Rabu, 15 Agustus 2012

Meluruskan Kedustaan Sejarah Versi ‘Syaikh’ Idahram (bagian 1)

tarikh-najd

tarikh-najd
Mengawali kedustaan-kedustaannya, saudara Idahram kembali mendasarkan “fakta-fakta” (pada hal.  65) kepada sejarawan kafir (?) yang bernama, Vladimir Borisovich Lotsky. Maka kami ingatkan kembali, bahwa menempuh segala cara seperti ini bukanlah cara yang dibenarkan dalam Islam. Ajaran Islam menuntun kita untuk berhati-hati dalam menerima berita, tidak begitu saja mempercayai dan menyebarkan setiap berita yang kita dengar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Al-Imam Muslim rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas dalam muqaddimah Shahihnya,
“Kabar yang berasal dari orang fasik itu jatuh, tidak boleh diterima. Dan persaksian seorang yang tidak adil (yaitu tidak beriman dan bertakwa) tertolak.” [1]
Bahkan lebih parah lagi, yang menunjukkan buku Sejarah Berdarah ini sangat tidak ilmiah, adalah penukilan ucapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bukan dari kitab-kitab beliau secara langsung, tapi dari orang yang sangat terkenal memusuhi beliau dan tidak segan berdusta demi untuk menjatuhkan beliau, yaitu Ahmad Zaini Dahlan. Perhatikan ucapan Ahmad Zaini Dahlan yang dia sandarkan –secara dusta tanpa menyertakan bukti ilmiah sedikitpun- kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah seperti yang dikutip oleh saudara Idahram,
“Siapa saja yang masuk ke dalam dakwah kami, maka dia memiliki hak dan kewajiban sama dengan kami, dan siapa saja yang tidak masuk (ke dalam dakwah kami) bersama kami, maka dia kafir, halal nyawa dan hartanya.” (Sejarah Berdarah…, hal. 68)

سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

“Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nur: 16)
Wahai saudara Idahram, apakah memang berdusta ringan di sisimu, sehingga dengan mudahnya engkau terima dan engkau sebarkan setiap kabar yang sampai kepadamu tanpa melakukan klarifikasi?
Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كَفَا بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seorang dianggap pendusta, jika dia menceritakan setiap yang dia dengarkan.” (HR. Al-Imam Muslim)[2]
Pembaca yang budiman, benarkah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum muslimin yang tidak mengikuti dakwah beliau?
Tuduhan ini sebenarnya bukan hal baru, di masa beliau hidup, para tokoh kesyirikan atau bid’ah yang terusik dengan dakwah tauhid dan sunnah yang beliau serukan berusaha terus mempertahankan kesyirikan dan bid’ah mereka di tengah-tengah masyarakat, tanpa peduli walaupun harus berdusta atas nama beliau agar masyarakat tidak mengikuti seruan beliau. Maka beliau pun tidak tinggal diam, beliau membantah tuduhan dusta tersebut.
Beliau berkata,
“Orang yang mengatakan bahwa Ibnu Abdil Wahhab berkata, ‘SIAPA YANG TIDAK MASUK DALAM KETAATAN (DAKWAH)KU MAKA DIA KAFIR’,
maka kami katakan, subhanahallah ini adalah kedustaan yang besar, bahkan kami bersaksi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati kami, bahwa siapa saja yang mentauhidkan Allah dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, maka dia adalah seorang muslim, kapan dan di mana pun dia berada.
KAMI HANYALAH MENGKAFIRKAN ORANG YANG MENYEKUTUKAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA DALAM ILAHIYYAH SETELAH JELAS BAGINYA HUJJAH ATAS BATILNYA KESYIRIKAN.”[3]
Beliau juga berkata,
“Adapun kedustaan dan fitnah, adalah seperti ucapan mereka bahwa kami mengkafirkan semuanya, kami mewajibkan hijrah kepada kami bagi orang yang mampu menampakkan agama di daerahnya, kami mengkafirkan siapa yang tidak mengkafirkan dan tidak ikut berperang dan masih banyak lagi kedustaan mereka,
KAMI TEGASKAN INI SEMUA ADALAH DUSTA DAN FITNAH, YANG MEREKA INGINKAN HANYALAH MENGHALANGI MANUSIA DARI DAKWAH KEPADA AGAMA ALLAH DAN RASULNYA YANG KAMI SERUKAN.”[4]
Buku Ahmad Zaini Dahlan yang dijadikan referensi oleh saudara Idahram, sebenarnya dari awal sampai akhir telah dibantah oleh ulama besar ahli hadits asal India, Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawani rahimahullah dalam sebuah kitab yang beliau beri judul, “Shiyanatul Insan ‘an Waswasati Syaikh Dahlan”, yang artinya, “Penjagaan Terhadap Manusia dari Bisikan-bisikan Ahmad Zaini Dahlan” yang diberikan kata pengantar oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah wa ghafara lahu dari Mesir, pada salah satu cetakannya. Kesimpulan dari bantahan beliau kepada Dahlan,
“BAHWA SEMUA TUDUHAN DAHLAN HANYALAH KEDUSTAAN TANPA DIRAGUKAN LAGI, HAL INI DAPAT DIKETAHUI BAGI MEREKA YANG MEMILIKI SECUIL IMAN, ILMU DAN AKAL.”[5]
Karena terlalu banyak dusta Ahmad Zaini Dahlan, sampai-sampai Syaikh Mas’ud An-Nadwi rahimahullah (juga ulama India, bukan ulama Saudi) berkata, “Adapun Ahmad Zaini Dahlan (1204 H/1886 M), maka seakan-akan dia mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memusuhi jamaah ini, dan sungguh dia telah melemparkan tuduhan-tuduhan ini berulang kali.”[6]
Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawi rahimahullah memaparkan hasil pertemuan langsung dan penelitian beliau terhadap kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan murid-muridnya. Beliau berkata,
“Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikut-pengikutnya tidak pernah sekalipun mengkafirkan seorang muslim. Mereka juga tidak pernah berkeyakinan bahwa kaum muslimin hanya mereka saja sedangkan yang berbeda dengan mereka semuanya musyrik.
Mereka juga tidak pernah menhalalkan pembunuhan terhadap Ahlus Sunnah dan menawan wanita-wanita mereka. Sungguh aku telah berjumpa dengan lebih dari satu ulama pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, aku juga telah banyak menelaah buku-buku mereka, aku tidak menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan ini lebih pada sumbernya maupun pengaruhnya. Ini semua hanyalah fitnah dan dusta.”[7]

وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar.” (QS.  An-Nur: 11)[8]
Untuk lebih jelasnya, bagaimana kedustaan dan pemutarbalikan fakta sejarah yang dilakukan saudara Idahram demi untuk mencitrakan keburukan terhadap dakwah tauhid dan sunnah yang diserukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, maka Insya Allah Ta’ala akan kami paparkan bukti-bukti ilmiah secara lebih terperinci dalam pembahasan berikut:
1. Penyerangan Terhadap Karbala
Karbala adalah salah satu kota yang dihuni oleh orang-orang Syi’ah. Mereka mengklaim di sana terdapat kuburan Al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Bukan hanya itu, mereka anggap Karbala adalah kota suci mereka, selain Makkah dan Madinah. Kuburan Al-Husain radhiallahu ‘anhu pun mereka sembah, mereka memohon kepadanya dan berhaji ke kuburannya. Bahkan mereka meyakini, shalat tidak sah selain di atas tanah Karbala.
Inilah fakta kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan kaum Syi’ah, namun dalam bukunya tersebut, penyimpangan ini didiamkan saja oleh saudara Idahram. Padahal wajib bagi kaum muslimin untuk mengubah kemunkaran dengan kekuatan jika mampu. Jika tidak, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga dengan lisan, maka minimalnya benci dengan hati. Bukan malah mendiamkan dan menyetujui kesyirikan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَان

“Barangsiapa yang melihat suatu kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Al-Imam Muslim)[9]
Karena kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah sehingga banyak orang terdahulu, termasuk ulama dari empat mazhab, menganggap Syi’ah bukan termasuk kaum muslimin, apalagi mau dianggap mazhab yang sah dalam Islam –seperti klaim saudara Idahram (pada hal. 208)-.
Sebab syarat utama menjadi muslim adalah memurnikan penyembahan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai konsekuensi syahadat Laa Ilaaha Illallah. Sedangkan orang-orang Syi’ah, disamping menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga menyembah Al-Husain dan imam mereka, di samping berhaji ke baitullah, mereka juga berhaji ke kuburan Al-Husain di Karbala.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata,

وما أبالي صليت خلف الجهمي والرافضي٬ أم صليت خلف اليهود والنصارى لا يسلم عليهم٬ ولا يعادون٬ ولا يناكحون٬ ولا يشهدون٬ ولا تؤكل ذبائحهم

“Bagiku sama saja, sholat di belakang seorang Jahmi[10] dan Rafidhi[11] ataupun di belakang Yahudi dan Nasrani.[12] Tidak boleh memberikan salam kepada mereka, tidak boleh dijenguk ketika sakit, tidak boleh dinikahkan (dengan seorang muslim), tidak disaksikan jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihan mereka.”[13]
Namun yang menjadi masalah adalah pengkhiatan ilmiah yang dilakukan saudara Idahram terhadap kisah peperangan pasukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan orang-orang Syi’ah di Karbala. Idahram menceritakan peperangan Karbala (pada hal. 70-77) tanpa sedikitpun menyebutkan sebab terjadinya peperangan tersebut, sehingga terkesan pasukan beliau menyerang duluan dan tanpa sebab, dan seperti biasa, saudara Idahram juga menyandarkan fakta sejarahnya kepada sejarawan kafir (?) yang bernama Charles Allen (pada hal. 71).
Padahal, penyerangan di Karbala hanyalah serangan balasan setelah orang-orang Syi’ah Karbala melakukan penyerangan terhadap para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Mari kita lihat rangkaian kejadian sebelum penyerangan Karbala.
Saudara Idahram berkata,
“Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 1216 H/1809 M, putra tertua Abd Al-Aziz yang bernama Saud ibnu Saud menyerang Karbala bersama 12.000 pasukannya.” (Sejarah Berdarah…, hal. 71)
Sangat disayangkan, saudara Idahram menafikan rangkaian kejadian sebelumnya yang menjadi sebab penyerangan tersebut. Apakah karena memang dia tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu demi untuk menjatuhkan dakwah tauhid dan sunnah?! Yang pasti, para ahli sejarah menceritakan rangkaian kejadian tersebut sebagai berikut,[14]
Pada tahun 1213 H/1798 M, Gubernur Baghdad, Sulaiman Basya dan wakilnya Ali Basya menyiapkan pasukan untuk menyerang Ahsaa dan banyak pasukan ini berasal dari kabilah Al-Jaza’il. Mereka adalah kaum Syi’ah Karbala, penyembah kuburan Al-Husain radhiallahu ‘anhu. Pasukan ini dipimpin oleh Ali Basya. Mereka mengepung benteng penduduk Ahsaa selama berhari-hari namun pada akhirnya gagal tanpa meraih kemenangan sedikit pun. Mereka lalu memutuskan untuk pulang ke Baghdad.
Ketika mereka dalam perjalanan pulang, barulah pasukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dari Dir’iyyah sampai ke Ahsaa yang dipimpin oleh Al-Imam Su’ud rahimahullah. Beliau pun mengejar pasukan Ali Basya untuk membalas kezaliman mereka terhadap penduduk Ahsaa. Beliau berhasil mengejar mereka hingga terjadi pertempuran yang sengit antara dua pasukan, sampai pada akhirnya Ali Basya memohon perdamaian dan diterima oleh Al-Imam Su’ud rahimahullah.
Pada tahun 1214 H/1799 M, kabilah Al-Jaza’il, kaum Syi’ah Karbala mengkhianati perjanjian damai itu. Mereka membunuh ratusan pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dekat kota Najaf. Maka Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad rahimahumallah, pemimpin Saudi Arabia ketika itu, meminta pertanggungjawaban Gubernur Baghdad atas pengkhianatan terhadap perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah, namun diyah (denda pembunuhan) ini tidak diindahkan oleh Baghdad maupun Karbala, sampai hampir dua tahun lamanya.
Barulah pada tahun 1216 H/1801 M, pasukan Saudi yang dipimping oleh Al-Imam Su’ud rahimahullah menyerang Karbala sebagai hukuman dan pembalasan (qishas) terhadap pembunuhan yang mereka lakukan, sekaligus menghancurkan dan meratakan kuburan Al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang mereka jadikan berhala. Inilah sesungguhnya hakikat peperangan Karbala.
2. Pertempuran di Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif dan sekitarnya)
Seperti biasa, rujukan saudara Idahram dalam memaparkan “fakta-fakta” sejarahnya adalah buku Ahmad Zaini Dahlan, seorang yang terkenal sangat memusuhi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan tidak segan berdusta semi untuk menghalangi tersebarnya dakwah beliau.
Dalam memaparkan kisah pertempuran di Thaif (hal. 77-81) saudara Idahram dengan keji menuduh seorang ulama yang mulia, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya membunuh kaum muslimin tanpa terkecuali orang tua, wanita dan anak-anak di pangkuan ibunya.

سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

“Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nur: 16)
Sayang sekali, baik Ahmad Zaini Dahlan yang dijadikan rujukan maupun Idahram sendiri, tidak sedikit pun bisa mendatangkan bukti atas tuduhan keji lagi dusta tersebut. Karena itu Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Basyir As-Sahsawani rahimahullah berkata,
“JAWABAN TERHADAP TUDUHAN-TUDUHAN INI, SEMUANYA DUSTA YANG KEJI, MAKA JANGANLAH ENGKAU TERTIPU AKAN BANYAKNYA KEKEJIAN MEREKA.” [15]
Pembaca yang budiman, mari kita lihat jalannya sejarah “penaklukan” Hijaz lebih utuh, bukan hanya sekedar penggalan-penggalan cerita seperti yang dikutip saudara Idahram. Berikut ini akan kami paparkan rangkaian kejadian yang sebenarnya:[16]
Pergesekan antara Dir’iyyah dan Makkah terjadi karena adanya kepentingan penguasa Makkah yang terusik di Najd. Sikap permusuhan penguasa Makkah ini berujung pada pelarangan naik haji oleh Asy-Syarif Manshur bin Sa’id (penguasa Makkah) terhadap seluruh pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Pengganti beliau, saudaranya Asy-Syarif Mas’ud juga tidak mengubah kebijakan yang zalim ini. Akan tetapi pada tahun 1183 H/1769 M, pasukan kecil Saudi di Najd berhasil menahan orang-orang Hijaz yang ketika itu dipimpin oleh Asy-Syarif Manshur. Ketika mereka dibawa ke Dir’iyyah, Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad rahimahumallah memuliakan dan membebaskan mereka tanpa ada denda sedikit pun, sehingga karena kebaikan ini para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah diberi izin untuk berhaji.
Bahkan pada tahun 1185 H/1771 M, penguasa Makkah ketika itu, Asy-Syarif Ahmad bin Said meminta kepada penguasa Dir’iyyah agar mengirim untuk mereka seorang ulama, sehingga dapat menjelaskan kepada ulama Hijaz hakikat dakwah yang diserukan Dir’iyyah.
Dikirimlah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Al-Hushain rahimahullah dengan membawa surat dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad rahimahumallah kepada Syarif Makkah dan inilah usaha pertama untuk berdakwah kepada ulama, penguasa dan penduduk Hijaz.
Namun sayang, hubungan yang baik antara Dir’iyyah dan Hijaz tidak berlangsung lama. Hal itu karena As-Syarif Ahmad dilengserkan dari kekuasannya oleh saudaranya sendiri, Asy-Syarif Surur bin Musa’id, yang kemudian menggantikan posisinya. Pada zamannya, Dir’iyyah harus kembali meminta izin untuk menunaikan ibadah haji, walaupun pada akhirnya diizinkan, namun dengan syarat harus membayar pajak.
Maka pada tahun 1197 H/1782 M, jama’ah haji Dir’iyyah memasuki kota Makkah setelah pemimpin Dir’iyyah membayar mahal kepada Asy-Syarif  Surur. Lalu pada tahun 1202 H/1787 M,  Asy-Syarif Surur meninggal dan digantikan saudaranya Asy-Syarif Ghalib bin Musa’id. Awalnya Asy-Syarif Ghalib kelihatan ingin memperbaiki hubungan dengan Dir’iyyah, namun ia pada akhirnya tidak bisa menerima prinsip-prinsip dakwah Dir’iyyah seperti dilakukan saudaranya terdahulu, Asy-Syarif Ahmad, yang tidak pernah mempermasalahkan prinsip-prinsip dakwah tersebut. Sampai akhirnya, Asy-Syarif Ghalib kembali melarang jama’ah haji Dir’iyyah untuk memasuki kota Makkah.
Pada tahun 1205 H/1789 M, Asy-Syarif Ghalib menyiapkan pasukan tempur berkekuatan 10.000 tentara untuk memerangi Dir’iyyah yang dipimpin oleh saudaranya Asy-Syarif Abdul Aziz bin Musa’id. Dalam perjalanan ke Dir’iyyah mereka sampai ke daerah As-Sir, lalu mengepung benteng istana Bassam selama 4 bulan lamanya.
Setelah itu, pada bulan Ramadhan/Mei di tahun yang sama, mereka mengepung daerah Asy-Syu’ara’ selama sebulan lamanya, pengepungan ini pun dengan tambahan pasukan Hijaz yang dipimpin langsung oleh Asy-Syarif Ghalib. Dua daerah yang diserang ini tetap bertahan, sampai akhirnya pasukan Hijaz kembali ke Hijaz karena musim haji semakin dekat, tanpa membawa kemenangan secara utuh.
Pada tahun 1210 H/1795 M, Asy-Syarif Ghalib kembali menyiapkan pasukan besar yang dipimpin oleh Asy-Syarif Fuhaid untuk menyerang Dir’iyyah. Maka terjadilah perang besar di dataran tinggi Najd, ketika pasukan Hijaz menyerang kabilah Qahthan yang tinggal di sana. Pertempuran pertama dimenangkan oleh pasukan Hijaz dengan meninggalkan korban yang tidak sedikit pada kabilah Qahthan, sehingga Asy-Syarif pun mengirim pasukan pada pertempuran kedua yang dipimpin oleh Asy-Syarif Nashir bin Yahya.
Pada pertempuran kedua ini barulah Dir’iyyah berhasil mengirim pasukan bantuan kepada kabilah Qahthan untuk membela diri dari serangan pasukan Hijaz. Pada akhirnya pasukan Hijaz mengalami kekalahan besar dalam pertempuran ini.
Sayang sekali, penguasa Hijaz belum puas dengan kezalimannya. Pada bulan Syawwal tahun 1212 H/1798 M, dia memanfaatkan kesibukkan Dir’iyyah di utara dengan mengirim pasukan besar untuk menyerang kabilah-kabilah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di daerah Raniyyah, Baisyah dan Turbah di kota Al-Khurmah. Mulanya pasukan Hijaz telah berhasil mengalahkan kabilah-kabilah ini, namun setelah Dir’iyyah mengirimkan pasukan bantuan, pasukan Asy-Syarif pun bisa dikalahkan, sehingga kabilah-kabilah tersebut selamat dari permusnahan.
Setelah kekalahan ini, barulah Asy-Syarif memohon perdamaian kepada Dir’iyyah dan diterima dengan baik oleh penguasa Dir’iyyah. Di antara kesepakatannya, mengizinkan jamaah haji Dir’iyyah untuk menunaikan haji selama enam tahun dan membagi kekuasaan terhadap kabilah-kabilah. Pada tahun 1217 H/1802 M, terjadi perpecahan internal Hijaz diakibatkan kezaliman Asy-Syarif, sehingga sebagian kabilah yang ada di bawah kekuasaan Asy-Syarif memisahkan diri dan ingin bergabung dengan Dir’iyyah. Termasuk salah seorang menteri Asy-Syarif bernama Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi juga memisahkan diri dan mendirikan pusat pemerintahannya di Al-Ubaylaa, yang terletak antara Turbah dan Thaif. Inilah akar peperangan Thaif.
Ketika Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi memisahkan diri dari Asy-Syarif, bergabunglah kabilah-kabilah lain yang juga tidak puas dengan kepemimpinan Asy-Syarif Ghalib. Kabilah-kabilah tersebut berasal dari Thaif dan sekitarnya, sehingga Asy-Syarif Ghalib pun menyerang Thaif, namun mereka berhasil mempertahankan diri sehingga Asy-Syarif kembali ke Makkah. Melihat keadaan ini, maka Dir’iyyah mengangkat Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi sebagai gubernur Thaif untuk mempertahankan Thaif.
Dari sinilah kemudian penguasa Dir’iyyah, Al-Imam Su’ud rahimahullah baru benar-benar menyiapkan pembalasan untuk Asy-Syarif Ghalib pada tahun 1217 H/1803 M. Mendengar rencana ini, Asy-Syarif Ghalib memohon bantuan kepada Daulah Utsmaniyyah di Turki namun tidak ada jawaban sedikitpun atas permohonannya.[17]
Bahkan Asy-Syarif memaksa jamaah haji untuk membantu mereka berperang melawan Dir’iyyah. Sehingga Al-Imam Su’ud rahimahullah menunggu sampai berakhir musim haji dan jamaah haji kembali ke negeri mereka masing-masing.
Tentang permohonan Asy-Syarif kepada Daulah Utsmaniyyah yang tidak ditanggapi, diakui juga oleh Ahmad Zaini Dahlan. Dia berkata,
“Pemimpin kami Asy-Syarif Ghalib mengirim kabar kepada daulah tertinggi (di Turki) tentang Al-Wahhabiyyah, beliau juga mengirim As-Sayyid Muhsin bin Abdullah Al-Hamud dan As-Sayyid Husain, mufti Malikiyyah, tetapi daulah Utsmaniyyah tidak mempedulikan permohonan ini.”[18]
Ketika Asy-Syarif merasa tidak mungkin bisa melawan Dir’iyyah, ia pun melarikan diri dari Makkah ke Jeddah. Kekuasaan Makkah pun berpindah kepada saudaranya, Asy-Syarif Abdul Mu’in Musa’id.
Pada akhirnya Asy-Syarif Abdul Mu’in mengumumkan bahwa Makkah tunduk kepada Dir’iyyah dan menyatakan kesiapan untuk menyerahkan Hijaz kepada Dir’iyyah dengan syarat beliau tetap sebagai penguasa Makkah. Al-Imam Su’ud rahimahullah pun menerimanya pada bulan Muharram tahun 1218 H/1803 M.
Beliau dan pasukannya lalu memasuki Makkah tanpa peperangan, lalu dibacakan jaminan keamanan dari beliau kepada penduduk Makkah. Berikut naskah surat jaminan keamanan tersebut.
“Dari Su’ud bin Abdul Aziz kepada seluruh penduduk Makkah, ulama, pembesar dan para qadhi, salam sejahtera kepada siapa saja yang mengikuti petunjuk. Kalian adalah tetangga dan penduduk Al-Haram yang aman. Sesungguhnya kami hanyalah mengajak kalian kepada agama Allah dan RasulNya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apa pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran: 64)
Maka kalian ada dalam perjanian Allah, dan perjanjian Amirul Muslimin Su’ud bin Abdul Aziz dan pemimpin kalian, Abdul Mu’in bin Musa’id, maka tetaplah mendengar dan taat kepadanya selama ia taat kepada Allah. Wassalam.”[19]
Setelah itu Al-Imam Su’ud rahimahullah memerintahkan penduduk Makkah untuk mempelajari dan mengamalkan dakwah perbaikan yang beliau serukan, barulah beliau menghancurkan kubah-kubah dan simbol-simbol kesyirikan yang dibangun di atas kuburan-kuburan. Lalu beliau meninggalkan Makkah, kembali ke Dir’iyyah.
Masih pada tahun 1218 H/1803 M, Asy-Syarif Ghalib kembali memasuki Makkah tanpa perlawanan, namun setelah itu ia melanggar perjanjian damai yang telah disepakati saudaranya Abdul Mu’in dengan menyerang Thaif yang dikuasai oleh Utsman Al-Mudhayafi dan pengikutnya. Inilah akar peperangan Thaif kedua.
Ketika berita penyerangan ini sampai ke Dir’iyyah, maka Al-Imam Su’ud bin Abdul Aziz rahimahullah menyiapkan pasukan besar dan membangun benteng di lembah Fathimah sampai selesai pada tahun 1220 H/1805 M. Dari sana beliau menyerang Jeddah yang menjadi basis pasukan Asy-Syarif Ghalib, lalu mengepung Makkah, sampai akhirnya Asy-Syarif Ghalib kembali memohon perdamaian dengan syarat dia tetap sebagai gubernur Makkah. Permohonannya pun diterima sehingga akhirnya daerah Hijaz (Thaif, Makkah, Madinah dan sekitarnya) berada di bawah kepemimpinan Saudi.
3. Penaklukan Kota Uyainah
Kedustaan yang sangat keji tanpa sedikit pun disertai dengan bukti-bukti ilmiah kembali dihembuskan oleh saudara Idahram. Dia menuduh, pada tahun 1163 H Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memerintahkan untuk menghancurkan kota Uyainah dan melarang pembangunannya kembali selama 200 tahun karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengirimkan jutaan belalang untuk meluluhlantakkan kota tersebut (pada hal. 88-89). Lalu pada catatan kaki nomor 28, Idahram mengklaim, sumber berita ini dari kitab Unwan Al-Majd jilid 1 h. 23.
Tampak di sini, saudara Idahram berusaha mengelabui kaum muslimin dengan memanfaatkan keawaman dan ketidakmampuan mereka untuk menelusuri sumber sejarah yang diklaim oleh Idahram. Tidak ada sedikit pun kisah tersebut pada halaman yang disebutkan.
Entah dari mana dia mendapatkan berita bohong ini? Lalu kami mencoba mencarinya pada kisah-kisah kejadian tahun 1163 H sebagaimana yang diinfokan oleh saudara Idahram, bahwa kisah itu terjadi pada tahun tersebut (pada hal. 87), juga tidak ada satu pun fakta sejarah sebagaimana tuduhan Idahram.
Silakan pembaca yang budiman melihat langsung ke kitab Unwan Al-Majd, cetakan ke-4 tahun 1982, seperti cetakan yang dijadikan rujukan oleh Idahram, yang dicetak oleh percetakan Darat Al-Malik Abdul Aziz Riyadh. Silakan lihat pada jilid 1 hal. 23 seperti klaim saudara Idahram. Lihat juga kisah yang terjadi pada tahun 1163 pada jilid 1 hal. 60-62, pembaca tidak akan mendapati kisah yang diceritakan oleh Idahram tersebut.

وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam peyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nuur: 11)[20]
4. Lagi, Tuduhan Dusta Idahram terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah Atas Pembunuhan Utsman bin Mu’ammar
Saudara Idahram kembali melemparkan tuduhan dusta terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahwa beliau telah membunuh pemimpin Uyainah yang bernama Utsman bin Mu’ammar (pada hal. 89-90).
Pada catatan kaki nomor 29, saudara Idahram kembali mengklaim bahwa sumber sejarah tersebut dari sebuah kitab yang berjudul Tarikh Najd, hal. 97, karya Ibnu Ghannam rahimahullah. Entah cetakan mana dan tahun berapa yang dimiliki oleh Idahram, sebab setelah kami melihat langsung pada sumber yang disebutkan Idahram, yaitu kitab Tarikh Najd, hal. 97, cetakan Darus Syuruq tahun 1994 M, sama sekali tidak terdapat kisah tersebut.
Lalu kami mencoba mencari pada halaman lain tentang kisah pembunuhan Utsman bin Mu’ammar dan kami dapati, tidaklah seperti tuduhan Idahram. Bahkan yang sebenarnya, Utsman bin Mu’ammar telah bergabung bersama pasukan Dir’iyyah dalam peperangan melawan Dahham bin Dawwas, penguasa Riyadh[21] yang berkhianat pada tahun 1159 H-1160 H, di mana Dahham bin Dawwas dan pasukannya dari Riyadh membunuh penduduk Manfuhah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Pasukan Dir’iyyah dengan dibantu Utsman bin Mu’ammar pun mengadakan perlawanan kepada Dahham bin Dawwas, sehingga pecah pertempuran antara Dir’iyyah dan Riyadh dengan kekalahan pada pihak Riyadh, namun Dahham berhasil meloloskan diri.[22]
Setelah pertempuran ini, Utsman bin Mu’ammar melakukan pengkhianatan dengan melakukan persekongkolan bersama penguasa Tsarmada, Ibrahim bin Sulaiman dan penguasa Riyadh yang lari, Dahham bin Dawwas. Mereka berencana jahat terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan mengatur strategi bagi Dahham agar berpura-pura sudah mengikuti dakwah tauhid yang diserukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan datang ke Uyainah bersama Ibrahim bin Sulaiman. Maka, Utsman bin Mu’ammar pun mengundang Syaikh untuk datang ke Uyainah.
Namun Syaikh dapat merasakan aroma pengkhianatan Utsman bin Mu’ammar, hingga beliau tidak mau memenuhi undangan Utsman. Namun Utsman kembali berjanji setia kepada Dir’iyyah, sehingga pengkhianatannya dimaafkan. Justru ketika itu, penduduk Uyainah sendiri yang marah atas pengkhianatan pemimpin mereka.[23]
Sayangnya, pada tahun 1163 H, Utsman bin Mu’ammar kembali berkhianat. Hal ini dilaporkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah oleh penduduk Uyainah sendiri. Mereka datang kepada Syaikh mengeluhkan kekhawatiran mereka atas kelicikan Utsman bin Mu’ammar.
Maka Syaikh pun mengambil janji dari mereka untuk memerangi siapa saja yang memusuhi dakwah kepada tauhid, walaupun pemimpin mereka sendiri. Ibnu Mu’ammar pun ketakutan, hingga ia meminta pertolongan Ibrahim bin Sulaiman, pemimpin Tsarmada untuk memerangi rakyatnya sendiri.
Mengetahui hal tersebut, dua orang penduduk Uyainah yang bernama Hamd bin Rasyid dan Ibrahim bin Zaid pun membunuh Ibnu Mu’ammar ketika selesai sholat jum’at pada bulan Rajab tahun 1163 H. Ketika itu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah masih berada di Dir’iyyah. Bagaimana bisa dituduh membunuh Ibnu Mu’ammar!?
Dalam kisah ini pun tidak ada tuduhan bahwa Ibnu Mu’ammar dibunuh karena dia telah musyrik dan kafir seperti tuduhan Idahram,[24] tapi karena pengkhianatannya kepada penduduk Uyainah, sehingga yang membunuhnya adalah penduduknya sendiri. Silakan lihat kisah yang sebenarnya pada kitab Tarikh Najd, hal. 103.
Footnote:
[1] Shahih Muslim, 1/6
[2] HR. Al-Imam Muslim no. 7 dari Hafsh bin ‘Ashim radhiallahu ‘anhu
[3] Majmu’ Muallafah Asy-Syaikh, 5/60, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 220.
[4] Majmu’ Muallafah Asy-Syaikh, 3/11, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 221.
[5] Shiyanatul Insan, hal. 485, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 226.
[6] Muhammad bin Abdul Wahhab Muslihun Mazlumun wa Muftara ‘Alaihi, hal. 204.
[7] Shiyanatul Insan,  hal. 486, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 226.
[8] Ayat yang mulia ini semoga menjadi peringatan kepada penulis, penerbit, penjual dan penganjur buku Sejarah Berdarah yang penuh dengan kedustaan, hadaahumullah.
[9] HR. Al-Imam Muslim no. 186 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu.
[10] Jahmi adalah orang Jahmiyyah, kelompok sesat yang berpendapat Al-Qur’an adalah makhluk dan masih banyak kesesatan lain.
[11] Rafidhi adalah Syi’ah Rafidhah, dari kata rafdh yang artinya menolak, dinamakan demikian karena mereka menolak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar, dalam hal ini mereka menyelisihi Ali bin Abi Thalib sendiri dan seluruh sahabat yang sepakat atas kekhilafahan Syaikhain radhiallahu ‘anhuma.
[12] Artinya Al-Imam Bukhari rahimahullah menganggap Jahmiyah dan Rafidhah sama dengan Yahudi dan Nasrani, tidak boleh sholat di belakangnya.
[13] Al-Asma’ was Shifaat, Abu Bakar Ahmad bin Husain Al-Baihaqi, 1/616, no. 561.
[14] Fakta-fakta sejarah ini diungkap oleh gabungan peneliti sejarah yang menulis sebuah ensiklopedi sejarah Jazirah Arab dan sedunia (khususnya sejarah Arab Saudi) yang berjudul, ‘Mausu’ah Muqotil Min Ash-Shohro’. Para peneliti yang terlibat dalam penyusunan ensiklopedi sejarah ini adalah Prof. Dr. Ibrahim Al-Qurasyi Utsman, Prof. Dr. Ahmad Abdul Baqi Al-‘Ayyath, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Dr. Ibrahim Hamd Al-Qa’id, Dr. Ibrahim Shalih Ad-Dausari, dan lain-lain. Ensiklopedi ini murni membahas sejarah tanpa memberikan penilaian, baik pujian dan celaan terhadap para pelaku sejarah tersebut. Untuk membaca ensiklopedi ini, bisa melalui website resminya http://www.moqatel.com
[15] Shiyanatul Insan, hal. 498.
[16] Kami ringkas dari website resmi Ensiklopedi Sejarah Muqotil Min Ash-Shohro, karya ilmiah kumpulan peneliti sejarah.
[17] Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah Hijaz masih berada di bawah penguasaan Daulah Utsmaniyyah atau berdiri sendiri dengan Asy-Syarif sebagai pemimpinnya? Ataukah memang Daulah Utsmaniyyah di masa itu sudah begitu lemah hingga penguasaannya terhadap Hijaz hanya tinggal nama? Yang pasti, penguasaan Saudi atas Hijaz akibat ulah penguasa Hijaz sendiri yang menyerang Dir’iyyah. Itu pun dia lakukan beberapa kali baru kemudian Dir’iyyah melakukan pembalasan setelah para Syarif tidak menaati perjanjian damai. Terlebih di masa Syarif, Hijaz penuh dengan kesyirikan dan penyembahan terhadap kuburan, maka sungguh tidak pantas dua kota suci umat Islam dibiarkan begitu saja tanpa dibersihkan dari kesyirikan dan bid’ah. Dan yang patut dicatat, pengusaan Saudi atas Hijaz bukanlah memberontak dan memisahkan diri dari Daulah Utsmaniyyah, sehingga tidak terdapat satu pun data ilmiah berupa pernyataan resmi memisahkan diri dari Daulah Utsmaniyyah yang dikeluarkan oleh pemerintah Saudi.
[18] Khulasatul Kalam fi Umara Al-Bait Al-Haram, Ahmad Zaini Dahlan, hal. 266, sebagaimana dalam Ensiklopedi Sejarah Muqotil Min Ash-Shohro, dalam website resminya.
[19] Jaminan keamanan kepada penduduk Makkah, pemerintah dan ulamanya ini sekaligus bantahan terhadap tuduhan dusta saudara Idahram atas pembunuhan ulama di Makkah yang tidak sepaham (pada hal. 96). Kejadian ini juga sebagai bantahan terhadap tuduhan membunuh ulama yang tidak sepaham –yang tidak terbukti- di negeri-negeri lainnya, karena kenyataannya ketika menguasai Makkah, penguasa Saudi memberikan jaminan keamanan kepada ulama. Bagaimana bisa dituduh membunuh ulama?!
[20] Kembali kami ingatkan, ayat yang mulia ini semoga menjadi peringatan kepada penulis, penerbit, penjual dan penganjur buku Sejarah Berdarah yang penuh dengan kedustaan ini, hadaahumullah.
[21] Kisah ini sekaligus bantahan saudara Idahram atas tuduhannya dalam penyerangan kota Riyadh (pada hal. 93-94), hakikat penyerangan tersebut hanyalah pembalasan terhadap pengkhianatan penduduk Riyadh yang dipimpin oleh Dahham bi Dawwas dalam menyerang dan membunuh penduduk Manfuhah.
[22] Lihat Tarikh Najd, hal. 96-98.
[23] Ibid, hal. 100
[24] Saudara Idahram mengklaim info ini dia dapatkan dari kitab Tarikh Najd hal. 97, setelah kami melihat langsung pada sumber yang dimaksud kisah tersebut tidak ada. Memang ada kisah tersebut pada hal. 103, namun tanpa ada tuduhan musyrik dan kafir kepada Ibnu Mu’ammar.
Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah dalam buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan” penerbit TooBagus cet. kedua.  Bantahan terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syaikh Idahram hadahullah.
http://rizkytulus.wordpress.com/96696+

Tidak ada komentar:

Posting Komentar