Mengawali kedustaan-kedustaannya, saudara
Idahram kembali mendasarkan “fakta-fakta” (pada hal. 65) kepada
sejarawan kafir (?) yang bernama, Vladimir Borisovich Lotsky. Maka kami
ingatkan kembali, bahwa menempuh segala cara seperti ini bukanlah cara
yang dibenarkan dalam Islam. Ajaran Islam menuntun kita untuk
berhati-hati dalam menerima berita, tidak begitu saja mempercayai dan
menyebarkan setiap berita yang kita dengar. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Al-Imam Muslim rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas dalam muqaddimah Shahihnya,
“Kabar yang berasal dari orang fasik
itu jatuh, tidak boleh diterima. Dan persaksian seorang yang tidak adil
(yaitu tidak beriman dan bertakwa) tertolak.” [1]
Bahkan lebih parah lagi, yang menunjukkan buku Sejarah Berdarah
ini sangat tidak ilmiah, adalah penukilan ucapan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah bukan dari kitab-kitab beliau secara langsung,
tapi dari orang yang sangat terkenal memusuhi beliau dan tidak segan
berdusta demi untuk menjatuhkan beliau, yaitu Ahmad Zaini Dahlan.
Perhatikan ucapan Ahmad Zaini Dahlan yang dia sandarkan –secara dusta
tanpa menyertakan bukti ilmiah sedikitpun- kepada Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah seperti yang dikutip oleh saudara Idahram,
“Siapa saja yang masuk ke dalam
dakwah kami, maka dia memiliki hak dan kewajiban sama dengan kami, dan
siapa saja yang tidak masuk (ke dalam dakwah kami) bersama kami, maka
dia kafir, halal nyawa dan hartanya.” (Sejarah Berdarah…, hal. 68)
سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
“Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nur: 16)
Wahai saudara Idahram, apakah
memang berdusta ringan di sisimu, sehingga dengan mudahnya engkau terima
dan engkau sebarkan setiap kabar yang sampai kepadamu tanpa melakukan
klarifikasi?
Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَفَا بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seorang dianggap pendusta, jika dia menceritakan setiap yang dia dengarkan.” (HR. Al-Imam Muslim)[2]
Pembaca yang budiman, benarkah
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengkafirkan dan
menghalalkan darah kaum muslimin yang tidak mengikuti dakwah beliau?
Tuduhan ini sebenarnya bukan hal baru, di masa beliau hidup, para tokoh kesyirikan atau bid’ah yang terusik dengan dakwah tauhid dan sunnah yang beliau serukan berusaha terus mempertahankan kesyirikan dan bid’ah
mereka di tengah-tengah masyarakat, tanpa peduli walaupun harus
berdusta atas nama beliau agar masyarakat tidak mengikuti seruan beliau.
Maka beliau pun tidak tinggal diam, beliau membantah tuduhan dusta
tersebut.
Beliau berkata,
“Orang yang mengatakan bahwa Ibnu Abdil Wahhab berkata, ‘SIAPA YANG TIDAK MASUK DALAM KETAATAN (DAKWAH)KU MAKA DIA KAFIR’,
maka kami katakan, subhanahallah
ini adalah kedustaan yang besar, bahkan kami bersaksi kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati kami,
bahwa siapa saja yang mentauhidkan Allah dan berlepas diri dari
kesyirikan dan pelakunya, maka dia adalah seorang muslim, kapan dan di
mana pun dia berada.
KAMI HANYALAH MENGKAFIRKAN ORANG YANG
MENYEKUTUKAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA DALAM ILAHIYYAH SETELAH JELAS
BAGINYA HUJJAH ATAS BATILNYA KESYIRIKAN.”[3]
Beliau juga berkata,
“Adapun kedustaan dan fitnah, adalah
seperti ucapan mereka bahwa kami mengkafirkan semuanya, kami mewajibkan
hijrah kepada kami bagi orang yang mampu menampakkan agama di daerahnya,
kami mengkafirkan siapa yang tidak mengkafirkan dan tidak ikut
berperang dan masih banyak lagi kedustaan mereka,
KAMI TEGASKAN INI SEMUA ADALAH DUSTA
DAN FITNAH, YANG MEREKA INGINKAN HANYALAH MENGHALANGI MANUSIA DARI
DAKWAH KEPADA AGAMA ALLAH DAN RASULNYA YANG KAMI SERUKAN.”[4]
Buku Ahmad Zaini Dahlan yang dijadikan
referensi oleh saudara Idahram, sebenarnya dari awal sampai akhir telah
dibantah oleh ulama besar ahli hadits asal India, Syaikh Muhammad Basyir
As-Sahsawani rahimahullah dalam sebuah kitab yang beliau beri judul, “Shiyanatul Insan ‘an Waswasati Syaikh Dahlan”,
yang artinya, “Penjagaan Terhadap Manusia dari Bisikan-bisikan Ahmad
Zaini Dahlan” yang diberikan kata pengantar oleh Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha rahimahullah wa ghafara lahu dari Mesir, pada salah satu
cetakannya. Kesimpulan dari bantahan beliau kepada Dahlan,
“BAHWA SEMUA TUDUHAN DAHLAN HANYALAH
KEDUSTAAN TANPA DIRAGUKAN LAGI, HAL INI DAPAT DIKETAHUI BAGI MEREKA YANG
MEMILIKI SECUIL IMAN, ILMU DAN AKAL.”[5]
Karena terlalu banyak dusta Ahmad Zaini
Dahlan, sampai-sampai Syaikh Mas’ud An-Nadwi rahimahullah (juga ulama
India, bukan ulama Saudi) berkata, “Adapun Ahmad Zaini Dahlan (1204 H/1886 M),
maka seakan-akan dia mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan memusuhi jamaah ini, dan sungguh dia telah melemparkan
tuduhan-tuduhan ini berulang kali.”[6]
Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawi
rahimahullah memaparkan hasil pertemuan langsung dan penelitian beliau
terhadap kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan
murid-muridnya. Beliau berkata,
“Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikut-pengikutnya tidak pernah sekalipun mengkafirkan seorang muslim. Mereka
juga tidak pernah berkeyakinan bahwa kaum muslimin hanya mereka saja
sedangkan yang berbeda dengan mereka semuanya musyrik.
Mereka juga tidak pernah menhalalkan
pembunuhan terhadap Ahlus Sunnah dan menawan wanita-wanita mereka.
Sungguh aku telah berjumpa dengan lebih dari satu ulama pengikut Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, aku juga telah banyak menelaah buku-buku
mereka, aku tidak menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan ini lebih
pada sumbernya maupun pengaruhnya. Ini semua hanyalah fitnah dan dusta.”[7]
وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nur: 11)[8]
Untuk lebih jelasnya, bagaimana kedustaan
dan pemutarbalikan fakta sejarah yang dilakukan saudara Idahram demi
untuk mencitrakan keburukan terhadap dakwah tauhid dan sunnah yang
diserukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, maka Insya Allah Ta’ala akan kami paparkan bukti-bukti ilmiah secara lebih terperinci dalam pembahasan berikut:
1. Penyerangan Terhadap Karbala
Karbala adalah salah satu kota yang
dihuni oleh orang-orang Syi’ah. Mereka mengklaim di sana terdapat
kuburan Al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Bukan hanya itu, mereka
anggap Karbala adalah kota suci mereka, selain Makkah dan Madinah.
Kuburan Al-Husain radhiallahu ‘anhu pun mereka sembah, mereka memohon
kepadanya dan berhaji ke kuburannya. Bahkan mereka meyakini, shalat
tidak sah selain di atas tanah Karbala.
Inilah fakta kesyirikan dan bid’ah yang
dilakukan kaum Syi’ah, namun dalam bukunya tersebut, penyimpangan ini
didiamkan saja oleh saudara Idahram. Padahal wajib bagi kaum muslimin
untuk mengubah kemunkaran dengan kekuatan jika mampu. Jika tidak, maka
dengan lisan. Jika tidak mampu juga dengan lisan, maka minimalnya benci
dengan hati. Bukan malah mendiamkan dan menyetujui kesyirikan tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَان
“Barangsiapa yang melihat suatu
kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka
dengan lisannya, jika tidak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah
selemah-lemahnya iman.” (HR. Al-Imam Muslim)[9]
Karena kesyirikan yang dilakukan oleh
orang-orang Syi’ah sehingga banyak orang terdahulu, termasuk ulama dari
empat mazhab, menganggap Syi’ah bukan termasuk kaum muslimin, apalagi
mau dianggap mazhab yang sah dalam Islam –seperti klaim saudara Idahram
(pada hal. 208)-.
Sebab syarat utama menjadi muslim adalah memurnikan penyembahan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai konsekuensi syahadat Laa Ilaaha Illallah.
Sedangkan orang-orang Syi’ah, disamping menyembah Allah Subhanahu wa
Ta’ala, mereka juga menyembah Al-Husain dan imam mereka, di samping
berhaji ke baitullah, mereka juga berhaji ke kuburan Al-Husain di
Karbala.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata,
وما أبالي صليت خلف الجهمي والرافضي٬ أم صليت خلف اليهود والنصارى لا يسلم عليهم٬ ولا يعادون٬ ولا يناكحون٬ ولا يشهدون٬ ولا تؤكل ذبائحهم
“Bagiku sama saja, sholat di belakang seorang Jahmi[10] dan Rafidhi[11] ataupun di belakang Yahudi dan Nasrani.[12]
Tidak boleh memberikan salam kepada mereka, tidak boleh dijenguk ketika
sakit, tidak boleh dinikahkan (dengan seorang muslim), tidak disaksikan
jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihan mereka.”[13]
Namun yang menjadi masalah adalah
pengkhiatan ilmiah yang dilakukan saudara Idahram terhadap kisah
peperangan pasukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan
orang-orang Syi’ah di Karbala. Idahram menceritakan peperangan Karbala
(pada hal. 70-77) tanpa sedikitpun menyebutkan sebab terjadinya
peperangan tersebut, sehingga terkesan pasukan beliau menyerang duluan
dan tanpa sebab, dan seperti biasa, saudara Idahram juga menyandarkan
fakta sejarahnya kepada sejarawan kafir (?) yang bernama Charles Allen
(pada hal. 71).
Padahal, penyerangan di Karbala hanyalah
serangan balasan setelah orang-orang Syi’ah Karbala melakukan
penyerangan terhadap para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah. Mari kita lihat rangkaian kejadian sebelum
penyerangan Karbala.
Saudara Idahram berkata,
“Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 1216
H/1809 M, putra tertua Abd Al-Aziz yang bernama Saud ibnu Saud menyerang
Karbala bersama 12.000 pasukannya.” (Sejarah Berdarah…, hal. 71)
Sangat disayangkan, saudara Idahram
menafikan rangkaian kejadian sebelumnya yang menjadi sebab penyerangan
tersebut. Apakah karena memang dia tidak tahu ataukah pura-pura tidak
tahu demi untuk menjatuhkan dakwah tauhid dan sunnah?! Yang pasti, para
ahli sejarah menceritakan rangkaian kejadian tersebut sebagai
berikut,[14]
Pada tahun 1213 H/1798 M, Gubernur
Baghdad, Sulaiman Basya dan wakilnya Ali Basya menyiapkan pasukan untuk
menyerang Ahsaa dan banyak pasukan ini berasal dari kabilah Al-Jaza’il.
Mereka adalah kaum Syi’ah Karbala, penyembah kuburan Al-Husain
radhiallahu ‘anhu. Pasukan ini dipimpin oleh Ali Basya. Mereka mengepung
benteng penduduk Ahsaa selama berhari-hari namun pada akhirnya gagal
tanpa meraih kemenangan sedikit pun. Mereka lalu memutuskan untuk pulang
ke Baghdad.
Ketika mereka dalam perjalanan pulang,
barulah pasukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dari
Dir’iyyah sampai ke Ahsaa yang dipimpin oleh Al-Imam Su’ud rahimahullah.
Beliau pun mengejar pasukan Ali Basya untuk membalas kezaliman mereka
terhadap penduduk Ahsaa. Beliau berhasil mengejar mereka hingga terjadi
pertempuran yang sengit antara dua pasukan, sampai pada akhirnya Ali
Basya memohon perdamaian dan diterima oleh Al-Imam Su’ud rahimahullah.
Pada tahun 1214 H/1799 M, kabilah
Al-Jaza’il, kaum Syi’ah Karbala mengkhianati perjanjian damai itu.
Mereka membunuh ratusan pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah di dekat kota Najaf. Maka Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad
rahimahumallah, pemimpin Saudi Arabia ketika itu, meminta
pertanggungjawaban Gubernur Baghdad atas pengkhianatan terhadap
perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah, namun diyah (denda pembunuhan) ini tidak diindahkan oleh Baghdad maupun Karbala, sampai hampir dua tahun lamanya.
Barulah pada tahun 1216 H/1801 M, pasukan
Saudi yang dipimping oleh Al-Imam Su’ud rahimahullah menyerang Karbala
sebagai hukuman dan pembalasan (qishas) terhadap pembunuhan
yang mereka lakukan, sekaligus menghancurkan dan meratakan kuburan
Al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang mereka jadikan berhala.
Inilah sesungguhnya hakikat peperangan Karbala.
2. Pertempuran di Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif dan sekitarnya)
Seperti biasa, rujukan saudara Idahram
dalam memaparkan “fakta-fakta” sejarahnya adalah buku Ahmad Zaini
Dahlan, seorang yang terkenal sangat memusuhi dakwah Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah dan tidak segan berdusta semi untuk
menghalangi tersebarnya dakwah beliau.
Dalam memaparkan kisah pertempuran di
Thaif (hal. 77-81) saudara Idahram dengan keji menuduh seorang ulama
yang mulia, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya
membunuh kaum muslimin tanpa terkecuali orang tua, wanita dan anak-anak
di pangkuan ibunya.
سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
“Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nur: 16)
Sayang sekali, baik Ahmad Zaini Dahlan
yang dijadikan rujukan maupun Idahram sendiri, tidak sedikit pun bisa
mendatangkan bukti atas tuduhan keji lagi dusta tersebut. Karena itu
Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Basyir As-Sahsawani rahimahullah berkata,
“JAWABAN TERHADAP TUDUHAN-TUDUHAN INI, SEMUANYA DUSTA YANG KEJI, MAKA JANGANLAH ENGKAU TERTIPU AKAN BANYAKNYA KEKEJIAN MEREKA.” [15]
Pembaca yang budiman, mari kita lihat
jalannya sejarah “penaklukan” Hijaz lebih utuh, bukan hanya sekedar
penggalan-penggalan cerita seperti yang dikutip saudara Idahram. Berikut
ini akan kami paparkan rangkaian kejadian yang sebenarnya:[16]
Pergesekan antara Dir’iyyah dan Makkah
terjadi karena adanya kepentingan penguasa Makkah yang terusik di Najd.
Sikap permusuhan penguasa Makkah ini berujung pada pelarangan naik haji
oleh Asy-Syarif Manshur bin Sa’id (penguasa Makkah) terhadap seluruh
pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Pengganti beliau, saudaranya Asy-Syarif
Mas’ud juga tidak mengubah kebijakan yang zalim ini. Akan tetapi pada
tahun 1183 H/1769 M, pasukan kecil Saudi di Najd berhasil menahan
orang-orang Hijaz yang ketika itu dipimpin oleh Asy-Syarif Manshur.
Ketika mereka dibawa ke Dir’iyyah, Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad
rahimahumallah memuliakan dan membebaskan mereka tanpa ada denda sedikit
pun, sehingga karena kebaikan ini para pengikut dakwah Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullah diberi izin untuk berhaji.
Bahkan pada tahun 1185 H/1771 M, penguasa
Makkah ketika itu, Asy-Syarif Ahmad bin Said meminta kepada penguasa
Dir’iyyah agar mengirim untuk mereka seorang ulama, sehingga dapat
menjelaskan kepada ulama Hijaz hakikat dakwah yang diserukan Dir’iyyah.
Dikirimlah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
Al-Hushain rahimahullah dengan membawa surat dari Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad rahimahumallah kepada
Syarif Makkah dan inilah usaha pertama untuk berdakwah kepada ulama,
penguasa dan penduduk Hijaz.
Namun sayang, hubungan yang baik antara
Dir’iyyah dan Hijaz tidak berlangsung lama. Hal itu karena As-Syarif
Ahmad dilengserkan dari kekuasannya oleh saudaranya sendiri, Asy-Syarif
Surur bin Musa’id, yang kemudian menggantikan posisinya. Pada zamannya,
Dir’iyyah harus kembali meminta izin untuk menunaikan ibadah haji,
walaupun pada akhirnya diizinkan, namun dengan syarat harus membayar
pajak.
Maka pada tahun 1197 H/1782 M, jama’ah
haji Dir’iyyah memasuki kota Makkah setelah pemimpin Dir’iyyah membayar
mahal kepada Asy-Syarif Surur. Lalu pada tahun 1202 H/1787 M,
Asy-Syarif Surur meninggal dan digantikan saudaranya Asy-Syarif Ghalib
bin Musa’id. Awalnya Asy-Syarif Ghalib kelihatan ingin memperbaiki
hubungan dengan Dir’iyyah, namun ia pada akhirnya tidak bisa menerima
prinsip-prinsip dakwah Dir’iyyah seperti dilakukan saudaranya terdahulu,
Asy-Syarif Ahmad, yang tidak pernah mempermasalahkan prinsip-prinsip
dakwah tersebut. Sampai akhirnya, Asy-Syarif Ghalib kembali melarang
jama’ah haji Dir’iyyah untuk memasuki kota Makkah.
Pada tahun 1205 H/1789 M, Asy-Syarif
Ghalib menyiapkan pasukan tempur berkekuatan 10.000 tentara untuk
memerangi Dir’iyyah yang dipimpin oleh saudaranya Asy-Syarif Abdul Aziz
bin Musa’id. Dalam perjalanan ke Dir’iyyah mereka sampai ke daerah
As-Sir, lalu mengepung benteng istana Bassam selama 4 bulan lamanya.
Setelah itu, pada bulan Ramadhan/Mei di
tahun yang sama, mereka mengepung daerah Asy-Syu’ara’ selama sebulan
lamanya, pengepungan ini pun dengan tambahan pasukan Hijaz yang dipimpin
langsung oleh Asy-Syarif Ghalib. Dua daerah yang diserang ini tetap
bertahan, sampai akhirnya pasukan Hijaz kembali ke Hijaz karena musim
haji semakin dekat, tanpa membawa kemenangan secara utuh.
Pada tahun 1210 H/1795 M, Asy-Syarif
Ghalib kembali menyiapkan pasukan besar yang dipimpin oleh Asy-Syarif
Fuhaid untuk menyerang Dir’iyyah. Maka terjadilah perang besar di
dataran tinggi Najd, ketika pasukan Hijaz menyerang kabilah Qahthan yang
tinggal di sana. Pertempuran pertama dimenangkan oleh pasukan Hijaz
dengan meninggalkan korban yang tidak sedikit pada kabilah Qahthan,
sehingga Asy-Syarif pun mengirim pasukan pada pertempuran kedua yang
dipimpin oleh Asy-Syarif Nashir bin Yahya.
Pada pertempuran kedua ini barulah
Dir’iyyah berhasil mengirim pasukan bantuan kepada kabilah Qahthan untuk
membela diri dari serangan pasukan Hijaz. Pada akhirnya pasukan Hijaz
mengalami kekalahan besar dalam pertempuran ini.
Sayang sekali, penguasa Hijaz belum puas
dengan kezalimannya. Pada bulan Syawwal tahun 1212 H/1798 M, dia
memanfaatkan kesibukkan Dir’iyyah di utara dengan mengirim pasukan besar
untuk menyerang kabilah-kabilah yang telah mengikuti dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di daerah Raniyyah, Baisyah dan
Turbah di kota Al-Khurmah. Mulanya pasukan Hijaz telah berhasil
mengalahkan kabilah-kabilah ini, namun setelah Dir’iyyah mengirimkan
pasukan bantuan, pasukan Asy-Syarif pun bisa dikalahkan, sehingga
kabilah-kabilah tersebut selamat dari permusnahan.
Setelah kekalahan ini, barulah Asy-Syarif
memohon perdamaian kepada Dir’iyyah dan diterima dengan baik oleh
penguasa Dir’iyyah. Di antara kesepakatannya, mengizinkan jamaah haji
Dir’iyyah untuk menunaikan haji selama enam tahun dan membagi kekuasaan
terhadap kabilah-kabilah. Pada tahun 1217 H/1802 M, terjadi perpecahan
internal Hijaz diakibatkan kezaliman Asy-Syarif, sehingga sebagian
kabilah yang ada di bawah kekuasaan Asy-Syarif memisahkan diri dan ingin
bergabung dengan Dir’iyyah. Termasuk salah seorang menteri Asy-Syarif
bernama Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi juga memisahkan diri dan
mendirikan pusat pemerintahannya di Al-Ubaylaa, yang terletak antara
Turbah dan Thaif. Inilah akar peperangan Thaif.
Ketika Utsman bin Abdur Rahman
Al-Mudhayafi memisahkan diri dari Asy-Syarif, bergabunglah
kabilah-kabilah lain yang juga tidak puas dengan kepemimpinan Asy-Syarif
Ghalib. Kabilah-kabilah tersebut berasal dari Thaif dan sekitarnya,
sehingga Asy-Syarif Ghalib pun menyerang Thaif, namun mereka berhasil
mempertahankan diri sehingga Asy-Syarif kembali ke Makkah. Melihat
keadaan ini, maka Dir’iyyah mengangkat Utsman bin Abdur Rahman
Al-Mudhayafi sebagai gubernur Thaif untuk mempertahankan Thaif.
Dari sinilah kemudian penguasa Dir’iyyah,
Al-Imam Su’ud rahimahullah baru benar-benar menyiapkan pembalasan untuk
Asy-Syarif Ghalib pada tahun 1217 H/1803 M. Mendengar rencana ini,
Asy-Syarif Ghalib memohon bantuan kepada Daulah Utsmaniyyah di Turki
namun tidak ada jawaban sedikitpun atas permohonannya.[17]
Bahkan Asy-Syarif memaksa jamaah haji
untuk membantu mereka berperang melawan Dir’iyyah. Sehingga Al-Imam
Su’ud rahimahullah menunggu sampai berakhir musim haji dan jamaah haji
kembali ke negeri mereka masing-masing.
Tentang permohonan Asy-Syarif kepada Daulah Utsmaniyyah yang tidak ditanggapi, diakui juga oleh Ahmad Zaini Dahlan. Dia berkata,
“Pemimpin kami Asy-Syarif Ghalib
mengirim kabar kepada daulah tertinggi (di Turki) tentang
Al-Wahhabiyyah, beliau juga mengirim As-Sayyid Muhsin bin Abdullah
Al-Hamud dan As-Sayyid Husain, mufti Malikiyyah, tetapi daulah
Utsmaniyyah tidak mempedulikan permohonan ini.”[18]
Ketika Asy-Syarif merasa tidak mungkin
bisa melawan Dir’iyyah, ia pun melarikan diri dari Makkah ke Jeddah.
Kekuasaan Makkah pun berpindah kepada saudaranya, Asy-Syarif Abdul Mu’in
Musa’id.
Pada akhirnya Asy-Syarif Abdul Mu’in
mengumumkan bahwa Makkah tunduk kepada Dir’iyyah dan menyatakan kesiapan
untuk menyerahkan Hijaz kepada Dir’iyyah dengan syarat beliau tetap
sebagai penguasa Makkah. Al-Imam Su’ud rahimahullah pun menerimanya pada
bulan Muharram tahun 1218 H/1803 M.
Beliau dan pasukannya lalu memasuki
Makkah tanpa peperangan, lalu dibacakan jaminan keamanan dari beliau
kepada penduduk Makkah. Berikut naskah surat jaminan keamanan tersebut.
“Dari Su’ud bin Abdul Aziz kepada seluruh
penduduk Makkah, ulama, pembesar dan para qadhi, salam sejahtera kepada
siapa saja yang mengikuti petunjuk. Kalian adalah tetangga dan penduduk
Al-Haram yang aman. Sesungguhnya kami hanyalah mengajak kalian kepada
agama Allah dan RasulNya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah
dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apa pun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah.
Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa
kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran: 64)
Maka kalian ada dalam perjanian Allah,
dan perjanjian Amirul Muslimin Su’ud bin Abdul Aziz dan pemimpin kalian,
Abdul Mu’in bin Musa’id, maka tetaplah mendengar dan taat kepadanya
selama ia taat kepada Allah. Wassalam.”[19]
Setelah itu Al-Imam Su’ud rahimahullah
memerintahkan penduduk Makkah untuk mempelajari dan mengamalkan dakwah
perbaikan yang beliau serukan, barulah beliau menghancurkan kubah-kubah
dan simbol-simbol kesyirikan yang dibangun di atas kuburan-kuburan. Lalu
beliau meninggalkan Makkah, kembali ke Dir’iyyah.
Masih pada tahun 1218 H/1803 M,
Asy-Syarif Ghalib kembali memasuki Makkah tanpa perlawanan, namun
setelah itu ia melanggar perjanjian damai yang telah disepakati
saudaranya Abdul Mu’in dengan menyerang Thaif yang dikuasai oleh Utsman
Al-Mudhayafi dan pengikutnya. Inilah akar peperangan Thaif kedua.
Ketika berita penyerangan ini sampai ke
Dir’iyyah, maka Al-Imam Su’ud bin Abdul Aziz rahimahullah menyiapkan
pasukan besar dan membangun benteng di lembah Fathimah sampai selesai
pada tahun 1220 H/1805 M. Dari sana beliau menyerang Jeddah yang menjadi
basis pasukan Asy-Syarif Ghalib, lalu mengepung Makkah, sampai akhirnya
Asy-Syarif Ghalib kembali memohon perdamaian dengan syarat dia tetap
sebagai gubernur Makkah. Permohonannya pun diterima sehingga akhirnya
daerah Hijaz (Thaif, Makkah, Madinah dan sekitarnya) berada di bawah
kepemimpinan Saudi.
3. Penaklukan Kota Uyainah
Kedustaan yang sangat keji tanpa sedikit
pun disertai dengan bukti-bukti ilmiah kembali dihembuskan oleh saudara
Idahram. Dia menuduh, pada tahun 1163 H Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah memerintahkan untuk menghancurkan kota Uyainah dan
melarang pembangunannya kembali selama 200 tahun karena Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan mengirimkan jutaan belalang untuk meluluhlantakkan kota
tersebut (pada hal. 88-89). Lalu pada catatan kaki nomor 28, Idahram
mengklaim, sumber berita ini dari kitab Unwan Al-Majd jilid 1 h. 23.
Tampak di sini, saudara Idahram berusaha
mengelabui kaum muslimin dengan memanfaatkan keawaman dan ketidakmampuan
mereka untuk menelusuri sumber sejarah yang diklaim oleh Idahram. Tidak
ada sedikit pun kisah tersebut pada halaman yang disebutkan.
Entah dari mana dia mendapatkan berita bohong ini?
Lalu kami mencoba mencarinya pada kisah-kisah kejadian tahun 1163 H
sebagaimana yang diinfokan oleh saudara Idahram, bahwa kisah itu terjadi
pada tahun tersebut (pada hal. 87), juga tidak ada satu pun fakta
sejarah sebagaimana tuduhan Idahram.
Silakan pembaca yang budiman melihat langsung ke kitab Unwan Al-Majd,
cetakan ke-4 tahun 1982, seperti cetakan yang dijadikan rujukan oleh
Idahram, yang dicetak oleh percetakan Darat Al-Malik Abdul Aziz Riyadh.
Silakan lihat pada jilid 1 hal. 23 seperti klaim saudara Idahram. Lihat
juga kisah yang terjadi pada tahun 1163 pada jilid 1 hal. 60-62, pembaca
tidak akan mendapati kisah yang diceritakan oleh Idahram tersebut.
وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam peyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nuur: 11)[20]
4. Lagi, Tuduhan Dusta Idahram terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah Atas Pembunuhan Utsman bin Mu’ammar
Saudara Idahram kembali melemparkan
tuduhan dusta terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah,
bahwa beliau telah membunuh pemimpin Uyainah yang bernama Utsman bin
Mu’ammar (pada hal. 89-90).
Pada catatan kaki nomor 29, saudara Idahram kembali mengklaim bahwa sumber sejarah tersebut dari sebuah kitab yang berjudul Tarikh Najd,
hal. 97, karya Ibnu Ghannam rahimahullah. Entah cetakan mana dan tahun
berapa yang dimiliki oleh Idahram, sebab setelah kami melihat langsung
pada sumber yang disebutkan Idahram, yaitu kitab Tarikh Najd, hal. 97, cetakan Darus Syuruq tahun 1994 M, sama sekali tidak terdapat kisah tersebut.
Lalu kami mencoba mencari pada halaman
lain tentang kisah pembunuhan Utsman bin Mu’ammar dan kami dapati,
tidaklah seperti tuduhan Idahram. Bahkan yang sebenarnya, Utsman bin
Mu’ammar telah bergabung bersama pasukan Dir’iyyah dalam peperangan
melawan Dahham bin Dawwas, penguasa Riyadh[21] yang berkhianat pada
tahun 1159 H-1160 H, di mana Dahham bin Dawwas dan pasukannya dari
Riyadh membunuh penduduk Manfuhah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Pasukan Dir’iyyah dengan dibantu Utsman
bin Mu’ammar pun mengadakan perlawanan kepada Dahham bin Dawwas,
sehingga pecah pertempuran antara Dir’iyyah dan Riyadh dengan kekalahan
pada pihak Riyadh, namun Dahham berhasil meloloskan diri.[22]
Setelah pertempuran ini, Utsman bin
Mu’ammar melakukan pengkhianatan dengan melakukan persekongkolan bersama
penguasa Tsarmada, Ibrahim bin Sulaiman dan penguasa Riyadh yang lari,
Dahham bin Dawwas. Mereka berencana jahat terhadap Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah dengan mengatur strategi bagi Dahham agar
berpura-pura sudah mengikuti dakwah tauhid yang diserukan Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan datang ke Uyainah bersama
Ibrahim bin Sulaiman. Maka, Utsman bin Mu’ammar pun mengundang Syaikh
untuk datang ke Uyainah.
Namun Syaikh dapat merasakan aroma
pengkhianatan Utsman bin Mu’ammar, hingga beliau tidak mau memenuhi
undangan Utsman. Namun Utsman kembali berjanji setia kepada Dir’iyyah,
sehingga pengkhianatannya dimaafkan. Justru ketika itu, penduduk Uyainah
sendiri yang marah atas pengkhianatan pemimpin mereka.[23]
Sayangnya, pada tahun 1163 H, Utsman bin
Mu’ammar kembali berkhianat. Hal ini dilaporkan kepada Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullah oleh penduduk Uyainah sendiri. Mereka
datang kepada Syaikh mengeluhkan kekhawatiran mereka atas kelicikan
Utsman bin Mu’ammar.
Maka Syaikh pun mengambil janji dari
mereka untuk memerangi siapa saja yang memusuhi dakwah kepada tauhid,
walaupun pemimpin mereka sendiri. Ibnu Mu’ammar pun ketakutan, hingga ia
meminta pertolongan Ibrahim bin Sulaiman, pemimpin Tsarmada untuk
memerangi rakyatnya sendiri.
Mengetahui hal tersebut, dua orang
penduduk Uyainah yang bernama Hamd bin Rasyid dan Ibrahim bin Zaid pun
membunuh Ibnu Mu’ammar ketika selesai sholat jum’at pada bulan Rajab
tahun 1163 H. Ketika itu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
masih berada di Dir’iyyah. Bagaimana bisa dituduh membunuh Ibnu Mu’ammar!?
Dalam kisah ini pun tidak ada tuduhan
bahwa Ibnu Mu’ammar dibunuh karena dia telah musyrik dan kafir seperti
tuduhan Idahram,[24] tapi karena pengkhianatannya kepada penduduk
Uyainah, sehingga yang membunuhnya adalah penduduknya sendiri. Silakan
lihat kisah yang sebenarnya pada kitab Tarikh Najd, hal. 103.
Footnote:
[1] Shahih Muslim, 1/6
[2] HR. Al-Imam Muslim no. 7 dari Hafsh bin ‘Ashim radhiallahu ‘anhu
[3] Majmu’ Muallafah Asy-Syaikh, 5/60, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 220.
[4] Majmu’ Muallafah Asy-Syaikh, 3/11, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 221.
[5] Shiyanatul Insan, hal. 485, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 226.
[6] Muhammad bin Abdul Wahhab Muslihun Mazlumun wa Muftara ‘Alaihi, hal. 204.
[7] Shiyanatul Insan, hal. 486, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 226.
[8] Ayat yang mulia ini semoga menjadi peringatan kepada penulis, penerbit, penjual dan penganjur buku Sejarah Berdarah yang penuh dengan kedustaan, hadaahumullah.
[9] HR. Al-Imam Muslim no. 186 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu.
[10] Jahmi adalah orang Jahmiyyah, kelompok sesat yang berpendapat Al-Qur’an adalah makhluk dan masih banyak kesesatan lain.
[11] Rafidhi adalah Syi’ah Rafidhah, dari kata rafdh
yang artinya menolak, dinamakan demikian karena mereka menolak
kekhilafahan Abu Bakar dan Umar, dalam hal ini mereka menyelisihi Ali
bin Abi Thalib sendiri dan seluruh sahabat yang sepakat atas
kekhilafahan Syaikhain radhiallahu ‘anhuma.
[12] Artinya Al-Imam Bukhari rahimahullah
menganggap Jahmiyah dan Rafidhah sama dengan Yahudi dan Nasrani, tidak
boleh sholat di belakangnya.
[13] Al-Asma’ was Shifaat, Abu Bakar Ahmad bin Husain Al-Baihaqi, 1/616, no. 561.
[14] Fakta-fakta sejarah ini diungkap
oleh gabungan peneliti sejarah yang menulis sebuah ensiklopedi sejarah
Jazirah Arab dan sedunia (khususnya sejarah Arab Saudi) yang berjudul, ‘Mausu’ah Muqotil Min Ash-Shohro’.
Para peneliti yang terlibat dalam penyusunan ensiklopedi sejarah ini
adalah Prof. Dr. Ibrahim Al-Qurasyi Utsman, Prof. Dr. Ahmad Abdul Baqi
Al-‘Ayyath, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Dr. Ibrahim Hamd Al-Qa’id, Dr.
Ibrahim Shalih Ad-Dausari, dan lain-lain. Ensiklopedi ini murni membahas
sejarah tanpa memberikan penilaian, baik pujian dan celaan terhadap
para pelaku sejarah tersebut. Untuk membaca ensiklopedi ini, bisa
melalui website resminya http://www.moqatel.com
[15] Shiyanatul Insan, hal. 498.
[16] Kami ringkas dari website resmi Ensiklopedi Sejarah Muqotil Min Ash-Shohro, karya ilmiah kumpulan peneliti sejarah.
[17] Hal ini menimbulkan tanda
tanya besar, apakah Hijaz masih berada di bawah penguasaan Daulah
Utsmaniyyah atau berdiri sendiri dengan Asy-Syarif sebagai pemimpinnya?
Ataukah memang Daulah Utsmaniyyah di masa itu sudah begitu lemah hingga
penguasaannya terhadap Hijaz hanya tinggal nama? Yang pasti,
penguasaan Saudi atas Hijaz akibat ulah penguasa Hijaz sendiri yang
menyerang Dir’iyyah. Itu pun dia lakukan beberapa kali baru kemudian
Dir’iyyah melakukan pembalasan setelah para Syarif tidak menaati
perjanjian damai. Terlebih di masa Syarif, Hijaz penuh dengan kesyirikan
dan penyembahan terhadap kuburan, maka sungguh tidak pantas dua kota suci umat Islam dibiarkan begitu saja tanpa dibersihkan dari kesyirikan dan bid’ah. Dan yang patut dicatat, pengusaan Saudi atas Hijaz bukanlah memberontak dan memisahkan diri dari Daulah Utsmaniyyah, sehingga tidak
terdapat satu pun data ilmiah berupa pernyataan resmi memisahkan diri
dari Daulah Utsmaniyyah yang dikeluarkan oleh pemerintah Saudi.
[18] Khulasatul Kalam fi Umara Al-Bait Al-Haram, Ahmad Zaini Dahlan, hal. 266, sebagaimana dalam Ensiklopedi Sejarah Muqotil Min Ash-Shohro, dalam website resminya.
[19] Jaminan keamanan kepada penduduk
Makkah, pemerintah dan ulamanya ini sekaligus bantahan terhadap tuduhan
dusta saudara Idahram atas pembunuhan ulama di Makkah yang tidak sepaham
(pada hal. 96). Kejadian ini juga sebagai bantahan terhadap tuduhan
membunuh ulama yang tidak sepaham –yang tidak terbukti- di negeri-negeri
lainnya, karena kenyataannya ketika menguasai Makkah, penguasa Saudi
memberikan jaminan keamanan kepada ulama. Bagaimana bisa dituduh membunuh ulama?!
[20] Kembali kami ingatkan, ayat yang mulia ini semoga menjadi peringatan kepada penulis, penerbit, penjual dan penganjur buku Sejarah Berdarah yang penuh dengan kedustaan ini, hadaahumullah.
[21] Kisah ini sekaligus bantahan saudara
Idahram atas tuduhannya dalam penyerangan kota Riyadh (pada hal.
93-94), hakikat penyerangan tersebut hanyalah pembalasan terhadap
pengkhianatan penduduk Riyadh yang dipimpin oleh Dahham bi Dawwas dalam
menyerang dan membunuh penduduk Manfuhah.
[22] Lihat Tarikh Najd, hal. 96-98.
[23] Ibid, hal. 100
[24] Saudara Idahram mengklaim info ini dia dapatkan dari kitab Tarikh Najd
hal. 97, setelah kami melihat langsung pada sumber yang dimaksud kisah
tersebut tidak ada. Memang ada kisah tersebut pada hal. 103, namun tanpa
ada tuduhan musyrik dan kafir kepada Ibnu Mu’ammar.
Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah dalam buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan” penerbit TooBagus cet. kedua. Bantahan terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syaikh Idahram hadahullah.
http://rizkytulus.wordpress.com/96696+
Tidak ada komentar:
Posting Komentar