa penjelasan oleh Ahli Sunnah terhadapnya yang saya nukilkan secara ringkas daripada buku Koleksi Kuliah-Kuliah Akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah Menurut Manhaj Salaf As-Soleh, Jilid 1, Ustaz Rasul Dahri (Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru, 2001), halaman 12-19:

Pada hakikatnya, bukan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah seorang sahaja yang menyatakan bahawa Tuhan mempunyai muka, mempunyai tangan, mempunyai mata, mempunyai jari, berada di langit serta mempunyai sifat-sifat lain yang paling sempurna dan layak bagi-Nya. Oleh itu beliau tidak boleh dihukum sesat oleh K.H Sirajuddin dan oleh mereka yang terpengaruh dengan fahaman K.H Sirajuddin.Dalam hal ini, fahaman, pegangan dan amalan Ibn Taimiyyah adalah berdasarkan fahaman para sahabat, tabi'in, tabi'ut at-tabi'in dan semua para ulamak Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang bermanhaj al-Salaf al-Shalih, kerana kenyataannya beliau bersefahaman, sependapat dan seakidah dengan mereka. Antara mereka yang jelas semanhaj (sefaham dan seakidah) dengan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah ialah:

· Pertama: al-Imam al-Auza'i rahimahullah yang dianggap Imam ahli Syam di zamannya. Beliau menegaskan:

"Kami dan para tabi'in semuanya menetapkan dengan kesepakatan (ijmak) qaul kami bahawa: Sesungguhnya Allah di atas 'Arasy-Nya dan kami beriman dengan apa yang telah dinyatakan oleh al-Sunnah berkenaan sifat-sifat Allah Ta'ala." [Fathul Bari, Ibn Hajar al-'Asqalani, jld. ms. 406, (Dar Ihya at-Turath al-Arabi, Beirut)].

· Kedua: al-Imam Abu Hasan al-Asy'ari rahimahullah yang dikenali sebagai Imam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, beliau telah menegaskan bahawa al-Qur'an bukan makhluk dan diturunkan oleh Allah yang berada di langit dan beliau seterusnya menjelaskan:

"Allah mempunyai sifat, mempunyai tangan, bersemayam di atas 'Arasy-Nya dan mempunyai muka. Al-Qur'an itu Kalamullah bukan makhluk dan al-Qur'an diturunkan dari langit" [Iktiqad Aimmatul Hadits, Ismaili, ms. 50-51].

· Ketiga: al-Imam asy-Syafi'e menjelaskan (sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Talib setelah beliau ditanya tentang sifat Allah:

"Dan bagi-Nya dua tangan sebagaimana firman-Nya: "(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka". Bagi-Nya tangan sebagaimana firman-Nya: "Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya". Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya: "Setiap sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya". Bagi-Nya kaki sebagaimana sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam: "Sehinggalah Dia meletakkan wajah dan kaki-Nya". Dia mempunyai jari sebagaimana sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam: "Tiadalah hati itu kecuali jari-jari dari jari-jari Ar-Rahman (Allah)". Kami (Imam asy-Syafi'e dan para ulamak Ahli Sunnh lainnya –pen) menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan dari penyerupaan sebagaimana dinafikan sendiri oleh Allah sebagaimana difirmankan: "Tiada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat." [Iktikad Qimmah al-Arba'ah, Abu Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, (cetakan pertama Darul 'Asimah Saudi Arabia), ms. 46-47].

al-Imam asy-Syafi'e rahimahullah seterusnya menjelaskan lagi:

"Kita menetapkan sifat-sifat (Allah) sebagaimana yang didatangkan oleh al-Qur'an dan yang warid tentang-Nya dari al-Sunnah, kami menafikan tasybih (penyerupaan) tentang-Nya kerana dinafikan oleh diri-Nya sendiri sebagaimana firman-Nya (Tiada sesuatu yang semisal dengan-Nya." [Iktikad Qimmah al-Arba'ah, Abu Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, , ms.42].

al-Imam asy-Syafi'e rahimahullah telah menjelaskan juga tentang turun naiknya Allah:

"Sesungguhnya Dia (Allah) turun setiap malam ke langit dunia (sebagaimana) menurut khabar dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam." [Iktikad Qimmah al-Arba'ah, Abu Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, , ms.47].

Imam asy-Syafi'e rahimahullah dan Ibn Taimiyyah, mereka berdua ada kesepakatannya dalam meyakini tentang turun-naiknya Allah. Mereka berlandaskan kepada sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam (yang bermaksud):

"Tuhan kita turun ke langit dunia pada setiap malam apabila sampai ke satu pertiga dari akhir malam, maka Dia berfirman: Sesiapa yang berdoa akan Aku perkenankan, sesiapa yang meminta akan Aku tunaikankan dan sesiapa yang meminta keampunan akan Aku ampunkan" [Hadis riwayat al-Bukhari – hadis no: 1141, Muslim – hadis no: 78, Abu Daud – hadis no: 4733, at-Tirmizi – hadis no: 4393, Ibn Majah – hadis no: 1366 dan Ahmad 1/346]

· Keempat: Dalam satu riwayat hadis mutaffaq 'alaihi, bahawa Allah itu "ad-Dhar" atau "masa". Namun, bagaimana K.H Sirajuddin Abbas menafikannya. Sabda Rasulullah ini (yang bermaksud): "Janganlah kamu maki ad-Dhar (masa), kerana sesungguhnya Allah itu adalah masa" [Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim].

Demikian salah satu pendedahan fakta mengenai pendustaan yang dilakukan oleh tokoh aliran al-Jahmiyyah dan quburiyyun Indonesia, K.H Sirajuddin Abbas terhadap salah seorang tokoh ulamak muktabar Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah.

Pada kesempatan ini, saya (mohd. Hairi), ingin bertanya kepada para pengekor tokoh pendusta dan pemfitnah di atas: jika benarlah kenyataan si pendusta tersebut di atas bahawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah sebagai salah seorang penganut akidah al-Mujassimah dan al-Musyabbihah hanya kerana manhajnya dalam menithbatkan (menetapkan) nas-nas sifat Allah tanpa ta'hil (menghilangkan fungsi sifat) dan tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), mengapakah dakwaan, tohmahan dan hukuman yang sama tidak ditujukan kepada ulamak muktabar Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah selain beliau dari kalangan al-Salaf al-Shalih yang turut mengaplikasikan manhaj yang sama dengan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah dalam berinteraksi dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala iaitu menetapkan (ithbat) sifat-sifat Allah tanpa ta'thil dan tasybih? Saya menyerahkan persoalan ini kepada kebijaksanaan dan keadilan para pembaca yang budiman sekalian untuk menilai sendiri siapakah yang sebenarnya yang patut dipersalahkan dalam hal ini serta yang paling layak untuk dianugerahkan pangkat "kesesatan" sebagaimana dakwaan si pendusta, K.H Sirajuddin Abbas dan para pengkornya ke atas Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah menerusi bukunya tersebut.

Seterusnya, marilah kita perhatikan pula satu lagi contoh fitnah yang dilontarkan oleh tokoh pujaan golongan yang beraliran al-Jahmiyyah dan para pemuja kuburan (quburiyyun) ini ke atas Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah. Dalam bukunya yang sama di atas (I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah), pada halaman 303, beliau telah memetik kata-kata Ibnu Bathuthah dalam kitabnya Rahlah Ibnu Bathuthah, juz 1, halaman 57 (cetakan Azhariyah, Kairo, 1928M) yang bermaksud:

"Saya (Ibnu Bathuthah –pen) ketika itu sedang berada di Damsyiq. Saya di masjid mendengar dia (Ibn Taimiyyah –pen) memberi pelajaran di hadapan umum di mimbar mesjid kami". Banyak pelajaran diucapkan. Di antara perkataannya: " Tuhan Allah turun ke langit dunia serupa turunnya dengan turun saya ini", lalu ia turun satu tingkat di jenjang mimbar. Pada ketika itu seorang ulama ahli fiqih Madzhab Maliki bernama Anus Zahra' membantah dia dan melawan ucapan-ucapan Ibnu Taimiyyah".

Dengan memetik kenyataan Ibn Bathuthah secara semberono dan tanpa melakukan sebarang pengkajian ilmiah terhadap kesahihan faktanya di atas, tokoh al-Jahmiyyah dan pemfitnah ini telah pun membuat kesimpulan dalam bukunya itu bahawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah adalah seorang ulamak penyesat yang berakidah tajsim dan tasybih lantaran tindakannya – menurut dakwaan palsu Ibn Bathuthah yang ditelan mentah-mentah oleh si jahil ini (K.H Sirajuddin Abbas) – yang menyamakan turunnya beliau (Ibn Taimiyyah) dari tangga turun Masjid Damsyiq itu adalah sama dengan turunnya Allah ke langit dunia.

Bagi menjawab fitnah dan tuduhan yang melulu lagi tidak berasaskan kepada fakta yang benar ini, maka saya kemukakan beberapa hujah di bawah ini yang saya nukil daripada buku Menangkis Pencemaran Terhadap Agama & Tokoh-Tokohnya, Dr. Mohd Asri Zainul Abidin (Karya Bestari Sdn Bhd, Selangor, 2005) halaman 125-128:

Para ulamak yang ikhlas telah bangun menjawab fitnah Ibn Bathuthah ini. Antara apa yang ditulis oleh alim Syam yang terkenal, al-'Allamah Muhammad Bahjah al-Baitar dalam bukunya Hayat Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah (cetakan al-Maktab al-Islami, Beirut, ms. 43-49). Antara jawapan beliau yang panjang lebar itu:

· Pertama: Ibn Bathuthah sebenarnya tidak mendengar perkara tersebut daripada Ibn Taimiyyah sama sekali. Ia hanyalah satu pembohongan. Buktinya, dalam catatannya, beliau sampai ke Damsyiq pada hari Khamis, 19 Ramadan tahun 726H, sedangkan Ibn Taimiyyah telah dipenjarakan pada awal bulan Sya'ban tahun tersebut, dan terus berada dalam penjara sehingga meninggal pada malam Isnin 20 Zulkaedah ahun 728H. Bagaimana mungkin Ibn Bathuthah dapat melihatnya?

· Kedua: Buku kembara Ibn Bathuthah (Rahlah Ibnu Bathuthah –pen) penuh dengan cerita pelik lagi tidak masuk akal dan palsu. Cerita ini diambil daripada orang ramai yang dia dengar di negeri-negeri yang dikunjungi, tanpa sebarang penilaian. Umpamanya beliau menyatakan di tengah Masjid Umawi di Damsyiq ada kubur Nabi Zakaria 'alaihissalam, sedangkan yang diketahui ianya adalah kubur Yahya 'alaihissalam. Juga dakwaannya kononnya di membaca di dalam Fadail al-Damsyiq daripada Sufyan al-Thauri bahawa solat di Masjid Damsyiq sama dengan pahala tiga puluh ribu solat. Kita tahu bahawa perkara seperti ini tidak boleh dibuat dengan andaian akal. Orang yang seperti Sufyan al-Thauri tidak akan membuat dakwaan seperti yang tidak mempunyai sebarang dalil. Dakwaan ini telah melebihkan Masjid Damsyiq ke atas Masjid Nabi dan Masjid al-Aqsa. Kedua-dua masjid tersebut pun tidak sampai ke darjat yang seperti ini. Mustahil tokoh hadis dan warak seperti Sufyan al-Tahuri membuat dakwaan ini, melainkan satu pembohongan terhadapnya.

Bahkan Ibn Bathuthah mengakui fadilat (kelebihan) bernazar untuk kubur-kubur utama jika seseorang dalam kesusahan di pukul angin kencang di tengah lautan. Sedangkan dalam keadaan tersebut golongan musyrikin pun akan terus berdoa kepada Allah tanpa sebarang syirik. Malangnya Ibn Bathuthah dapat menerima dan mengakui nazar seperti ini: Firman Allah (maksudnya) : "Dalam pada itu, apabila mereka naik bahtera (lalu menemui sesuatu bahaya di laut), mereka memohon pertolongan kepada Allah dengan doa yang tulus ikhlas kepada-Nya. Kemudian setelah Allah selamatkan mereka (naik) ke darat, mereka berlaku syirik kepada-Nya" [Surah al-'Ankabut: 65]. Oleh itu, tidak mustahil, buku ini menyebut kisah palsu yang disandarkan kepada Ibn Taimiyyah rahimahullah, padahal beliau tidak pernah berbuat demikian.

· Ketiga: Ibn Taimiyyah tidak pernah menjadi khatib Masjid Damsyiq, seperti yang didakwa oleh Ibn Bathuthah. Beliau hanyalah memberi kuliah pengajiannya di atas kerusi sahaja. Ini seperti yang disebut oleh anak-anak muridnya yang menulis sejarahnya, antara mereka al-Imam al-Zahabi.

· Keempat: Tulisan-tulisan Ibn Taimiyyah rahimahullah menafikan hal ini (iaitu akidah tajsim dan tasybih). Antaranya pegangan akidah Ibn Taimiyyah yang dipetik oleh Nasir al-Din al-Syafi'e (w. 842H) dalam al-Radd al-Wafir (cetakan al-Maktab al-Islami, Beirut) :

"Mazhab Salaf, para imam yang empat dan selain mereka ialah menithbatkan (menetapkan sifat Allah) tanpa tasybih (menyerupakan dengan sesuatu), mensucikan-Nya tanpa ta'thil (menghilangkan fungsi sifat). Tidak boleh bagi seseorang meletakkan sesuatu pegangan atau 'ibarah (huraian atau rangkaian ucapan) daripada dirinya sendiri. Bahkan dia hendaklah mengikuti dalil, bukan membuat bid'ah."

Demikian sekelumit dari puluhan contoh fitnah yang dilontarkan oleh salah seorang tokoh Ahli Bid'ah ke atas tokoh Ahli Sunnah yang sempat saya kemukakan di sini. Sebenarnya masih terdapat banyak lagi pendustaan yang disandarkan oleh K.H Sirajuddin Abbas al-Jahmiyyah ke atas Syaikhul Islam Ibn Tamiyyah rahimhullah yang tidak dapat saya muatkan dalam ruangan yang amat terbatas ini. Walau bagaimanapun, Alhamdulillah, sebagaimana yang saya telah nyatakan sebelum ini bahawa tidaklah semua tohmahan, tuduhan melulu dan fitnah yang dilemparkan oleh para tokoh Ahli Bid'ah di atas terhadap Syakihul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah melainkan telah pun disediakan jawapannya semula secara ilmiah oleh para pencinta al-Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Sekali lagi diingatkan agar para pembaca yang budiman sekalian dapat meneliti sendiri buku-buku yang telah disenaraikan di atas bagi mengetahui hakikat pendustaan oleh para pendukung aliran bid'ah tersebut ke atas Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah dan para tokoh Ahli Sunnah lainnya.

Kesimpulan.

Bagi mengakhiri perbahasan kita mengenai hakikat sebenar pegangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berhubung dengan tauhid al-Asma' wa al-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka akan saya kemukakan lagi beberapa fakta "tambahan" berupa keterangan yang bersumberkan daripada pengakuan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah itu sendiri.

Diminta kepada para pembaca yang budiman sekalian agar dapat berlaku adil lagi terbuka dengan membandingkan ia dengan pegangan para Imam muktabar Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah lainnya sebagaimana yang telah saya kemukakan di bahagian artikel ke-2 buku ini (sila baca ulasan saya dalam artikel bertajuk Wahabi: Meluruskan Salah Faham) untuk kita melihat sejauh manakah benarnya dakwaan Ahli Bid'ah ke atas Syaikhul Islam sebagai seorang tokoh ulamak yang berakidah al-Mujassimah dan al-Musyabbihah dan bertentangan dengan akidah para ulamak muktabar Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah lainnya. Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata:

“Maka ini adalah iktikad firqah najiah (puak yang selamat) Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang beroleh pertolongan sehingga hari Kiamat, iaitu beriman dengan Allah… Dan di antara (cara) beriman dengan Allah ialah beriman dengan apa yang Dia telah sifatkan diri-Nya dengannya dalam kitab-Nya dan dengan apa yang telah Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyifatkan-Nya dengannya, tanpa tahrif (mengubah atau menukar ganti makna), tanpa ta’thil (menafikan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala), tanpa takyif (menggambarkan rupa bentuk sifat) dan tanpa tamtsil (mengumpamakan makna dengan sesuatu).

Bahkan, mereka (Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah) beriman sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sebanding (Zat, Sifat-Sifat dan pentadbiran) Nya dengan sesuatu apapun, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Mereka (Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah) tidak menafikan dari-Nya apa yang Dia telah sifatkan diri-Nya dengannya, mereka tidak mentahrifkan perkataan dari tempat-tempat (atau maksud)nya yang sebenar, mereka tidak mengilhadkan (menolak secara anti) nama-nama Allah serta ayat-ayat-Nya, mereka tidak membentukkan rupa makna dan mereka tidak mengumpamakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhlukNya, kerana sesungguhnya (Allah) Subhanahu wa Ta’ala tidak ada yang menyamai nama-Nya, tidak ada yang menyetarai-Nya, tidak ada yang menyekutui-Nya dan tidak boleh dikiaskan-Nya dengan makhluk-Nya, Subhanahu Wa Ta’ala…” [Al-'Aqidah al-Wasathiyyah, Ahmad Ibn 'Abd al-Halim al-Harrani Ibn Taimiyyah, ms. 5-7; dalam Siapakah Ahli Sunnah Yang Sebenar, ms. 48-49].

Di halaman yang lain, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah menyebut:

“Maka sesungguhnya firqah najiah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah beriman dengan yang demikian itu (nas-nas hadis berkenaan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala), sebagaimana mereka beriman dengan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya dalam kitab-Nya, tanpa tahrif, tanpa ta’til, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Bahkan merekalah yang sederhana di kalangan puak umat ini sebagaimana umat ini juga yang sederhana di kalangan umat-umat (yang lain), kerana mereka (Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah) sederhana dalam bab sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala di antara Ahli Ta’thil al-Jahmiyyah dan Ahli Tamtsil al-Musyabbihah.” [Al-'Aqidah al-Wasathiyyah, Ahmad Ibn 'Abd al-Halim al-Harrani Ibn Taimiyyah, ms. 23-24; dalam Siapakah Ahli Sunnah Yang Sebenar, ms. 49-50].

Makluman: Artikel ini merupakan sedutan daripada ulasan saya ke atas artikel Misteri Wahabi Di Malaysia, Karya Dr. Mohd Asri Zainul Abidin yang saya muatkan dalam buku saya "Katakan Tidak Pada Wahhabi" bagi Edisi Baru (edisi kedua) yang akan diterbitkan oleh Perniagaan Jahabersa, Johor Bahru. Insya' Allah. Dipersilakan untuk menyebarkan risalah ini kepada sesiapa jua untuk pengkajian ilmu. Sekian, wassalam - Mohd Hairi Nonchi, UMS.
Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook

AWAS BAHAYA RUWAIBIDHAH

AWAS, BAHAYA RUWAIBIDHAH...

Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunannya :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al-Jumahi menuturkan kepada kami dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).

Hadits yang agung ini menerangkan kepada kita:

1. Peringatan akan bahaya berbicara tanpa landasan ilmu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’ : 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hai umat manusia, makanlah sebagian yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya dia hanya akan menyuruh kalian kepada perbuatan dosa dan kekejian, dan agar kalian berkata-kata atas nama Allah dalam sesuatu yang tidak kalian ketahui ilmunya.” (QS. al-Baqarah : 168-169). Maka barangsiapa yang gemar berbicara mengatasnamakan agama tanpa ilmu, sesungguhnya dia adalah antek-antek Syaitan, bukan Hizbullah dan bukan pula pembela keadilan atau penegak Syari’at Islam!

2. Hadits ini menunjukkan pentingnya kejujuran dan mengandung peringatan dari bahaya kedustaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas kalian untuk bersikap jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menuntun ke surga. Apabila seseorang terus menerus bersikap jujur dan berjuang keras untuk senantiasa jujur maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai orang yang shiddiq. Dan jauhilah kedustaan, karena kedustaan itu akan menyeret kepada kefajiran, dan kefajiran akan menjerumuskan ke dalam neraka. Apabila seseorang terus menerus berdusta dan mempertahankan kedustaannya maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu).

3. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya menjaga amanah dan memperingatkan dari bahaya mengkhianati amanah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kiamat.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”. Maka beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kiamatnya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidak lengkap iman pada diri orang yang tidak memiliki sifat amanah.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dihasankan al-Albani dalam Takhrij Misykat al-Mashabih [35] as-Syamilah)

4. Hadits ini menunjukkan bahwa jalan keluar ketika menghadapi situasi kacau semacam itu adalah dengan kembali kepada ilmu dan ulama. Yang dimaksud ilmu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Dan yang dimaksud ulama adalah ahli ilmu yang mengikuti perjalanan Nabi dan para sahabat dalam hal ilmu, amal, dakwah, maupun jihad.


http://abu0mushlih.wordpress.com/

Kamis, 26 Januari 2012

abul-Hasan Al-Asy'ariy Membantah ASY-Ariyah

Abul-Hasan Al-Asy’ariy MEMBANTAH ASY-ARIYAH Beliau adalah Abul-Hasan ‘Aliy bin Ismaa’iil bin Abi Bisyr Ishaaq bin Saalim bin Ismaa’iil bin ‘Abdillah bin Muusaa bin Amir kota Bashrah, Bilaal bin Abi Burdah bin shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Muusaa ‘Abdullah bin Qais bin Hadlaar Al-Asy’ariy Al-Yamaaniy Al-Bashriy. Ibnu ‘Asaakir membawakan riwayat dengan sanadnya sampai Abu Bakr Al-Wazaan bahwa Abul-Hasan lahir pada tahun 260 H. Akan tetapi, ada ulama lain yang mengatakan tahun 270 H. Wafat pada tahun 324 H, sebagaimana dikatakan Ibnu Hazm [selengkapnya lihat : Taariikh Baghdaad 13/260, Tabyiinul-Kadzibil-Muftariy, hal. 146, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 15/85 no. 51]. Abul-Hasan telah menghabiskan banyak umurnya tenggelam dalam ilmu kalam, dan menjadi tokohnya, dengan mengikuti madzhab Mu’tazillah. Akan tetapi Allah ta’ala telah memberikan kepadanya hidayah sehingga rujuk kepada madzhab Ahlus-Sunnah dan melaziminya. Bahkan setelah itu, beliau sangat aktif memberikan bantahan-bantahan kepada madzhab yang telah ditinggalkannya itu. Ibnu Katsiir rahimahulah berkata : إن الأشعري كان معتزلياً فتاب منه بالبصرة فوق المنبر، ثم أظهر فضائح المعتزلة وقبائحهم “”Sesungguhnya Al-Asy’ariy dulunya seorang Mu’taziliy, lalu bertaubat di kota Bashrah di atas mimbar. Kemudian ia menampakkan kekeliruan dan kebobrokan Mu’tazilah” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 11/187]. Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata : ولما برع في معرفة الاعتزال، كرهه وتبرأ منه، وصعد للناس، فتاب إلى الله تعالى منه، ثم أخذ يرد على المعتزلة، ويهتك عوارهم. قال الفقيه أبو بكر الصيرفي: كانت المعتزلة قد رفعوا رؤوسهم، حتى نشأ الاشعري فحجرهم في أقماع السمسم “Ketika telah pandai pengetahuannya akan madzhab Mu’tazilah, ia kemudian malah membencinya dan berlepas diri darinya. Dan tampillah ia di hadapan khalayak, lalu (mengumumkan) taubatnya kepada Allah ta’ala dari pahamnya semula. Setelah itu, ia aktif membantah Mu’tazilah dan membongkar kebobrokan-kebobrokan mereka. Telah berkata Al-Faqiih Abu Bakr Ash-Shairafiy : ‘Dulu (orang-orang) Mu’tazilah mendongakkan kepala-kepala mereka, hingga muncullah Al-Asy’ariy yang merintangi mereka di lubang semut (sehingga ‘keok’)” [As-Siyar, 15/86]. Ibnu ‘Asaakir rahimahullah berkata : وذكر أبو القسم حجاج بن محمد الطرابلسي من أهل طرابلس المغرب قال سألت أبا بكر اسماعيل بن ابي محمد بن اسحق الأزدي القيراوني المعروف بإبن عزرة رحمه الله عن أبي الحسن الأشعري رحمه الله فقلت له قيل لي عنه إنه كان معتزليا وإنه لما رجع عن ذلك أبقى للمعتزلة نكتا لم ينقضها فقال لي الأشعري شيخنا وإمامنا ومن عليه معولنا قام على مذاهب المعتزلة أربعين سنة وكان لهم إماما ثم غاب عن الناس في بيته خمسة عشر يوما فبعد ذلك خرج إلى الجامع فصعد المنبر وقال معاشر الناس إني إنما تغيبت عنكم في هذه المدة لأني نظرت فتكافأت عندي الأدلة ولم يترجح عندي حق على باطل ولا باطل على حق فاستهديت الله تبارك وتعالى فهداني إلى إعتقاد ما أودعته في كتبي هذه وانخلعت من جميع ما كنت إعتقده كما انخلعت من ثوبي هذا وإنخلع من ثوب كان عليه ورمى به ودفع الكتب إلى الناس…………. “Abul-Qaasim Hajjaaj bin Muhammad Ath-Tharaabulsiy dari kalangan penduduk Tharaablus, Maghrib, berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu Bakr Ismaa’iil bin Abi Muhammad bin Ishaaq Al-Azdiy Al-Qairaawaniy yang dikenal dengan nama Ibnu ‘Azrah rahimahullah tentang Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Aku katakan kepadanya : ‘Telah dikatakan kepadaku bahwasannya Abul-Hasan dulunya seorang Mu’taziliy. Dan ketika rujuk/kembali, ia meningalkan bagi Mu’tazilah permasalahan rinci yang tidak ia bahas ?’. Ibnu ‘Azrah berkata kepadaku : ‘‘Asy’ariy adalah syaikh kami dan imam kami. Ia menganut madzhab Mu’tazilah selama empatpuluh tahun yang selama itu ia menjadi imam bagi mereka. Lalu tiba-tiba ia tidak menampakkan diri kepada khalayak (dan tinggal) di rumahnya selama limabelas hari. Setelah itu ia keluar menuju masjid jaami’ dan berdiri di atas mimbar. Ia berkata : ‘Wahai manusia sekalian, sesungguhnya aku tidak menampakkan diri di hadapan kalian dalam beberapa hari ini karena aku meneliti. Banyak dalil terkumpul di sisiku, namun aku tidak bisa menimbang yang hak atas yang baathil dan yang baathil atas yang hak. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah tabaaraka wa ta’ala, lalu Ia pun memberikan petunjuk kepadaku kepada i’tiqad yang aku yakini dalam buku-bukuku ini. Aku menanggalkan seluruh ‘aqidahku yang dulu (Mu’tazilah) sebagaimana aku tanggalkan bajuku ini’. Lalu ia pun menanggalkan bajunya dan melemparkannya, dan memberikan beberapa bukunya kepada orang-orang….” [At-Tabyiin, hal. 39]. Sayyid Muhammad bin Muhamad Al-Husainiy Az-Zubaidiy rahimahullah yang terkenal dengan julukan Murtadlaa Al-Hanafiy, berkata : أبو الحسن الأشعري أخذ الكلام عن شيخ أبي علي الجبائي شيخ المعتزلة ، ثم فارقه لمنام رآه ، ورجع عن الاعتزال وأظهر ذلك إظهاراً ، فصعد منبر البصرة يوم الجمعة ونادى بأعلى صوته: من عرفني فقد عرفني ومن لم يعرفني فأنا فلان بن فلان كنت أقول بخلق القرآن وإن الله لايُرى في الدار الآخرة بالأبصار وإن العباد يخلقون أفعالهم وها أنا تائب من الغعتزال معتقداً الرد على المعتزلة ، ثم شرع في الرد عليم والتصنيف على خلافهم ، ……….قال ابن كثير: ذكروا للشيخ أبي الحسن الأشعري ثلاثة أحوال أولها حال الاعتزال التي رجع عنها ولا محالة والحال الثاني إثبات الصفات العقلية ؛ وهي الحياة والعلم ، والقدرة ، والارادة ، والسمع ، والبصر ، والكلام . زتأويل الخبرية كالوجة واليدين والقدم والساق ونحو ذلك، الحال الثالث إثبات ذلك كله من غير تكييف ولا تشبيه جرياً على منوال السلف وهي طريقته في الإبانة التي صنفها آخراً “Abul-Hasan Al-Asy’ariy mengambil ilmu kalam dari gurunya, Abu ‘Aliy Al-Jubaaiy, pentolan Mu’tazilah. Lalu ia meninggalkannya disebabkan mimpi yang ia lihat. Kemudian ia rujuk dari Mu’tazilah dan menampakkan hal itu secara terang-terangan. Ia naik ke atas mimbar Bashrah di hari Jum’at dan menyeru dengan suara yang lantang : ‘Barangsiapa yang mengenalku, sungguh ia telah mengenalku. Dan barangsiapa yang belum mengenalku, maka aku adalah Fulaan bin Fulaan. Dulu aku pernah berkata Al-Qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa dilihat di akhirat dengan penglihatan mata, dan manusia menciptakan perbuatan mereka sendiri. Sekarang aku bertaubat dari ‘aqidah Mu’tazilah dan (bahkan) membantah Mu’tazilah’. Kemudian ia mulai membantah Mu’tazilah dan menulis buku-buku tentangnya…. Berkata Ibnu Katsir : ‘Disebutkan bahwa Abul-Hasan mempunyai tiga keadaan (fase). Fase Pertama, fase Mu’tazilah yang telah ia tinggalkan secara total. Fase Kedua, menetapkan sifat ‘aqliyyah Allah, yaitu : Al-Hayaah (Hidup), Al-‘Ilm (Mengetahui), Al-Qudrah (Berkuasa), Al-Iraadah (Berkehendak), As-Sam’ (Mendengar), Al-Bashar (Melihat), dan Al-Kalaam (Berkata-kata). Namun ia men-ta’wil sifat khabariyyah seperti Al-Wajh (Wajah), Al-Yadain (Dua Tangan), Al-Qadam (Kaki), As-Saaq (Betis), dan yang semisalnya. Fase Ketiga, menetapkan seluruh sifat Allah tanpa takyif, tasybiih, dan membiarkannya menurut metode/manhaj salaf. Dan itulah jalan yang ditempuhnya dalam Al-Ibaanah yang merupakan tulisannya terakhir kali” [Ittihaafus-Saadah Al-Muttaqiin, 2/3 – melaui perantaraan Abul-Hasan Al-Asy’ariy oleh Hammaad Al-Anshaariy – maktabah saaid]. Adz-Dzahabiy menyepakati adanya tiga fase dalam diri Abul-Hasan, namun dengan bahasa berbeda : فله ثلاثة أحوال: حال كان معتزلياً، وحال كان سنياً في البعض دون البعض، و حال كان في غالب الأصول سنياً، وهو الذي علمناه من حاله “Ia mempunyai tiga keadaan (fase) : Fase awal sebagai seorang Mu’tazilah, fase seorang Ahlus-Sunah dalam sebagian perkara namun tidak di perkara lainnya, dan fase secara umum ia berada di atas prinsip Ahlus-Sunnah. Itulah yang kami ketahui dari keadaannya” [Al-‘Arsy, 1/400]. Akan timbul pertanyaan menggelitik. Jika Abul-Hasan menyatakan rujuk dari ‘aqidah Mu’tazilah, lantas dimana posisi rujuk beliau yang paling akhir ? Beberapa ulama (Asyaa’irah) menjelaskan rujuknya beliau ini pada keyakinan Ibnu Kullaab (atau disebut Fase Kullabiyyah). Jika merujuk pada perkataan Ibnu Katsiir di atas, maka fase Kullaabiyyah itu menetapkan sebagian sifat Allah, dan menta’wil sebagian yang lain. Fase Kullaabiyyah inilah yang kemudian mereka sebut sebagai fase Ahlus-Sunnah (dan selanjutnya inilah yang ‘dianggap’ sebagai madzhab Asyaa’irah), sekaligus fase terakhir dalam perjalanan kehidupan beliau rahimahullah. Mereka tidak mengakui fase setelah Kullabiyyah, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsiir sebelumnya. Ibnu ‘Asaakir rahimahullah menukil perkataan Ibnu Abi Zaid Al-Qairawaaniy yang menggolongkan Ibnu Kullaab sebagai tokoh Ahlus-Sunnah : والذي بلغنا إنه يتقلد السنة ويتولى الرد على الجهمية وغيرهم من أهل البدع يعني عبد الله بن سعيد بن كلاب “Dan khabar yang sampai kepada kami bahwasannya ia adalah seorang yang mengikuti sunnah (= Ahlus-Sunnah) dan banyak membantah Jahmiyyah dan selain mereka dari kalangan ahlul-bida’. Ia adalah ‘Abdullah bin Sa’iid bin Kullaab” [At-Tabyiin, hal. 405]. Kita tidak menerima begitu saja tanpa ada satu bukti kuat yang mendasari. Kebalikan dari pernyataan Ibnu Abi Zaid adalah Ibnu Khuzaimah sebagaimana dinukil Adz-Dzahabiy : فقد كان أحمد بن حنبل من أشد الناس على عبد الله بن سعيد بن كلاب، وعلى أصحابه مثل الحارث وغيره. “Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang paling keras permusuhannya terhadap ‘Abdullah bin Sa’iid bin Kullaab dan rekan-rekannya semisal Al-Haarits (Al-Muhaasibiy) dan yang lainnya” [As-Siyar, 14/380]. Ibnu Khuzaimah adalah imam di jamannya[1] dan lebih dekat dengan jaman Ahmad bin Hanbal dibandingkan Ibnu ‘Asaakir ataupun Ibnu Abi Zaid rahimahumullah. Ini sangat penting untuk diperhatikan karena Abul-Hasan Al-Asy’ariy sendiri berkata : قولنا الذي نقول به، وديانتنا التي ندين بها، التمسك بكتاب ربنا عز وجل، وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه وآله وسلم، وما روى عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون، ولما خالف قوله مخالفون “Perkataan kami yang kami berpendapat dengannya dan beragama dengannya adalah : Berpegang teguh kepada kitab Rabb kami ‘azza wa jalla, sunnah Nabi kami shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, taabi’iin, dan para imam hadits. Kami berpegang teguh dengan itu semuanya. Dan juga pada pendapat yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal – semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, dan membalasnya dengan pahala – dan menyelisihi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya“[Al-Ibaanah, hal. 8-9]. Abul-Hasan As-Subkiy rahimahullah pun mempersaksikan hal tersebut : أبو الحسن الأشعري كبير أهل السنة بعد الإمام أحمد ابن حنبل وعقيدته وعقيدة الإمام أحمد رحمة الله واحدة لاشك في ذلك ولا ارتياب وبه صرح الأشعري في تصانيفه وذكره غير مامرة من أتن عقيدتي هي عقيدة الإمام المبجل أحمد بن حنبل هذه عبارة الشيخ أبي الحسن في غير موضع من كلامه “Abul-Hasan Al-Asy’ariy termasuk pembesar Ahlus-Sunnah pasca Al-Imam Ahmad bin Hanbal. ‘Aqidahnya dan ‘aqidah Al-Imaam Ahmad rahimahullah adalah satu. Tidak ada keraguan tentang hal itu. Al-Asy’ariy telah menjelaskannya dalam banyak tulisannya dan menyebutkannya berulang kali : ‘’Aqidahku adalah ‘aqidah Al-Imam Al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal’. Ini adalah ucapan Asy-Syaikh Abul-Hasan pada beberapa tempat (dalam bukunya)” [Ath-Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah – melaui perantaraan Abul-Hasan Al-Asy’ariy oleh Hammaad Al-Anshaariy – maktabah saaid]. Selain Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qudaamah Al-Maqdsiy Al-Hanbaliy rahimahumallah juga berkata : ومن السنة هجران أهل البدع ومباينتهم وترك الجدال والخصومات في الدين وترك النظر في كتب المبتدعة والإصغاء إلى كلامهم وكل محدثة في الدين بدعة. وكل متسم بغير الإسلام والسنة مبتدع كالرافضة والجهمية والخوارج والقدرية والمرجئة والمعتزلة والكرام والكلابية ونظائرهم فهذه فرق الضلال وطوائف البدع أعاذنا الله منها “Termasuk bagian dari sunnah adalah meninggalkan ahlul-bida’ dan menjauhi mereka. Tidak melakukan perdebatan dengan mereka di dalam agama, meninggalkan kitab-kitab yang berisi ajaran bid’ah dan tidak mendengar pembicaraan mereka. Dan setiap perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah. Setiap orang yang memakai ciri-ciri selain Islam dan sunnah adalah mubtadi’, seperti : Raafidlah, Jahmiyyah, Khawaarij, Al-Qadariyyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karraamiyyah, Kullaabiyyah, dan yang semisal dengannya. Semua itu adalah kelompok yang sesat dan golongan ahlul-bida’. Kita berlindung kepada Allah darinya” [Syarh Lum’atul-I’tiqaad li Ibni Qudaamah oleh Shaalih Al-Fauzaan, hal. 264-284]. Namun begitu, sebagaimana telah disebutkan, madzhab Ibnu Kullaab menetapkan banyak sifat-sifat Allah yang lebih berkesesuaian dengan madzhab salaf. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : عبد الله بن سعيد بن كلاب البصري الذي صنف مصنفات رد فيها على الجهمية والمعتزلة وغيرهم وهو من متكلمة الصفاتية…. وكان ممن اتبعه الحارث المحاسبي وأبو العباس القلانسي ثم أبو الحسن الأشعري. “’Abdullah bin Sa’id bin Kullaab Al-Bashriy yang menulis banyak karangan yang membantah kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, dan yang lainnya, merupakan ahli kalam yang menetapkan sifat-sifat Allah (shifaatiyyah)….. Dan orang yang mengikutinya adalah Al-Haarits Al-Muhaasibiy, Abul-‘Abbaas Al-Qalaanisiy, kemudian Abul-Hasan Al-Asy’ariy” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/366]. Adz-Dzahabiy mengatakan tentangnya : والرجل أقرب المتكلمين إلى السنة، بل هو في مناظريهم “Seorang laki-laki ahli kalam yang lebih dekat kepada sunnah (Ahlus-Sunnah), bahkan ia termasuk ahli debat mereka” [As-Siyar, 11/175]. Perkataan Adz-Dzahabiy ‘lebih dekat kepada sunnah (Ahlus-Sunnah)’ secara dhahir menjelaskan bahwa dalam beberapa pokok permasalahan tertentu, ia menyelisihi pokok-pokok ‘aqidah Ahlus-Sunnah.[2] Dikarenakan saya tidak akan membahas tentang Ibnu Kullaab atau Kullaabiyah secara khusus, maka dalam artikel ini saya tidak akan berpanjang-panjang dalam memberikan keterangan tentang Ibnu Kullaab dan Kullaabiyyah.[3] Kembali pada judul tulisan ini. Kemana gerangan tambatan terakhir Abul-Hasan Al-‘Asy’ariy pasca pertaubatannya dari Mu’tazilah ? Ke dalam ‘aqidah Asyaa’irah ataukah ‘aqidah salaf (yang disebut sebagian Asyaa’irah sebagai ‘mujassimah’[4] – karena menetapkan dhahir sifat Allah). Salah satu cara yang paling ‘adil adalah dengan mengkomparasikannya, terutama pada hal-hal pokok masalah keimanan (yang membedakan antara Ahlus-Sunnah dengan selainnya). Kita akan sedikit terbantu dengan pernyataan Abul-Hasan Al-Asy’ariy bahwa madzhabnya dalam masalah ‘aqidah adalah madzhab Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumalaah. Akan saya contohkan beberapa masalah yang sering dibahas sengit di berbagai kesempatan (yaitu dalam sebagian lingkup tauhid al-asmaa’ wash-shifaat) : 1. Masalah penetapan sifat dzaatiyyah Allah ta’ala seperti wajah, tangan, kaki, dan semisalnya. Abul-Hasan Al-Asy’ariy menjelaskan posisinya dalam hal ini : حكم كلام الله تعالى أن يكون على ظاهره وحقيقته، ولا يخرج الشيء عن ظاهره إلى المجاز إلا بحجة ….. كذلك قوله تعالى: (لما خلقت بيدي) على ظاهره أو حقيقته من إثبات اليدين ……بل واجب أن يكون قوله تعالى: (لما خلقت بيدي) إثبات يدين لله تعالى في الحقيقة غير نعمتين إذا كانت النعمتان لا يجوز عند أهل اللسان أن يقول قائلهم: فعلت بيدي، وهو يعني النعمتين “Hukum dari (makna) firman Allah ta’ala adalah sesuai dengan dhahir dan hakekatnya. Tidak boleh dipalingkan sedikitpun dari makna dhahirnya kepada makna majaaz kecuali dengan hujah… Begitu pula dengan makna firman Allah ta’ala : ‘kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75) adalah sebagaimana dhahirnya dan hakekatnya dari penetapan sifat dua tangan (Allah)…. Bahkan wajib untuk menjadikan makna firman Allah ta’ala : ‘kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ untuk menetapkan dua tangan untuk Allah ta’ala secara hakekatnya, bukan dengan makna dua nikmat. Karena dalam bahasa ‘Arab tidak boleh seseorang mengatakan : ‘amiltu bi-yadai (aku berbuat dengan dua tanganku), dengan makna dua nikmat” [Al-Ibaanah, hal. 41]. Setali tiga uang ‘aqidah Abul-Hasan adalah ‘aqidah Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah sebagaimana tertera dalam Kitaabul-‘Aqiidah saat menjelaskan sifat wajah : ومذهب أبي عبد الله أحمد بن حنبل رضي الله عنه أن لله عز وجل وجها لا كالصور المصورة والأعيان المخططة بل وجهة وصفه بقوله {كل شيء هالك إلا وجهه} ومن غير معناه فقد ألحد عنه وذلك عنده وجه في الحقيقة دون المجاز “Dan madzhab Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Allah ‘azza wa jallaa mempunyai wajah yang tidak seperti bentuk-bentuk (makhluk-Nya) dan benda-benda yang terlukis. Bahkan sifat wajah telah Ia sifatkan dengan firman-Nya : ‘segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashshaash : 88). Dan barangsiapa yang mengubah maknanya, sungguh ia telah berbuat ilhad kepada-Nya. Sifat wajah itu menurutnya (Al-Imam Ahmad) adalah sebagaimana hakekatnya, bukan dalam makna majaz” [Kitaabul-‘Aqiidah, riwayat A-Khallaal, hal. 103]. Ibnu ‘Abdil-Barr – sebagaimana dikutip oleh Adz-Dzahabiy dalam kitab Al-‘Ulluw – berkata : أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لم يكيفوا شيئا من ذلك . وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل منها شيئا على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أقر بها نافون للمعبود “Ahlus-Sunnah telah bersepakat untuk mengakui sifat-sifat yang tertuang dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dan membawanya kepada makna hakekat, tidak kepada makna majaaz. Namun, mereka tidak men-takyif sesuatupun dari sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyah. Mu’tazilah, dan Khawaarij; semuanya mengingkarinya dan tidak membawanya kepada makna hakekatnya. Dan mereka menyangka bahwa siapa saja yang mengatakannya (yaitu membawa makna sifat Alah sesuai dengan hakekatnya) berarti telah menyerupakan-Nya dengan makhluk. Padahal, mereka di sisi orang yang menetapkan sifat Allah secara hakiki, sama saja menafikkan yang disembah (yaitu Allah)” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 268-269 no. 328]. Jumhur Asyaa’irah dalam hal ini menerapkan metode tafwiidl (menyerahkan maknanya kepada Alah ta’ala) dan sebagian mereka memilih metode ta’wiil. Namun mereka sepakat menolak menetapkan sifat Allah sebagaimana dhahirnya atau hakekatnya (haqiqiy). Cukuplah satu bait syi’ir dalam kitab Al-Jauharah berikut sebagai bukti : وكل نص أوهم التشبيها * اوله أو فوض ورم تنزيها “Setiap nash yang mengandung penyerupaan (terhadap makhluk) takwilkanlah atau serahkanlah dan berishkanlah Allah (dari kekurangan)”. Dan inilah praktek ta’wil Asyaa’irah yang diwakili oleh Abu Manshuur ‘Abdul-Qaahir Al-Baghdaadiy Al-Asy’ariy rahimahullah : وقد تأول بعض أصحابنا هذا التأويل – أي : تأويل اليد بالقدرة – وذلك صحيح على المذهب “Sebagian shahabat kami memang telah melakukan ta’wil dalam perkara ini – yaitu ta’wil sifat tangan dengan kekuasaan (qudrah) – . Hal itu shahih dalam madzhab” [Ushuuluddiin, hal. 111]. Hampir menjadi satu kenyataan aksiomatik jika ada orang yang menetapkan sifat dua tangan kepada Allah ta’ala secara hakiki, tuduhan-tuduhan mujassimah/musyabihah akan nyasar kepadanya, terutama sekali dari lisan-lisan Asy’aariyyuun. Kesimpulan kita, ‘aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ariy dan Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah pada point ini secara umum berbeda dengan ‘aqidah Asyaa’irah. 2. Masalah penetapan sifat istiwaa’ dan fauqiyyah Allah ta’ala. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata : وقال تعالى حاكيا عن فرعون لعنه الله: (يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السماوات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا)، كذب موسى عليه السلام في قوله: إن الله سبحانه فوق السماوات . وقال عز وجل: (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسماوات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السماوات قال: (أأمنتم من في السماء) … لأنه مستو على العرش الذي فوق السماوات، وكل ما علا فهو سماء، والعرش أعلى السماوات، وليس إذا قال: (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السماوات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السماوات، ألا ترى الله عز وجل ذكر السماوات، فقال تعالى: (وجعل القمر فيهن نورا) ، ولم يرد أن القمر يملأهن جميعا، وأنه فيهن جميعا، ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم إذا دعوا نحو السماء؛ لأن الله تعالى مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلولا أن الله عز وجل على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش “Allah ta’ala juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa ‘alaihis-salaam yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala berada di atas langit. Allah ‘azza wa jallaa berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah ta’ala menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS. Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit. Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah ‘azza wa jallaa tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy” [Al-Ibaanah, hal. 33-34]. Tidak berbeda dengan yang dikatakan oleh Al-Imaam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dibawakan oleh Ibnu Abi Ya’laa rahimahumallaah : قيل لأبي عبد الله : والله تعالى فوق السماء السابعة على عرشه بائن من خلقه. وقدرته وعلمه بكل مكان ؟. قال : نعم، على عرشه لا يخلو شيء من علمه “Dikatakan kepada Abu ‘Abdillah : ‘(Apakah) Allah ta’ala berada di atas langit yang tujuh, di atas ‘Ars-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Adapun Kekuasan-Nya dan Ilmu-Nya berada di setiap tempat ?’. Beliau menjawab : ‘Benar, (Allah) berada di atas ‘Arsy-Nya. Tidak ada sesuatupun yang luput dari Ilmu-Nya” [Thabaqaat Al-Hanaabilah 1/341 – melalui perantaraan Al-Masaailu war-Rasaailu Al-Marwiyyatu ‘an Al-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah, 1/318 no. 306]. Adapun pendapat Asyaa’irah sebagai berikut : “Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut. Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur. Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah. Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotng jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” [dari perkataan Abu Sa’iid Al-Mutawalliy dalam Al-Ghun-yah fii Ushuliddiin – dinukil dari blog Asyaa’irah dalam negeri : http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/28/dari-pernyataan-ulama-ahlussunnah-dalam-menjelaskan-bahwa-allah-ada-tanpa-tempat-dan-tanpa-arah-mewaspadai-ajaran-wahhabi/]. Jawaban khas ‘aqlaniyyah. Abul-Hasan Al-Asy’ariy sangat mengingkari ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) sebagaimana perkataannya : وقالت المعتزلة أن الله استوى على عرشه بمعنى استولى “Mu’tazilah berkata bahwasannya Allah ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya dengan makna berkuasa (istaulaa)” [Maqaalaatul-Islaamiyyiin, 1/284]. وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء. “Begitu pula apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [Al-Ibaanah, hal. 34]. Kebalikannya, Asyaa’irah malah menetapkannya : “Jika ada yang mengatakan bahwa memaknai istawa dengan istaula (menundukkan) memberikan pemahaman bahwa seakan-akan Allah sebelumnya tidak menguasai arsy lalu kemudian Allah menundukkan dan menguasainya, Jawab; Jika demikian bagaimana dengan firman Allah: Wa Huwa al-Qahur Fawqa ’Ibadih” (QS. al-An’am: 18), yang dengan jelas mengatakan bahwa Allah menguasai para hamba-Nya, adakah itu berarti sebelum Allah menciptakan para hamba tersebut Dia tidak menguasai mereka?! Adakah itu berati Allah tidak menguasai mereka lalu kemudian menguasai dengan menundukkan mereka?! Bagaimana mungkin dikatakan demikian, padahal para hamba itu adalah makhluk-makhluk yang baru, Allah yang menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada. Justru sebaliknya, –kita katakan kepada mereka– (kaum Musyabbihah): Jika makna ayat tersebut seperti yang kalian dan orang-orang bodoh sangka bahwa Allah bertempat dengan Dzat-Nya di atas arsy, maka itu berarti menurut kalian Allah berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, karena arsy itu makluk Allah. Artinya menurut pendapat kalian Allah berubah dari tidak butuh kepada arsy kemudian menjadi butuh kepadanya setelah Dia menciptakannya. (Dengan demikian harus dipahami bahwa arsy itu baru, sementara istawa adalah sifat Allah yang azali). Maka itu, makna bahwa makna Allah Maha Tinggi adalah dalam pengertian keagungan dan derajat-Nya, bukan dalam pengertian tempat, karena Allah Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat dan arah” [Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109 – dinukil dari blog Asyaa’irah dalam negeri : http://salafiah.net/content/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat-wahhabiyyah-musyabbihah-menyelewengkan-firman-alla]. Para ulama salaf, tidak mengenal pengartian istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai). Muhammad bin Ahmad bin Nadlr bin Binti Mu’awiyyah bin ’Amru rahimahullah berkata : كان أبو عبد الله الأعرابي جارنا وكان ليلة أحسن ليل وذكر لنا أن ابن أبي دؤاد سأله أتعرف في اللغة استوى بمعنى إستولى فقال لا أعرفه “Abu ‘Abdillah Al-A’rabiy[5] adalah tetangga kami. Malam-malamnya adalah malam paling indah. Diceritakan kepada kami bahwa Ibnu Abi Du’ad bertanya kepadanya : “Apakah engkau mengetahui dalam bahasa Arab bahwa makna istawaa (bersemayam) itu adalah istaulaa’ (menguasai) ?”. Maka beliau menjawab : “Aku tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albaaniy hal. 194 no. 240; dengan sanad jayyid]. Abul-Hasan Al-Asy’ariy berhujjah dengan hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam radliyallaahu ‘anhu tentang sifat istiwaa’ Allah ta’ala di atas ‘Arsy, dengan perkataannya : وروت العلماء أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم بأمة سوداء فقال: يا رسول الله إني أريد أن أعتقها في كفارة، فهل يجوز عتقها ؟ فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: أين الله ؟ قالت: في السماء، قال فمن أنا ؟ قالت: أنت رسول الله، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أعتقها فإنها مؤمنة . وهذا يدل على أن الله عز وجل على عرشه فوق السماء. “Dan para ulama meriwayatkan bahwasannya ada seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan budak perempuannya yang berkulit hitam. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin membebaskannya untuk kaffarah. Apakah aku boleh membebaskannya ?’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak tersebut : ‘Di manakah Allah ?’. Budak itu menjawab : ‘Di langit’. Beliau kembali bertanya : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah’. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Bebaskanlah ia, karena sesungguhnya ia wanita mukminah’. Hadits ini menunjukkan bahwa Allah ‘azza wa jalla di atas ‘Ars-Nya yang berada di atas langit” [Al-Ibaanah, hal. 36-37]. Namun apa yang dilakukan oleh para pengaku Asy’ariyyuun ? Mereka menolaknya, dan bahkan membuat berbagai trik untuk melemahkannya. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh pengaku Asy’ariyyuun : Hasan As-Saqqaaf, yang kemudian diikuti oleh muqallid-nya : http://abusalafy.wordpress.com/2010/02/15/tuhan-itu-tidak-di-langit-2/. Telah ada bahasan di blog ini tentang hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam. Silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/06/shahih-hadits-muawiyyah-bin-al-hakam.html dan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/08/hadits-jaariyyah-riwayat-maalik-bin.html. Kesimpulan kita, ‘aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ariy dan Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah pada point ini berbeda dengan ‘aqidah Asyaa’irah. 3. Masalah Kalaamullah. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata : باب الكلام في أن القرآن كلام الله غير مخلوق : إن سأل سائل عن الدليل على أن القرآن كلام الله غير مخلوق قيل له الدليل على ذلك قوله تعالى: (ومن آياته أن تقوم السماء والأرض بأمره) وأمر الله كلامه “Baab : Perkataan bahwasannya Al-Qur’an adalah Kalaamullah bukanlah makhluk. Apabila ada orang yang bertanya tentang dalil bahwasannya Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk. Katakanlah kepada mereka : Dalil akan hal itu adalah firman-Nya ‘azza wa jalla dari ayat-Nya : ‘Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan perintah-Nya’ (QS. Ruum : 25). Perintah Allah di sini adalah kalaam-Nya. …[Al-Ibaanah, hal. 20]. Adapun Asyaa’irah, maka mereka membuat teori pemisahan antara makna dan lafadh. Al-Baijuuriy rahimahullah berkata : ومذهب أهل السنة أن القرآن بمعنى كلام النفسي ليس بمخلوق، وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق. لكن يمتنع أن يقال : القرآن مخلوق ويراد به اللفظ لذي نقرؤه إلا في مقام التعليم، لأنه ربما أوهم أن القرآن بمعنى كلامه تعالى مخلوق، ولذلك امتنعت الأئمة من القول بخلق القرآن “Madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (maksudnya : madzhab Asyaa’irah – Abul-Jauzaa’) menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna al-kalaamun-nafsiy (yaitu : yang berasal dari diri Allah ta’ala) bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’aan dengan makna lafadh yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan tetapi terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk – yang dimaksudkan dengannya adalah lafadh yang kita baca, kecuali dalam konteks pengajaran. Karena, perkataan tersebut bisa disalahartikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya ta’ala (al-kalaamun-nafsiy – Abul-Jauzaa’) adalah makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang terhadap perkataan Al-Qur’an adalah makhluk” [Hasyiyyah Al-Baijuriy ‘alaa Jauharit-Tauhiid. 160]. والحاصل أن كل ظاهر من الكتاب والسنة دل على حدوث القرآن فهو محمول على اللفظ المقروء لا على الكلام النفسي، لكن يمتنع أن يقال : القرآن مخلوق إلا في مقام التعليم كما سبق “Kesimpulan (dari pembicaraan ini), bahwa setiap nash yang nampak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan huduutsul-Qur’aan (maksudnya : kemakhlukan Al-Qur’an – Abul-Jauzaa’) dibawa pada pengertian lafadh yang terbaca, bukan pada al-kalaamun-nafsiy. Akan tetapi tetap terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk, kecuali dalam konteks pengajaran sebagaimana yang telah lalu (penyebutannya)” [idem, hal. 162].[6] Konsekuensi dari ‘aqidah ini, Asyaa’irah mengeluarkan lafadh yang terdiri dari huruf dan suara dari cakupan Kalaamullah. Dengan kata lain, Allah tidaklah berfirman dengan huruf dan suara, karena keduanya adalah makhluk. Mereka (Asyaa’irah) berkata : كلام الله كلام نفسي بدون حرف ولا صوت ولا يتجزأ ولا يتبعَّض ، وليس فيه أمر ولا نهي ، ولا خبر ولا استخبار ، أما التوراة والإنجيل والقرآن فليس كلام الله على الحقيقة بل هو مخلوق وهو كلام الله مجازا لأنه دال على كلام الله النفسي “Kalaamullah adalah kalam nafsi tanpa huruf, tanpa suara, tidak terurai, dan tidak terbagi. Padana tidak terdapat perintah dan larangan, bukan khabar dan bukan pula meminta khabar. Adapun Taurat, Injil, dan Al-Qur’an; bukan firman Allah secara hakiki, akan tetapi semuanya makhluk, hanya saja itu adalah firman Allah secara majaziy (kiasan) karena menunjukan kepada kalam nafsiy Allah” [I’tiqaad Ahlis-Sunnah Syarh Ashhaabil-Hadiits, oleh Dr. Al-Khumais, hal. 67]. Al-Baaqilaaniy berkata : ولا يجوز أن يطلق على كلامه شيء من أمارات الحدث من حرف ولا صوت “Dan tidak boleh memutlakkan firman-Nya dari tanda-tanda kemakhlukan seperti huruf dan suara” [Al-Inshaaf, hal. 111 – melalui Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah hal. 486]. Al-Baijuuriy berkata tentang sifat kalam bagi Allah ta’ala : صفة أزلية قائمة بذاته تعالى ليست بحرف ولا صوت “Sifat azaliyyah yang ada pada Dzat-Nya ta’ala tidaklah dengan huruf dan suara” [Syarh Jauharut-Tauhiid, hal. 129 – melaui perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah hal. 486]. PCI NU Mesir dalam artikel yang dibawakan oleh Drs. Hamzah Harun Al-Rasyid menegaskan : “Asy’ari dalam menanggapi pendapat itu meninjaunya kepada dua aspek. Pertama: Kalam Nafsi, yaitu esensi yang berada pada zat Tuhan, dan kedua: Kalam Lafzhy, yaitu indikator-indikator yang menunjukkan kepada esensi tersebut, termasuk diantaranya lafazh-lafazh dan huruf-huruf serta suara-suara yang diturunkan Allah kepada Nabi- nabi-Nya. Asy’ari mengatakan: Yang pertama adalah Qadim dan yang kedua adalah Hadits (baru) dan makhluq, tidak kekal” [lihat : http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Apr97/1.htm]. Ini adalah pembagian bid’ah yang tidak pernah dikatakan siapapun sebelumnya. Tidak Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Al-Haarits Al-Muhaasibiy, atau bahkan Jahmiyyah. Al-Qur’an adalah kalaamullah yang terdiri dari huruf dan suara. Kalam-Nya dapat didengar oleh siapa saja yang Ia kehendaki dari makhluk-Nya. Inilah madzhab salaf. ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : سألتُ أبي رحمه الله عن قوم يقولون : لما كلم الله عز وجل موسى لم يتكلم بصوت، فقال : بلى إن ربك عز وجل تكلم بصوت، هذه الأحاديث نرويها كما جاءت “Aku bertanya kepada ayahku rahimahullah tentang satu kaum yang berkata : ‘Ketika Allah ‘azza wa jalla berbicara kepada Musa, Ia tidak berbicara dengan suara’. Maka ayahku berkata : ‘Akan tetapi, sesungguhnya Rabb kalian ‘azza wa jala berbicara (kepada Musa) dengan suara. Hadits-hadits ini kami riwayatkan sebagaimana datangnya” [As-Sunnah 32/ - melalui perantaraan Al-Masaailu war-Rasaailu Al-Marwiyyatu ‘an Al-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah, 1/302 no. 288]. Inilah yang keyakinan Al-Imaam Ahmad yang diacu oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahumallah. Kesimpulan kita, ‘aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ariy dan Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah pada point ini berbeda dengan ‘aqidah Asyaa’irah. Saya cukupkan artikel sampai di sini. Saya yakin para Pembaca dapat menyimpulkan, kemanakah gerangan taubat Abul-Hasan Al-Asy’ariy ? ke pangkuan ‘aqidah Asy’ariyyah atau ‘aqidah Salafiyah Ahlus-Sunnah ? Wallaahu ta’ala a’lam. Baca juga : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/al-imam-abul-hasan-al-asyariy-asyaairah.html [abul-jauzaa’ – 11112010 – rain city]. ________________________________________ [1] Silakan baca biografinya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/biografi-ibnu-khuzaimah.html. [2] Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : وطريقته يميل فيها إلى مذهب أهل الحديث والسنة، لكن فيها نوع من البدعة ؛ لكونه أثبت قيام الصفات بذات الله ولم يثبت قيام الأمور الاختيارية بذاته، ولكن له في الرد على الجهمية ـ نفاة الصفات والعلو ـ من الدلائل والحجج وبسط القول ما بين به فضله في هذا الباب، وإفساده لمذاهب نفاة الصفات بأنواع من الأدلة والخطاب، وصار ما ذكره معونة ونصيرًا وتخليصًا من شبههم لكثير من أولى الألباب، حتى صار قدوة وإماما لمن جاء بعده من هذا الصنف الذين أثبتوا الصفات، وناقضوا نفاتها، وإن كانوا قد شركوهم في بعض أصولهم الفاسدة، التي أوجبت فساد بعض ما قالوه من جهة المعقول، ومخالفته لسنة الرسول. “Jalan yang ia tempuh cenderung kepada madzhab Ahlul-Hadits dan Sunnah. Akan tetapi, padanya masih tercampur dengan kebid’ahan; karena di samping ia menetapkan sifat-sifat dzatiyah Alah, ia tidak menetapkan perkara-perkara ikhtiyariyyah bagi Dzat Allah. Akan tetapi ia mempunyai bantahan terhadap firqah Jahmiyyah – yang menafikkan sifat-sifat Allah dan ke-Maha Tinggi-an-Nya – dengan dalil dan hujjah, merupakan bukti bahwa ia mempunyai keutamaan dalam permasalahan ini. Dan apa yang ia sebutkan kemudian menjadi perangkat pembantu intektual bagi banyak ulama yang punya akal untuk menghabisi syubhat-syubhat Jahmiyyah, sehingga Ibnu Kullaab menjadi teladan dan imam bagi orang-orang yang datang kemudian karena cara pandang ini, yaitu mereka yang menetapkan sifat-sifat Allah dan membantah orang yang menafikkannya. Sekalipun mereka menjadi ikut serta mengikuti dasar-dasar metode mereka yang rusak, yang akan mengakibatkan rusaknya sebagian pandangan-pandangan mereka secara akal, dan bertentangan dengan sunnah Rasululah shalallaahu ‘alaihi wa sallam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/366]. [3] Ada satu buku khusus yang membahas tentang Kullaabiyyah dengan judul : Araaul-Kulaabiyyah Al-‘Aqadiyyah wa Atsaruhaa fil-Asy’ariyyah fii Dlaui ‘Aqiidati Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah karya Hudaa binti Naashir bin Muhammad Asy-Syalaaliy; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. Thn. 1420 (yang saya miliki). [4] Sebenarnya ini tuduhan ngawur tanpa bukti. Tidak lain tuduhan mujassimah-musyabbihah ini karena ‘aqidah salaf bertentangan dengan ‘aqidah Asyaa’irah. Telah berkata Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy (w. 449 H) : وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله “Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102]. Mereka (ulama Asyaa’irah) juga mengklaim ‘aqidah Asyaa’rah merupakan interpretasi ‘aqidah Ahlus-Sunnah, sebagaimana perkataan Az-Zubaidiy rahimahullah : أذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتريدية “Apabila dimutlakan (kata) Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, maka maksudnya adalah Al-Asyaa’irah dan Al-Maaturidiyyah” [Ittihaafus-Saaddah Al-Mutaqiin, 2/6-7]. Bagaimana bisa diterima jika para ulama sebelum Az-Zubaidiy banyak yang mencela Al-Asyaa’irah ? Ibnu ‘Abdil-Barr, misalnya, yang menukil perkataan pembesar madzhab Maalikiyyah awal, Ibnu Khuwaiz-Mindad rahimahumallaah : لا تجوز شهادة أهل البدع وأهل الأهواء …… أهل الأهواء عند مالك وسائر أصحابنا هم أهل الكلام، فكل متكلم فهو من أهل الأهواء والبدع أشعرياً كان أو غير أشعري، ولا تقبل له شهادة في الإسلام أبداً، ويهجر ويؤدب على بدعته “Tidak diperbolehkan menerima persaksian ahlul-bida’ dan pengikut hawa nafsu… Pengikut hawa nafsu menurut Maalik (bin Anas) dan seluruh shahabat kami adalah adalah para ahli kalam. Maka, setiap ahli kalam termasuk pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah, apakah ia seorang Asy’ariy atau selain Asy’ariy (pengikut madzhab Asya’irah). Dan tidak diterima persaksiannya dalam Islam selamanya. Wajib untuk di-hajr dan diberi peringatan atas bid’ah mereka” [Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlihi, no. 1800]. Masih banyak perkataan para ulama yang lain [selengkapnya baca : http://www.dd-sunnah.net/forum/showthread.php?t=78808]. [5] Seorang pakar bahasa di jamannya (151-231 H). [6] Lihat artikel di blog ini : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/02/paham-asyariyyah-adalah-cucu-paham.html. http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/abul-hasan-al-asyariy-bertaubat-ke.html

Minggu, 22 Januari 2012

CIRI KHAS MANHAJ SALAF

Ciri Khas Mazhab As-Salaf (1)

Selasa, 20 September 2011

Penulis : Asy-Syaikh Khalid Azh-Zhafiri

Berikut adalah terjemah lengkap dari transkrip muhadharah pertama Asy-Syaikh Khalid Azh-Zhafiri di Jogja bulan Agustus kemarin (tahun 2008).
Temanya seputar ciri khas manhaj As-Salaf. Kami sarankan kepada setiap yang menghendaki kebaikan untk membaca dan memahami isinya dengan seksama, karena di dalamnya terdapat banyak sekali faidah manhajiah yang bisa meluruskan akidah dan manhaj seseorang, baik ketika dia bermuamalah dengan dirinya, dengan orang yang semanhaj dengannya dan dengan orang yang bertentangan dengannya. Kalimat dalam kurung ‘[]‘ adalah tambahan dari kami, semacam judul agar pembaca bisa memahami dengan baik setiap ucapan dari Asy-Syaikh hafizhahullah. Selamat membaca …

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sesungguhnya segala pujian hanya untuk Allah. Kami memuji kepada-Nya, meminta pertolongan hanya kepada-Nya dan meminta ampunan hanya kepada-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amalan-amalan kita.
Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah, niscaya tidak ada yang sanggup menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang mampu memberi hidayah kepadanya. Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. (QS. Ali Imran: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kalian”. (QS. An-Nisa`: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71)
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya semua yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan. Sedangkan semua kesesatan berada dalam Neraka, amma ba’du:

[Pendahuluan]
Sesungguhnya seorang muslim dan mukmin ketika dia memperhatikan keadaan kaum muslimin pada zaman-zaman ini, niscaya dia akan melihat perselisihan yang sangat sengit di antara kaum muslimin, dia akan melihat banyak sekte yang beraneka ragam, serta kelompok-kelompok yang banyak dimana setiap kelompok berbangga dengan apa yang ada pada diri mereka. Apakah jalan untuk selamat dari kelompok-kelompok ini dan apakah jalan untuk lepas dari berbagai manhaj yang menyimpang ini, yang telah menyesatkan manusia serta menjauhkan mereka dari jalan Nabi r dan dari berpegang teguh kepada manhaj as-salaf as-saleh?
Sesungguhnya jalan untuk selamat dari mazhab-mazhab dan kelompok-kelompok ini adalah dengan berpegang teguh dengan apa yang Nabi r dan para sahabat beliau berada di atasnya. Karenanya, Nabi kita r bersabda -sebagaimana dalam hadits Muawiah t- bahwa orang-orang Yahudi telah berpecah belah menjadi 71 sekte, semuanya di dalam neraka kecuali satu. Nashrani juga telah terpecah belah menjadi 72 sekte, semuanya di dalam neraka kecuali satu. Dan umat ini -yakni umat Nabi r, dimana kita termasuk di dalamnya- akan terpecah menjadi 73 sekte, semuanya di dalam neraka kecuali satu. Beliau ditanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Para sahabat bertanya kepada beliau karena mereka sangat bersemangat untuk mengetahui kebaikan, semangat dalam mengetahui jalan yang benar, semangat untuk menjauhi semua sebab yang bisa menjatuhkan mereka ke dalam neraka Jahannam serta semua sebab kesesatan, kebinasaan dan kerugian. Maka Nabi r menjawab, “Mereka adalah al-jamaah,” dalam sebagian riwayat, “Siapa yang berada di atas jalan yang saat ini saya dan para sahabatku berjalan di atasnya.”
Kalau begitu inilah al-firqah an-najiah, inilah ath-thaifah al-manshurah dan inilah kelompok yang dijamin keselamatannya oleh Nabi r. Perhatikanlah perbandingan jumlah antara para pengikut kebinasaan dan kerugian dengan jumlah para pengikut kebaikan dan keberuntungan, 72 kelompok berbanding satu kelompok yang selamat. Karenanya para ulama mengatakan: Sesungguhnya keberadaan ahlus sunnah atau pengikut kebenaran di dalam kaum muslimin sebagaimana keberadaan kaum muslimin di dalam agama-agama yang kafir, yang bertentangan dengan Islam lagi tidak beriman kepada Allah. Jumlah ahlussunnah as-salafiyun sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah seluruh kaum muslimin, sebagaimana jumlah kaum muslimin yang berada di atas Islam yang benar, sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pemeluk agama-agama lainnya yang kafir. Sebagaimana yang Nabi r kabarkan, bahwa jumlah mereka (kaum muslimin) seperti bulu yang putih pada sapi yang hitam atau seperti bulu yang hitam pada sapi yang putih. Jumlah yang sedikit ini seharusnya menjadikan kita takut, jangan sampai kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang binasa. Ketakutan yang luar biasa jangan sampai kita termasuk di dalamnya, di dalam kelompok-kelompok sesat, yang Nabi r telah mengancam mereka dan beliau mengabarkan bahwa mereka akan menjadi penghuni neraka.

[Perhatian Nabi r dan para ulama setelah beliau akan permasalahan ini]
Kemudian, kelompok yang selamat dan kelompok yang tertolong ini, Nabi r tidak mengabarkan adanya begitu saja tanpa menyebutkan tanda-tandanya, dan para salaf as-saleh juga tidak membiarkannya tanpa menjelaskan nama-namanya, sifat-sifatnya dan ciri khasnya. Semua hal itu telah dijelaskan oleh para sahabat, telah dijelaskan dalam sunnah Nabi r, dan juga datang penyebutannya dalam Al-Qur`an serta dari para salaf saleh yang hidup di abad pertama dan yang telah lampau. Mereka semua menjelaskan mengenai firqah an-najiah ini, mereka menjelaskan ciri khas firqah an-najiah dan ath-taifah al-manshurah ini, yang merupakan jalan keselamatan. Barangsiapa yang berpegang teguh kepadanya dan masuk ke dalamnya maka dia termasuk ke dalam orang-orang yang beruntung.
Karenanya pada pembahasan kali ini, kita akan berbicara mengenai sebagian dari ciri khas salafiyun, ahlussunnah wal-jama’ah, ahlil hadits, ath-thaifah al-manshurah, al-firqah an-najiah. Semua nama ini adalah penamaan untuk satu kelompok, yaitu siapa saja yang mengikuti Nabi r dengan sebenar-benarnya, yang berpegang teguh dengan Al-Kitab dan sunnah Nabi r sesuai dengan pemahaman para salaf as-saleh. Ciri-ciri inilah yang akan kita jelaskan, dengan izin Allah Ta’ala.
Kemudian wahai saudaraku di jalan Allah, ketahuilah bahwa manhaj salaf mempunyai ciri-ciri yang penjelasannya diterangkan dalam kitabullah dan dalam sunnah Nabi r. Juga telah dijelaskan oleh para sahabat dan tabiin yang hidup di abad pertama, serta para ulama yang terdahulu dan belakangan. Mereka semua menjelaskan tanda-tanda ini serta menerangkan ciri-ciri ini, agar manusia bisa berpegang teguh dengan manhaj salaf yang merupakan jalan keselamatan dan keberuntungan di dunia dan akhirat. Para ulama telah menulis banyak karangan dalam permasalahan ini, mereka mengarang banyak karangan berkenaan dengannya. Al-Imam As-Sam’ani mempunyai sebuah kitab yang agung dalam masalah ushul ahlussunnah wal jamaah, di dalamnya beliau menyebutkan sejumlah ciri yang sangat penting di antara ciri-ciri mereka (ahlissunnah). Kitab ini termasuk kitab yang tidak ditemukan keberadaannya, akan tetapi ciri-ciri yang tersebut dalam kitab ini telah dihimpun dan dijelaskan oleh Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang agung yang berjudul Ash-Shawa’iq Al-Mursalah. Kemudian kitab (Ibnul Qayyim) ini diringkas lagi oleh Al-Maushili dengan judul Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah. Al-Imam As-Sam’ani -rahimahullah- telah menguraikan ciri-ciri ini, kemudian hal itu dipermantap lagi oleh Ibnul Qayyim, dan para imam -rahimahumullah- senantiasa menganjurkan untuk kembali merujuk kepadanya dalam permasalahan ini.

[Ciri pertama]
Ciri yang pertama: Ahlussunnah atau pengikut manhaj as-salaf selalu komitmen dalam mengikuti al-kitab dan komitmen dalam mengikuti sunnah Nabi r.
Mereka bersikap berdasarkan keduanya, membatasi diri (dalam berbuat) dengan keduanya dan tidak meninggalkan keduanya ataupun melampaui batas dari keduanya. Mereka tidak menyimpang ke kanan dan ke kiri bersama jalan-jalan yang beraneka ragam itu yang merupakan jalan-jalan setan. Mereka berpegang teguh kepada Al-Kitab, Sunnah Nabi r di atas sesuatu yang putih, di atas jalan yang lurus lagi jelas, tidak ada di dalamnya kekelaman, tidak pula kegelapan. Bahkan dia sangat jelas seperti sesuatu yang putih, yang malamnya sama seperti siangnya, sebagaimana yang disifatkan oleh Nabi r.

[Syarh hadits Irbadh bin Sariah]
Nabi kita r bersabda di dalam hadits Al-Irbadh bin Sariah -dan ini adalah hadits yang sangat agung-, Irbadh t berkata, “Nabi r memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang sangat mendalam. Karenanya hati-hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah wasiat perpisahan, maka berikanlah wasiat kepada kami.” -Sahabat ini mengatakan bahwa nasehat yang engkau berikan kepada kami ini wahai Rasulullah, bagaikan nasehat dari keluar dari seseorang yang tengah mengucapkan selamat tinggal kepada kaumnya karena dia akan pergi ke negeri akhirat (meninggal). Bagaimanakah keadaan seseorang yang mengucapkan selamat tinggal kepada kaumnya, dengan apakah dia berwasiat kepada mereka? Tidak diragukan lagi pasti dia akan berwasiat kepada mereka dengan perkara-perkara yang paling penting, masalah-masalah penting yang padanya terdapat keberuntungan dan keselamatan mereka. Beliau r menjawab, “Saya berwasiat kepada kalian dengan ketakwaan kepada Allah, tetap mendengar dan taat walaupun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak habasyi. Sesungguhnya siapa di antara kalian yang hidup setelahku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak.” Perselisihan inilah yang sedang kita bahas, inilah yang tengah kita lihat dengan mata-mata kepala kita, kita hidup pada kenyataan kita seperti itu, jalan-jalan yang beraneka ragam, metode-metode setan yang sangat banyak. Akan tetapi jalan dan metode yang benar tetap satu, tidak ada kebengkokan di dalamnya, tidak ada kekelaman, kegelapan dan yang semcamnya. Beliau bersabda selanjutnya, “Maka wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku,” inilah jalan keselamatan, “dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk lagi di atas hidayah. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian,” yakni:gigitlah ia dengan gigi kalian yang paling dalam. Ini adalah dalil dan ungkapan yang menunjukkan kuatnya tamassuk kepada sunnah Nabi r. Karena seseorang terkadang memegang sesuatu dengan tangannya, atau dengan tangannya yang lain atau dengan kakinya. Akan tetapi tatkala dia menahannya dengan gigi geraham, yakni dia sudah memegangnya dengan kedua tangannya, menahannya dengan semua bagian tubuhnya, merangkulnya kepadanya dan menggigitnya dengan gigi gerahamnya, ini semua dilakukan oleh orang yang mengikuti sunnah Nabi r. Kemudian beliau r mentahdzir dari jalan-jalan bid’ah, memperingatkan dari bid’ah, “Waspadalah kalian dari semua perkara yang di ada-adakan, karena semua yang diada-adakan adalah bid’ah, semua bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan berada di dalam neraka.” Sebagai kebalikan dari beliau memotifasi agar mengikuti sunnah Nabi r, tamassuk dengannya dan sunnah para salaf as-saleh dari kalangan khulafa ar-rasyidin, menyuruh untuk menggigitnya dengan gigi geraham, sebagai kebalikannya beliau juga mentahdzir dari perkara-perkara yang bertentangan dengan sunnah ini dan bertolak belakang dengan sunnah ini, yaitu perbuatan bid’ah, mengada-adakan, jalan-jalan yang diada-adakan. Beliau memperingatkan darinya dengan sabdanya, “Waspadalah kalian dari semua perkara yang diada-adakan,” kemudian beliau bersabda, “semua yang diada-adakan adalah bid’ah,” tidak ada di dalam agama bid’ah hasanah (baik) dan tidak pula bid’ah sayy`iah (jelek), bahkan semua bid’ah adalah kejelekan, semuanya adalah kesesatan. Kata ‘kullu’ (semua) bermakna umum yang mencakup semua perkara yang diada-adakan, karena semua yang diada-adakan adalah bid’ah dan kesesatan. Nabi kita r juga mengabarkan kepada kita sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Rasulullah r menggaris di hadapan kami sebuah garis yang lurus, kemudian beliau membuat garis-garis yang bengkok di sisi kanan dan kiri garis lurus tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Garis yang lurus ini adalah jalan Allah yang lurus –inilah jalannya salaf as-saleh, inilah manhaj as-salaf, yang berjalan di atas jalan yang lurus-, adapun jalan-jalan yang menyimpang ke kanan dan ke kiri, maka pada setiap jalan darinya ada setan yang menyeru kepadanya,” inilah kelmpok-kelompok, padanya ada setan-setan dari kalangan jin dan manusia, dia mengajak manusia, mengajak ahlussunnah, mengajak kaum muslimin untuk terjun ke dalam kelompok-kelompok ini, ke dalam jalan-jalan bid’ah buatan setan ini, sampai mereka semua sesat dan binasa. Nabi kita r juga bersabda, “Barangsiapa yang benci kepada sunnahku maka bukan termasuk dariku.” Semua dalil dan hadits ini menunjukkan ciri khas yang agung ini, yang ahlussunnah wal jamaah berbeda dari selainnya, yaitu mengikuti al-kitab, mengikuti as-sunnah sesuai dengan pemahaman para salaf as-saleh. Mereka bukanlah kaum yang hanya berpegang kepada Al-Qur`an lalu meninggalkan sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh sekte Al-Qur`aniyun, mereka tidak mengambil akal dan meninggalkan Al-kitab dan As-sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh al-aqlaniyun, tidak juga mengambil sunnah lalu membatalkan Al-Qur`an. Bahkan mereka mengambil dan memadukan antara Al-Qur`an dan sunnah Nabi r. Maka orang yang mengikuti Al-Qur`an, wajib atasnya untuk mengikuti sunnah Nabi r. Allah -Azza wa Jalla- telah berfirman dalam ayat yang agung, yang para ulama menamakannya dengan nama ayat mihnah, karena ayat ini menguji manusia dan menyaringnya, apakah dia jujur dalam mengikuti Al-Qur`an dalam mengikuti Rabbnya ataukah dia tidak jujur di dalamnya, “Katakanlah kalau kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Maka orang yang jujur dalam kecintaannya kepada Allah maka wajib atasnya untuk mengikuti Nabi-Nya r, yang Allah utus kepada manusia sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Inilah ciri khas yang pertama lagi agung yang dengannya ahlussunnah wal jamaah dan manhaj salafy berbeda dari yang lainnnya.

[Ciri kedua]
Di antara ciri khas ahlussunnah wal jamaah as-salafy, adalah apa yang As-Sam’ani -rahimahullah- sebutkan, yaitu satunya mereka dalam akidah walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Engkau melihat mereka dalam masalah akidah di atas satu metode, di atas jalan yang satu. Mereka menyebutkan akidah mereka, yang satunya tinggal di timur, yang lainnya tinggal di barat, yang satunya tinggal di Jazirah, di Yaman, di Syam, kamu akan menjumpai mereka di atas satu akidah dan di atas jalan yang sama. Ini termasuk dari ciri khas terbesar ahlussunnah wal jamaah, termasuk dari ciri khas terbesar para pengikut manhaj yang benar, pengikut manhaj as-salafay. Kamu menjumpai mereka di atas satu jalan, walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Salafy yang ada di Indonesia sama persis dengan salafy yang ada di negeri Hijaz, sama dengan salafy yang ada di Najd, sama dengan salafy yang ada di Yaman, sama dengan salafy yang ada di Syam. Mereka semua, kenapa akidah mereka bisa sama? kenapa keyakinan mereka bisa satu? Karena mereka berjalan di atas satu jalan. Orang yang berjalan di atas Al-Kitab dan berjalan di atas sunnah Nabi r sesuai dengan pemahaman salaf as-saleh, akan menjumpai bahwa ahlussunnah berada di atas satu jalan, dan di atas metode yang sama walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Karenanya beliau (As-Sam’ani) -rahimahullah- berkata, “Di antara dalil yang menunjukkan ahli hadits berada di atas kebenaran, adalah kalau kalian menelaah kitab-kitab karangan mereka dari yang pertama sampai yang terakhir, yang terdahulu dan yang belakangan -yakni yang hidup di zman terdahulu dan yang belakangan- kamu akan mendapati mereka dalam masalah akidah -bersamaan dengan berbedanya negeri-negeri mereka dan zaman kehidupan mereka dan berjauhannya rumah-rumah mereka dan setiap dari mereka bertempat tinggal di daerah sendiri-, mereka berada di atas metode yang sama, di atas cara yang sama, mereka semua berjalan di atas satu jalan dan mereka tidak menyimpang darinya, hati-hati mereka tidak keluar dalam masalah itu darinya. Hati-hati mereka bagaikan hati satu orang, penukilan-penukilan mereka juga sama, kamu tidak mendapati adanya perselisihan dan tidak pula perpecahan dalam masalah apapun walaupun sedikit. Bahkan kalau kamu mengumpulkan semua yang diriwayatkan dari lisan-lisan mereka dan apa yang mereka nukil dari para pendahulu mereka, niscaya kamu akan mendapatinya seakan-akan dia berasal dari hati yang sama, keluar dari lidah yang sama. Maka apakah ada dalil yang menunjukkan akan kebenaran yang lebih jelas daripada ini?!”
Maka ini adalah tanda yang besar dan dalil yang jelas yang menunjukkan bahwa manhaj salaf adalah manhaj yang benar. Karena para pengikut manhaj ini -walaupun daerah mereka berjauhan dan zamannya tidak sama-, kamu menemukan mereka di atas metode yang sama dalam masalahg akidah. Lihatlah misalnya pada apa yang dibawakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dan akidah yang dia sebutkan dari mereka (ulama salaf), kemudian lihat juga yang dibawakan oleh Samahah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- berupa perkara akidah, demikian oula syaikh Ibnu Utrsaimin -rahimahullah- dalam masalah akidah, lihat juga di hijaz, Asy-Syaikjh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullah-, lihat juga di selatan, Syaikh Ahmad An-Najmi -rahimahullah- dan demikian seterunya. Hitunglah semua ulama, niscaya kamu akan mendapati mereka berada di atas akidah ahlussunnah wal jamaah dan apa yang mereka sebutkan berupa akidah dan manhaj salaf, seakan-akan mereka di atas satu jalan. Kenapa? Karena mereka semua mengambil kidah mereka dari sumnber yang sama dari mata air yang sama, yang jernih, tidak ada kekeruhan dan kekelaman padanya, mata air ini adalah kitabullah, sunnah Nabi r sesuai dengan pehamaman salaf as-saleh

[Keadaan ahli bid’ah dan ahwa dalam masalah ini]
Adapun kalau kamu melihat kepada ahli ahwa dan ahli bid’ah maka kamu akan melihat mereka saling menyerang antara satu sama lain, saling memusuhi antara satu dengan yang lainnya, mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga setiap sekte dari mereka mengkafirkan sekte lainnya, mentahdzir dari sekte yang lainnya, tanpa berlandaskan dengan dalil bahkan hanya berdasarkan hawa nafsu, dengan fanatisme, hizbiyah, sehingga sekte ini menyerang sekte ini dan seterusnya. Hal ini sudah berlangsung sejak dahulu, dimana ahlul ahzab dan ahwa saling berperang di antara mereka. Al-Muktazilah mengkafirkan Al-Asy’ariah, mentahdzir mereka dan mereka mengarang kitab-kitab untuk membantah mereka. Al-Asy’ariah juga mengarang kitab-kitab untuk membantah Muktazilah, dan demikian pula yang terjadi antara Al-Karramiah dan Al-Asy’ariah di Khurasan yang menyebabkan terbunuhnya banyak dari kalangan kaum muslimin. Demikian pula lihatlah berbagai kerusakan yang ditimbulkan oleh Ar-Rafidhah, Ikhwanul Muslimin, dan dari selain mereka, serta dari Khawarij dan Takfiriyun. Semua ini menunjukkan bahwa mereka semua adalah pelaku kebatilan dan bahwa mereka adalah pengikut hawa, dan bahwa mereka adalah ahlu bid’ah dan kesesatan. Para ulama menyebutkan tentang kisah dua orang khawarij, lihatlah bagaimana hawa nafsu menyeret mereka, bagaimana bid’ah merusak pelakunya. Kedua orang khawarij ini tengah melakukan tawaf di sekitar Ka’bah, lalu salah seorang di antara mereka berkata kepada yang lainnya, “Wahai fulan, bagaimana pendapatmu tentang mereka yang berada di tanah haram Allah, yang tawaf bersama kita di rumah Allah, tidak ada seorang pun di antara mereka yang muslim kecuali saya dan kamu.” Dia berkata kepada temannya, “Tidak ada seorang pun di tanah haram ini yang muslim kecuali saya dan kamu,” kenapa dia berkata seperti itu? Karena mereka mengkafirkan kaum muslimin, khawarij. Maka temannya yang juga khawarij ini berkata dan dia merasa keberatan dengan ucapan temannya -seakan-akan dia kembali kepada akalnya-, “Surga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi, tidak diperuntukkan kecuali saya dan kamu? Saya berlepas diri dari mazhabmu,” sehingga dia pun berlepas diri darinya dan meninggalkan temannya. Akan tetapi lihatlah bagaimana ahli ahwa saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya, mentahdzir antara satu dengan yang lainnya dengan kebatilan. Adapun ahlussunnah maka kamu akan mendapati mereka dalam masalah akidah di atas satu jalan dan di atas satu hati dan seakan-akan mereka adalah satu tubuh yang berbicara, seakan-akan satu orang yang berucap. Maka ini adalah salah satu di antara ciri-ciri manhaj salaf dan ciri yang besar yang sepantasnya untuk diingatkan dan diperhatikan.

[Ciri ketiga]
Juga di antara ciri dari manhaj salaf bahwa mereka saling bersatu di antara mereka, bersepakat di antara sesame mereka, tidak ada perpecahan di antara mereka, tidak ada pertentangan di antara mereka karena mereka mengambil agama ini dari jalan yang sama. Maka pasti pada manhaj salaf dan yang mengikuti manhaj salaf sudah seharusnya dan sepantasnya mereka saling merahmati di antara mereka, berlemah lembut di antara mereka, jangan sampai terjadi di antara mereka perselisihan hanya karena sebab yang sepele dan karena perkara duniawi. Kemudian perkara dunia ini akan disangkutpautkan dengan masalah mahaj, sehingga terjadilah saling mentahdzir di antara mereka, terjadilah pertentangan dan perpecahan di antara para ustadz, di antara ikhwah, di antara dai. Sampai akhirnya si fulan mentahdzir si fulan tanpa dibangun di atas dalil, tanpa satu alasan apapun, yang ada hanyalah hawa nafsu, meninggikan diri sendiri dan tidak mengambil akhlak-akhlak Nabi kita r dalam bermuamalah dengan yang lainnya dan untuk bersikap lemah lembut kepada orang yang semanhaj, terkhusus karena kita berbicara tentang satu manhaj dan tentang ikhwah yang berada di bawah satu bendera yaitu bendera manhaj salaf. Semuanya mereka berada di bawah bendera ini, semuanya berada di atas akidah yang sama. Kalau begitu kenapa kita menebarkan sebab-sebab perselsihan di antara kita, kenapa kita menanam pohon-pohon pertentangan di antara kita, sampai pertentangan ini meluas ke kalangan para penuntut ilmu kita, kemudian meluas sehingga terjadilah perpecahan di antara kaum muslimin, perpecahan di antara salafiyin, yang mana hal ini menyebabkan terbukanya pintu bagi para musuh untuk merusak manhaj salaf dari dalam, demikian pula hal ini akan menyebabkan terkaburnya (tasywisy) bentuk manhaj salaf sebenarnya dikarenakan mereka tidak mengamalkan sabda Nabi r, “Tidaklah kelemahlembutan ada pada sesuatu kecuali dia akan memperindah sesuatu itu, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali sesuatu itu akan menjadi jelek.” Maka hukum asal dalam bermuamalah dengan orang yang semanhaj adalah bersikap lemah lembut di antara sesama kita, saling merahmati di antara kita, saling menasehati di antara sesama kita. Setiap dari kita adalah cermin bagi saudaranya, yang menjelaskan kesalahannya dengan teguran dan nasehat, dengan kelemahlembutan dan ucapan yang baik, tidak menanam sebab-sebab perpecahan dan tidak menyebarkan semua perkara yang menyebabkan terjadinya perselisihan di antara salafiyin. Bahkan hendaknya kita di atas satu hati atau seperti satu tubuh agar dakwah ini bisa tersebar, dakwah kita bisa berbuah, dakwah ini menjadi luas sehingga manusia bisa masuk ke dalamnya serta manbhaj salaf bisa nampak sesuai dengan bentuknya yang sebenarnya lagi bersih di hadapan manusia, sehingga mereka mengetahui bahwa ini adalah kebenaran dan bahwa pengikut manhaj ini adalah pengikut manhaj yang benar. Karenanya Allah Azza wa jalla menyifati para sahabat dengan firman-Nya, “Saling merahmati di antara mereka,” yakni: Mereka saling merahmati di antara mereka.

[Nabi r menghindari semua sebab perpecahan]
Nabi r juga selalu menjauh dari semua permasalahan yang menyebabkan terkaburkannya agama Islam atau menyebabkan terjadinya perpecahan di antara kaum mukminin. Sampai-sampai tatkala Dzul Khuwaishirah mencela Nabi r, menuduh beliau tidak adil, berbuat zhalim seraya berkata, “Berbuat adillah kamu wahai Muhammad!” Maka Khalid bin Al-Walid dan Umar bin Al-Khaththab -radhiallahu anhuma- sudah berniat untuk membunuhnya, tapi Rasulullah r melarang mereka berdua, kenapa beliau melarangnya? Agar jangan sampai dikatakan bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya sendiri. Beliau menjauhi dan menjauhkan sebab-sebab terkaburkannya agama Islam dan sebab-sebab terkaburkannya manhaj yang benar, manhaj salaf. Maka hendaknya ini menjadi sifat kita, hendaknya ini menjadi metode kita. Nabi kita r bersabda kepada Aisyah, “Seandainya kaummu tidak dekat dari masa kekafiran (yakni: baru masuk Islam, pen.) niscaya saya akan menghancurkan Ka’bah dan saya akan membangunnya di atas pondasi yang dibuat oleh Ibrahim -alaihissalam-.” Maka perhatikanlah hal ini, tidak ada yang mencegah beliau untuk melakukan perbuatan ini, kecuali agar jangan sampai manusia lari dan menjauh dari Islam, akan terjadi pengkaburan terhadap Islam dikarenakan perbuatan itu, di sisi sebagian orang-orang yang jahil. Karenanya hendaknya kita menjadi orang-orang yang saling merahmati di antara kita, yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang tua, kita saling menghormati, saling menasehati di antara kita. Kita memuliakan para ulama kita, memuliakan para dai kita, menghormati saudara-saudara kita yang berada di markaz (pondok) lainnya. Jangan sampai markaz yang satu menjadi musuh bagi markaz yang lainnya -padahal seluruhnya adalah salafiyin-. Yang ini mentahdzir yang itu, yang itu mentahdzir yang ini, ini bukanlah metode para salaf as-saleh dan bukan termasuk sesuatu yang dijelaskan oleh Nabi kita r, bukan pula yang dijelaskan oleh para ulama kita, salaf as-saleh dari kalangan sahabat dan tabi’in, dan tidak pula dijelaskan oleh para ulama kita baik yang mutaqaddimin maupun yang muta`akhkhirin. Karenanya hendaknya kita saling bersikap lemah lembut dan menjadi satu hati. Kita mengajak kepada persatuan, mengajak kepada berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, mengajak untuk menjauhi semua sebab perpecahan dan perselisihan di antara kita.

[Ciri keempat]
Juga di antara ciri manhaj salafi, ciri ahlussunnah wal jamaah -dan ini adalah ciri yang agung-, yaitu mereka senantiasa mendahulukan sunnah Nabi r di atas semua ucapan manusia. Adapun ahli bid’ah, maka mereka meninggalkan sunnah Nabi r karena mengikuti ucapan manusia. Ahlussunnah mengetahui (baca: mengukur) ucapan manusia berdasarkan sunnah Nabi r, sedangkan ahli bid’ah mereka mengetahui (mengukur) sunnah berdasarkan pendapat-pendapat manusia. Mereka menjadikan pendapat-pendapat dan hasil dari akal-akal manusia sebagai mukaddimah (pendahuluan) yang dengannya mereka mengenal (baca: membenarkan) sunnah Nabi r, karenanya kalau sunnah sesuai dengan pendapat-pendapat itu maka mereka akan mengambilnya, tapi kalau sunnah bertentangan dengan akal-akal mereka dan pendapat guru-guru dan para ulama mereka maka mereka akan menolaknya dan tidak akan mengambilnya. Berbeda halnya dengan ahlussunnah wal jamaah, karena mereka mendahulukan sunnah Nabi r di atas ucapan siapa pun, bagaimana pun kedudukan orang tersebut. Bahkan mereka menjadikan sunnah Nabi r, Al-Kitab dan As-Sunnah, mereka menjadikannya sebagai sesuatu yang benar dan kepadanyalah dikembalikan ketika terjadi perpecahan, ketika terjadi perselisihan. Ketika terjadi perselisihan dan pertentangan, maka mereka segera kembali kepada Kitab Allah dan kepada Sunnah Nabi r. Adapun ahli bid’ah, maka mereka kembalinya kepada pendapat-pendapat manusia, kepada akal-akal manusia, kepada guru-guru mereka dan para pembesar mereka, mereka tidak menerapkan kitab Allah dan tidak menerapkan sunnah Nabi r. Allah -Azza wa Jalla- berfirman, “Jika datang kepada mereka suatu perkara yang berkenaan dengan keamanan atau ketakutan (kaum muslimin), maka mereka dengan segera menyebarkannya. Seandainya mereka mengembalikannya kepada Ar-Rasul dan kepada ulil amri di antara mereka, niscaya perkara itu akan diketahui oleh orang-orang yang mempunyai pemahaman terhadapnya di antara mereka. Seandainya bukan karena keutamaan dan rahmat Allah kepada kalian, niscaya kalian akan mengikuti setan kecuali sedikit di antara kalian.” Demikian pula Allah -Azza wa Jalla- berfirman, “Dan barangsiapa yang mendurhakai Ar-Rasul setelah jelas baginya petunjuk,” dia berada di satu sisi sedangkan sabda Nabi r berada di sisi yang lainnya, keduanya saling berjauhan, dia meninggalkan sabda Rasulullah r. “Dan barangsiapa yang mendurhakai Ar-Rasul setelah jelas baginya petunjuk,” telah ditegakkan hujjah kepadanya dan jalan yang benar telah dijelaskan kepadanya dan jalan yang lurus telah diterangkan kepadanya, tapi kemudian dia mengikuti selain jalannya kaum mukminin, jalannya salaf as-saleh. Dan ini adalah dalil terbesar yang menunjukkan wajibnya mengikuti jalannya kaum mukminin dan wajibnya mengikuti jalan para salaf as-saleh. “Serta dia mengikuti jalan selain jalannya kaum mukminin, niscaya Kami akan membiarkan dia larut dalam kesesatannya dan Kami akan memasukkan mereka ke dalam Jahannam, dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” Maka yang wajib kita kembali kepadanya adalah Kitab Allah dan sunnah Nabi r berdasarkan pemahaman para salaf as-saleh. Hendaknya menjauhi pendapat-pendapat manusia dan pendapat-pendapat ahli ahwa yang bertentangan dengan kitab Allah, bertentangan dengan sunnah Nabi r, hendaknya dia tidak membeda-bedakan antara kitab Allah dan tidak membeda-bedakan antara sunnah Nabi r.

[Beberapa kaidah dari ucapan para ulama]
Ada seorang perempuan yang pernah datang kepada Ibnu Mas’ud ra lalu berkata, “Wahai Ibnu Mas’ud, sesungguhnya saya telah membaca Al-Qur`an seluruhnya akan tetapi saya tidak menemukan adanya pengharaman namsh (mencukur alis),” seakan-akan dia ingin berdalil dengannya bahwa namsh itu halal. Maka Ibnu Mas’ud menjawab dengan sebuah jawaban yang agung dan jawaban ini adalah kaidah dan salah salah satu ushul (landasan) besar ahlissunnah wal jamaah, “Kalau memang kamu telah membaca Al-Qur`an seluruhnya maka pasti kamu telah menemukannya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman, “Dan apa yang As-Rasul datangkan kepada kalian maka ambillah dan apa yang dia larang kalian darinya maka berhentilah,” yakni: Semua yang yang Rasulullah r datangkan kepada kalian adalah sama seperti apa yang Allah -Azza wa Jalla- datangkan, karena Allah -Azza wa Jalla- lah yang mengutus beliau dan mewahyukan kepada beliau, mengutus beliau kepada jin dan manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Maka wajib atas seseorang untuk tidak membeda-bedakan antara kitab Allah dengan sunnah Nabi r, wajib mendahulukan sunnah di atas pendapat-pendapat manusia, walaupun mereka menghias-hiasai dan memperindah pendapat mereka, dia tidak boleh didahulukan di atas sunnah Nabi r. Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Nabi r maka dia tidak boleh meninggalkannya hanya karena mengikuti ucapan seseorang, siapapun orangnya.” Tidak boleh baginya meninggalkan sunnah Nabi r karena mengikuti ucapan seseorang, siapa pun orangnya, bagaimana pun tingginya kedudukan orang itu. Sebagaimana dikatakan kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- tatkala beliau menyebutkan suatu permasalahan, lalu dibawakan kepada beliau pendapat Abu Bakar dan Umar, maka beliau berkata, “Hampir-hampir saja kalian akan dijatuhi bebatuan dari langit. Saya berkata kepada kalian, “Rasulullah r bersabda demikian,” akan tetapi kalian justru (menentang dengan) mengatakan, “Tetapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian,” dan hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-. Imam Ahmad -rahimahullah- berkata, “Saya heran dengan kaum yang mengetahui sanad dan keshahihannya lalui mereka mengambil pendapat Sufyan. Padahal Allah -Azza wa Jalla- berfirman, “Hendaknya orang-orang yang menentang perintah Nabi merasa takut, dia akan terkena fitnah atau dia akan terkena siksaan yang pedih.” Apakah kalian tahu apa itu fitnah, fitrnah di sini adalah kesyirikan. Mungkin saja tatkala dia menolak sebagian sabda beliau, maka akan muincul di dalam hatinya bentuk penyimpangan lalu dia binasa.” Maka orang yang menolak sunnah Nabi r dan menghukuminya dengan pendapat-pendapat manusia, ini adala jalan kebinasaan dan jalan penyimpangan -kita meminta keselamatan kepada Allah untuk saya dan untuk kalian-.

[Penutup]
Saudaraku sekalian, sesungguhnya ciri-ciri manhaj salaf sangatlah banyak dan berbilang, disebutkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi r bagi siapa yang mentadabburinya, membacanya dan memperhatikannya dan bagi siapa yang melihat sejarah salaf as-saleh dari kalangan sahabat dan tabi’in dan atba` tabi’in dan para ulama ummat ini dari kalangan terdahulu dan belakangan. Dia akan mendapati bahwa ciri manhaj salaf sangat jelas dan nampak. Maka wajib atas kita -wahai saudaraku di jalan Allah- untuk berpegang teguh dengan manhaj salafi yang agung ini yang Allah merupakan nikmat Allah -Azza wa Jalla- kepada kita. Perhatikanlah keadaan para penentang, perhatikanlah keadaan ahli bid’ah dan pandanglah mereka dengan pandangan kasihan, sebagaimana kamu melihat kepada mereka dengan pandangan syariat. Dan ketahuilah bahwa kamu berada di atas nikmat yang besar, yaitu sunnah Nabi r, yaitu berpegang teguh dengan manhaj salaf yang benar. Ini adalah nikmat yang tidak setara dengan nikmat manapun. Karenanya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman, “Katakanlah dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya, dengannyalah hendaknya mereka bergembira. Itu jauh lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata bahwa penafsiran yang paling tepat untuk ayat ini adalah bahwa keutamaan Allah dan rahmat-Nya kepada kaum mukminin yang seharusnya mereka bergembira dengannya dan yang lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan adalah berpegang teguh dengan sunnah Nabi r. Maka seharusnya kita bergembira dengan nikmat yang besar ini, sebagaimana seharusnya kita berpegang teguh dengannya, serta menjauh dari semua perkara yang bisa menghilangkan nikmat ini atau menjauhkan kita darinya, hendaknya kita bersungguh-sungguh dalam berdoa, “Wahai Yang mengokohkan hati, kokohkanlah hati-hati kami di atas agama-Mu. Wahai Yang memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami kepada ketaatan kepada-Mu” Hendaknya kita memperbanyak berdoa, “Ya Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Engkau berhukum di antara hamba-hambaMu pada apa yang mereka perselisihkan. Tunjukilah saya kepada kebenaran dengan izin-Mu pada apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” Karenanya warid dalam syariat, anjuran agar kita membaca Al-Fatihah dalam setiap shalat, kita berkata, “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus.” Semua ini dari kesempurnaan kegembiraan kita dengan nikmat ini, hendaknya kita bersungguh-sungguh dalam berpegang teguh kepadanya, dan mengerahkan semua sebab berpegang teguhnya kita dengan manhaj salafy yang agung ini, yang merupakan jalan Nabi r. Maka kita meminta kepada Allah sub agar mengokohkan kita di atas manhaj salafy yang benar sampai kita bertemu dengan-Nya dan mewafatkan kita di atasnya dan agar Dia mengokohkan kita di atas kalimat ‘Laa Ialaha Illallah’. Kita meminta kepada Allah sub agar mengumpulkan kita di dalam surga-surga yang penuh kenikmatan. Wallahu a’lam.
Shalawat dan salam dari Allah kepada Nabi kita Muhammad dan jazakumullahu khairan atas perhatian kalian.

Sumber : http://al-atsariyyah.com/ciri-khas-mazhab-as-salaf.html