Sabtu, 26 Mei 2012

Kaidah Penerapan Sunnah : Pertimbangan Yang Matang


Penulis: Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Dalam menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tidak boleh lepas dari kaidah maslahat (pengaruh yang baik) dan mafsadah (pengaruh yang jelek)nya. 
http://rumahbelajarku.files.wordpress.com/2010/12/kaidah_penerapan_sunnah3.jpg?w=535Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah umum yang ma’ruf dan dikenal dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih. Kaidah tersebut diantaranya: “Jika dihadapkan kepada kita dua mafsadah, maka kita harus menghindari mafsadah yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih kecil”. Atau kaidah yang sejenisnya yakni “Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat”.
Kaidah-kaidah yang seperti ini sesungguhnya diterapkan kalau terjadi dilematis antara 2 keadaan. Artinya jika dihindari yang satu, maka akan terkena yang lainnya. Adapun jika keadaannya tidak seperti itu, maka jelas mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam merupakan maslahat yang besar.
Kaidah-kaidah para ulama tadi diambil dari dalil-dalil yang banyak dan shahih. Salah satu di antaranya adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah radhiyallaahu ‘anha:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْجَدْرِ أَمِنَ الْبَيْتِ هُوَ؟ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ فَمَا لَهُمْ لَمْ يُدْخِلُوْهُ فِي الْبَيْتِ؟ قَالَ إَنَّ قَوْمَكِ قَصَّرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ. قُلْتُ فَمَا شَأْنُ بَابِهِ مُرْتَفِعًا؟ قَالَ فَعَلَ ذَلِكَ قَوْمُكِ لِيُدْخِلُوْا مَنْ شَاؤُوْا وَيَمْنَعُوْا مَنْ شَاؤُوْا وَلَوْلاَ أَنْ قَوْمَكِ حَدِيْثٌ عَهْدُهُمْ بِالْجَاهِلِيَّةِ فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ قُلُوْبَهُمْ أَنْ أَدْخُلَ الْجَدْرَ فِي الْبَيْتِ وَأَنْ أُلْصِقَ بَابَهُ بِاْلأَرْضِ. (رواه البخاري ومسلم
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Apakah al-jadru (Hijr Ismail) itu termasuk Baitullah (Ka’bah)?”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Ya”. Aku katakan: “Kalau begitu mengapa tidak dimasukkan ke dalam Baitullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya kaummu kekurangan dana”. Aku bertanya lagi: “Dan kenapa pintunya berada di atas?” Beliau menjawab: “Dibangun sedemikian rupa supaya kaummu bisa memasukkan siapa yang dikehendaki dan melarang siapa yang dikehendakinya. Kalau saja bukan karena kaummu yang baru masuk Islam dan sangat dekat dengan jahiliyah -yang aku khawatir hati-hati mereka akan mengingkarinya, niscaya aku akan memasukkan al-Jadru ke dalam bangunan Baitullah dan niscaya aku tempelkan pintunya ke bumi.” ( HR. Bukhari dan Muslim ).

Hadist ini dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya dengan diberi judul: “Bab meninggalkan sesuatu yang baik karena kekhawatiran kurangnya pemahaman manusia, hingga akan menyebabkan mereka bertambah jauh.” Ibnu Hajar dalam syarh hadist ini mengatakan: “Hadist ini memberikan faedah tentang bolehnya meninggalkan suatu maslahat karena kekhawatiran terjatuh ke dalam mafsadah”.
Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dianjurkan bagi seseorang untuk memiliki tujuan melembutkan hati-hati manusia dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mustahab (tidak wajib). Karena maslahat menyatunya hati-hati kaum muslimin terhadap agamanya lebih besar daripada maslahat yang akan didapatkan dengan mengerjakannya. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam meninggalkan untuk membangun Ka’bah (dengan menyatukan Hijr Ismail dengan bangunan ka’bah –pent), karena dengan cara yang demikian akan terjaga hati-hati kaum muslimin yang baru masuk Islam pada saat itu”.

Juga dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu. Ketika beliau melihat perbuatan khalifah ‘Utsman ibn Affan radhiyallaahu ‘anhu yang tidak mengqashar shalatnya ketika dalam safar. Beliau mengingkarinya dengan mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, aku shalat di belakang Abu Bakar dan Umar, keduanya mengqashar shalatnya. Namun ‘Utsman ibn Affan radhiyallaahu ‘anhu menyempurnakan shalatnya”. Meskipun demikian, beliau tetap sholat di belakang Utsman empat rakaat. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya, beliau mengatakan bahwa perselisihan adalah suatu kejelekan.
Demikian pula jawaban khalifah ‘Utsman ibn Affan radhiyallaahu ‘anhu ketika beliau ditanya mengapa beliau menyempurnakan shalat dan tidak mengqasharnya. Beliau menjawab bahwa karena pada saat itu banyak orang awam dan mereka yang baru masuk Islam, maka beliau khawatir jika mereka menganggap bahwa shalat dluhur itu dua rakaat. Ini menunjukkan bahwa ta’liful qulub (menjinakkan hati) lebih besar maslahatnya daripada mengerjakan hal yang mustahab.
Oleh karena itu, mengerjakan suatu amalan sunnah bisa jadi pada satu keadaan menjadi mustahab (dianjurkan); namun dalam keadaan lain, meninggalkannya lebih afdhol sesuai dengan maslahat yang lebih unggul. (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juz 22, hal. 407).
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam masalah ini maslahat yang dimaksud adalah maslahat agama atau maslahat yang syar’iyah, bukan maslahat pribadi atau maslahat dunia (keuntungan dunia) belaka. Dan juga kaidah ini berlaku pada hal-hal yang hukumnya mustahab bukan pada perkara yang wajib. Adapun jika perkara itu adalah perkara yang wajib, maka meninggalkannya akan mendapat dosa dan diancam dengan adzab api neraka. Adakah mafsadah yang lebih besar dari pada masuknya seseorang ke dalam api neraka?
Kaidah ini tidak bertentangan dengan kaidah asal yang memerintahkan untuk senantiasa menghidupkan sunnah. Karena kaidah yang sedang kita bahas ini bersifat sementara dan pada keadaan tertentu, bukan untuk mematikan sunnah selama-lamanya.
Dalam masalah ini ada sebagian di antara kaum muslimin yang melampaui batas, seperti Ikhwanul Muslimin, Sururiyin (pengikut Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin), Qutbiyyun (pengikut Sayid Qutub) dan sejenisnya. Mereka menggunakan kaidah ini dalam metode dakwahnya secara berlebihan, hingga mereka mematikan sunnah dan menggagap sunnah sebagai penghalang da’wah. Bahkan di antara mereka ada yang mendudukkan “Maslahatu Da’wah” seakan-akan tuhan, mereka menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan Allah, mengharamkan hal-hal yang telah dihalalkan, merubah syari’at, mematikan sunnah, bahkan membenci ahlussunnah yang menghidupkan sunnah hanya dengan alasan Maslahatud Da’wah (kepetingan dakwah).

Kita katakan bahwa kalau meninggalkan sunnah secara keseluruhan, apalagi meninggalkan perkara-perkara yang wajib, maka itu bukan maslahat untuk da’wah, bukan pula untuk agama ini, bahkan yang terjadi adalah mafsadah yang besar dan kehancuran Islam.
Berkata Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu“Akan muncul suatu kaum yang meninggalkan sunnah seperti ini (yaitu satu ruas jari). Jika kalian biarkan, niscaya mereka akan mendatangkan bencana yang besar. Sesungguhnya tidaklah ahlul kitab meninggalkan agamanya kecuali diawali dengan meninggalkan satu sunnah demi satu sunnah, hingga berakhir dengan meninggalkan sholat. Kalau mereka tidak berusaha menghidupkan sunnah niscaya mereka pun akan meninggalkan sholat.” (diriwayatkan oleh al-Lalikai di dalam Syarh Ushulul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, juz 1/91).

Untuk itu kita harus memiliki dan menerapkan kadah-kaidah dalam penerapan sunnah secara lengkap. Jangan mengambil salah satunya dan membuang yang lainnya. Kaidah yang pertama dan utama adalah bagaimana menghidupkan sunnah secara keseluruhan pada diri kita dan masyarakat kita. Allah berfirman:
يَآ أَيُّهَا الَذِيْنَ ءَامَنُوْا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ. [ البقرة: 208
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan. Dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah: 208)

Kami berikan satu contoh, yaitu ketika kita melihat satu sunnah yang tidak wajib hukumnya (mustahab) seperti sunnahnya sholat memakai sandal. Dalam keadaan masyarakat yang jahil dan diperkirakan akan dapat menjadi fitnah bagi mereka dengan mencela sunnah tersebut atau mencela dakwah ahlu sunnah, maka hendaknya kita tidak mengerjakan atau lebih tepatnya menunda hingga kita menyampaikan ilmunya, menerangkan dalilnya, menegakkan hujahnya, membuktikan keshahihan riwayatnya dan menjelaskan istimbat hukumnya menurut para ulama agar tidak membuat salah paham mereka.
Berkata Syaikh Abdussalam bin Barjas: “Pemahaman yang benar terhadap kaidah ini adalah jika pada penerapan suatu sunnah dapat mengakibatkan mafsadah yang jelas lebih besar dari maslahat yang didapatkannya maka tahanlah sunnah tersebut di tempat tersebut (pada saat tersebut) dengan mengupayakan beberapa perkara:
1. Wajib menasehati mereka dan mengingatkan mereka tentang kedudukan sunnah yang tinggi dan agung tersebut.
2. Tidak meninggalkan sunnah tersebut untuk selamanya.
3. Jika diketahui bahwa para penentang sunnah tersebut menolaknya bukan karena bodoh, tetapi karena benci terhadap sunnah tersebut, karena ta’ashub (fanatik) kepada madzhab tertentu atau karena mengikuti aliran tertentu, maka sunnah harus tetap ditegakkan. Tidak peduli dengan mereka atau seribu orang seperti mereka. Karena telah shahih riwayatnya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّيْ… (رواه البخاري…
“…Barangsiapa yang benci pada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku…” (HR. Bukhari)

Selanjutnya Syaikh Abdussalam bin Barjas mengatakan: “Karena maslahat besar yang kita inginkan adalah bagaimana kita mewujudkan kasih sayang di antara ahlus sunnah dan sebaliknya menghilangkan permusuhan dan kebencian di antara mereka, maka ketika telah diketahui seseorang atau sekelompok tertentu benci kepada sunnah, maka hilanglah kasih sayang kita kepada mereka dan wajib memboikot dan membenci mereka karena Allah.”

Hal ini berbeda keadaannya jika yang membenci dan menolak sunnah adalah orang awam seperti kebanyakan kaum muslimin. Jika kita menunda beberapa perkara yang tidak wajib karena mengimbangi mereka hingga mereka paham terhadap perkara tersebut, hal ini adalah satu sikap yang bijaksana dan perkara yang disyari’atkan. Sikap ini dilakukan agar kebodohan mereka tidak membawa mereka terjerumus dalam ucapan-ucapan yang tidak pantas diucapkan. Langkah berikutnya adalah mengenalkan kepada mereka sunnah-sunnah tersebut dengan penuh hikmah dan kelembutan. Kalau perlu meminta bantuan kepada orang-orang yang berilmu dalam masalah tersebut.
Kalau upaya-upaya tersebut telah dilakukan dan telah jelas bagi mereka petunjuk, namun mereka tetap membenci dan menolaknya, maka gabungkanlah mereka dengan kelompok tadi (yakni ahlil bid’ah). (Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 96-97)
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 16/Th. I, tgl 8 Dulhijjah 1424 H/30 Januari 2004 M, penulis Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul asli “Kaidah-kaidah penerapan Sunnah : Mempertimbangkan Maslahat dan Mafsadah”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143)
Sumber :

Kaidah Penerapan Sunnah : Jangan Diperdebatkan



Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Kaidah yang kedua dalam penerapan Sunnah adalah menyampaikan Sunnah dan tidak memperdebatkannya. Karena memperdebatkan Sunnah hanya akan membawa pada pertikaian yang berbuntut pelecehan terhadap Sunnah Nabawiyah itu sendiri. Berkata Imam Malik rahimahullah: “Perdebatan hanyalah akan membawa pada pertikaian dan menghilangkan cahaya ilmu dari dalam hati, serta mengeraskan hati dan melahirkan kedengkian. (Syiar a’lamin Nubala’, 8/ 106). Demikian pula dikatakan oleh Imam Syafii dan lain-lain. (Syiar A’lamin Nubala’, 10/28). Dalam pengamalan atau penyampaian sunnah kita hanya diperintahkan untuk menyampaikan dengan jelas dan bukan memperdebatkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
http://rumahbelajarku.files.wordpress.com/2010/12/kaidah_penerapan_sunnah3.jpg?w=535وَأَطيعُوا اللَّهَ وَأَطيعُوا الرَّسولَ وَاحذَروا ۚ فَإِن تَوَلَّيتُم فَاعلَموا أَنَّما عَلىٰ رَسولِنَا البَلٰغُ المُبينُ [المائدة : 92
“Dan ta’atlah kalian kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (al-Maidah: 92)
Sampaikanlah Sunnah dengan menjelaskan dalil-dalilnya secara ilmiah yaitu dengan menunjukkan keshahihan haditsnya dan menjelaskan ucapan para Ulama tentang maknanya. Dengan kata lain kita hanya menegakkan hujjah (dalil/keterangan, red) dan menunjukkan kebenarannya secara riwayat dan dirayah (lihat edisi yang lalu). Adapun masalah hidayah ada di tangan Allah.
Kita tidak bisa memaksa setiap orang untuk menerima hidayah. Sehingga jika ada sebagian manusia yang membantah atau memperdebatkan Sunnah setelah jelas baginya hujjah, maka itu hanyalah salah satu dari beberapa cara penolakan terhadap Sunnah. Untuk itu mereka harus kita tinggalkan dan kita tidak perlu sibuk melayaninya. Jika kita melayani mereka, maka hal itu hanyalah akan membuang-buang waktu dan tidak akan memberikan faedah sama sekali, bahkan hanya akan menimbulkan madlarat.
Allah mengancam mereka yang menolak sunnah setelah jelas baginya dengan Adzab neraka Jahanam, sebagaimaa firman-Nya:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. [النساء : 115
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’: 115)

Pada suatu hari, Imam Malik pernah ditanya oleh seorang yang bernama Haitsam bin Jamil: “Wahai Abu Abdillah (yakni imam Malik), seorang yang memiliki ilmu tentang sunnah apakah boleh dia berdebat untuk membelanya?” Imam Malik menjawab: “Jangan! Tetapi hendaklah dia menyampaikan sunnah tersebut. Jika diterima, itulah yang diharapkan; namun jika ditolak, maka diamlah.” (Jami’ Bayanul Ilmih wa Fadlihi, juz 2 hal. 94)
Demikian pula Imam Ahmad menyatakan: “Sampaikanlah sunnah dan jangan kalian memperdebatkannya.” (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, melalui nukilan Syaikh Barjas dalam Dlaruratul Ihtimam, hal. 89)
Para ulama telah mengingatkan kaum muslimin agar mereka jangan memperdebatkan masalah agama. Yang diperintahkan kepada mereka adalah mengamalkan hal-hal yang telah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan hal-hal yang telah dilarang. Kebinasaan yang telah menimpa orang-orang sebelum kita adalah karena banyaknya perdebatan, protes dan pertentangan serta perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
مَانَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ. فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائهِمْ. (متفق عليه
“Apa yang aku larang, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan, kerjakanlah sebisa kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya perselisihan dan pertentangan mereka terhadap para nabinya.” (HR. Bukhari Muslim)
Oleh karena itu, kewajiban bagi kita kepada umat adalah menyampaikan sunnah dengan menjelaskan keshahihan riwayatnya dan kejelasan maknanya menurut ulama salaf. Jika mereka menerima dakwah kita, kita ucapkan “Alhamdulillah”. Dan kalau mereka menolak dengan mempermasalahkan dan memperdebatkannya dengan akal dan perasaan mereka, maka tinggalkanlah!.
Jeleknya Ilmu Kalam (Filsafat)
Perdebatan terhadap nash-nash yang telah jelas datangnya dari Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang tercela. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيهِ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. [ غافر : 56
“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa ilmu yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tidak akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Ghafir: 56)
Memang orang-orang yang sesat seringkali diberi oleh Allah keahlian dalam berdebat dan bersilat lidah.
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. (رواه أحمد
“Tidaklah sesat satu kaum setelah datangnya petunjuk kecuali setelah diberikan kepada mereka kepandaian debat.” (HR. Ahmad) (Syaikh Barjas dalam Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Barjas, hal. 89)
Ilmu debat/kalam bukanlah ilmu yang bermanfaat. Bahkan sebaliknya hanya akan membawa madlarat dan kesesatan, karena ilmu kalam adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana membantah dengan akal dan permainan kata-kata. Para ulama telah memperingatkan kita dari bahaya ilmu kalam atau mantiq tersebut.
Berkata Imam Ahmad : “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul kalam, walaupun ia membela sunnah. Karena urusannya tidak akan membawa kebaikan!” (Al-Ibanah, juz 2/540 melalui nukilan Lamu ad-Duur Minal Qaulil Ma’tsur, Syaikh Jamal Ibnu Furaihan, hal. 40)
Berkata Abdul Harits: “Aku mendengar Abu Abdillah berkata: “Jika engkau melihat seseorang menyukai ilmu kalam, maka berhati-hatilah kalian dengannya”. (Idem)
Imam Syafi’i berkata : “Barangsiapa yang bermantiq, maka dia akan jadi zindiq (sesat).” Beliau juga berkata: “Hukumanku bagi ahlul kalam adalah dipukul dengan pelepah korma dan sandal, dikelilingkan ke kampung-kampung dan diumumkan di hadapan manusia: “Inilah balasan bagi orang-orang yang meninggalkan kitab dan sunnah dan berpaling pada ilmu kalam.” (Syarh al-Aqidatul ath-Thahawiyah, hal. 72)
Ingatlah wahai kaum muslimin, agama ini bukanlah milik para pemenang debat. Tidak mesti mereka yang menjadi pemenang dalam perdebatan adalah orang yang berada di atas kebenaran.
Dikisahkan oleh Ma’n bin Isa: “Imam Malik bin Anas rahimahullah pada suatu pernah pulang dari suatu majlis dalam keadaan beliau bertekan pada tanganku. Kemudian beliau ditemui oleh seseorang yang dipanggil dengan nama Abul Hauriyah . Orang ini termasuk orang yang sesat beraliran murji’ah. Ia berkata: “Wahai hamba Allah, dengarkanlah dariku sesuatu. Aku ingin berbicara denganmu menyampaikan argumentasiku kepadamu dan menyampaikan pendapatku kepadamu (yakni mengajak berdebat –pent.)”. Maka Imam Malik menjawab: “Bagaimana jika engkau bisa mengalahkanku?” Ia berkata: “Jika engkau kalah, maka engkau harus mengikutiku”. Imam Malik berkata lagi: “Jika datang orang ke-3 menyampaikan argumentasinya kepada kita, kemudian ia mengalahkan kita?” Ia menjawab: “Jika kita kalah, maka kitapun mengikutinya”. Mendengar jawaban ini, Imam Malik berkata: “Wahai hamba Allah, Allah telah mengutus Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan agama yang satu, tetapi aku melihat engkau berpindah-pindah dari satu agama ke agama yang lain”. Dalam riwayat yang lain: “Bukanlah agama ini milik para pemenang debat”. (Asy-Syari’ah, al-Ajurri, 64)
Wallahu a’lam
(Bersambung ke Kaidah-Kaidah Penerapan Sunnah Mempertimbangkan Maslahat dan Mafsadah).
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 18/Th. I tgl 22 Dulhijjah 1424 H/13 Pebruari 2004 M, penulis Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul asli “Kaidah-kaidah penerapan Sunnah : Sampaikan Sunnah dan Jangan Diperdebatkan”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143)
Sumber :

Kaidah Penerapan Sunnah : Pastikan Ke-Shahih-annya



Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as Sewwed

Dalam menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kita harus berhati-hati dan teliti. Dalam masalah ini kita harus memperhatikan beberapa kaidah yang telah para ulama tetapkan agar penerapan sunnah itu tidak justru berbalik memancing orang untuk mencemoohkannya, padahal hal itu diakibatkan oleh kesalahan kita dalam penerapannya.Kesalahan tersebut dapat berasal dari dua sisi. Pertama, hadits yang dijadikan sandaran adalah hadits yang dlaif (lemah) atau bahkan palsu. Atau pemahaman kita yang keliru terhadap hadits yang kita jadikan sebagai sandaran walaupun shahih. 
Oleh karena itu kaidah pertama yang harus kita perhatikan dalam penerapan sunnah adalah memastikan kesahihan hadits dan memastikan kebenaran istinbath (pengambilan, red) hukumnya. Yang pertama diistilahkan dengan riwayah, dan yang kedua diistilahkan dengan dirayah.
Keshahihan Riwayat
Dalam penerapan sunnah kita harus memastikan kebenaran hadits tersebut dari sisi riwayatnya. Dengan demikian dengan yakin kita mengamalkan hadits yang shahih dan benar-benar merupakan ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Karena hadits-hadits yang dlaif, palsu, atau mungkar atau yang sejenisnya tidak dapat dijadikan sandaran dalam seluruh amalan kita.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Tidak boleh kita menyandarkan syariat agama ini pada hadits-hadits yang dhaif (lemah), yang tidak shahih (benar, red) ataupun tidak hasan (baik, red).” (Majmu’ Fatawa juz I, hal.250)
Berkata Syaikh Zakariya bin Muhammad al-Anshari: “Jalan orang yang ingin berdalil dengan hadits dari kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab musnad, jika dia memiliki kemampuan untuk memeriksa hadits-hadits tersebut, hendaklah meneliti sanadnya (bersambung atau tidak -pent). Juga perawi-perawinya (terpercaya atau tidak) dan seterusnya. Kalau tidak mampu dan telah ada para ulama ahlul hadits yang menshahihkannya atau menghasankannya, boleh baginya untuk mengikutinya”.
Semua ucapan para ulama tersebut, membimbing kita agar jangan kita terjerumus dalam pemakaian hadits yang lemah yang akibatnya akan fatal terhadap diri kita dan terhadap dakwah. Jangan sampai kita digolongkan ke dalam orang-orang yang berdusta atas nama nabi, menyampaikan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata begini dan begitu ternyata beliau tidak pernah mengatakannya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengancam:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. (متفق عليه
“Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Adapun hadits-hadits yang dlaif (lemah) tidak bisa menentukan suatu hukum apapun. Juga tidak bisa mewajibkan sesuatu atau menjadikannya mustahab (sunat) seperti ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Tidak seorangpun dari para ulama yang menyatakan bolehnya menganggap sesuatu adalah wajib atau mustahab dengan hadits dlaif. Barangsiapa yang mengatakan demikian, maka dia telah menyelisihi ijma’ dan kesepakatan para ulama!.” (Majmu’ Fatawa, 251)
Demikianlah prinsip ahlus sunnah dalam penerapan sunnah. Hal ini berbeda dengan ahlul bid’ah dari kalangan tarikat-tarikat sufi, baik yang tergabung dalam kelompok jamaah tabligh ataupun kelompok-kelompok dzikir atau dalam bentuk sosok-sosok sufi yang ditokohkan sebagai ulama. Mereka menganggap bahwa hadits dlaif dapat menjadi dalil dalam fadlailul a’mal. Sehingga buku mereka dipenuhi dengan hadits-hadits dlaif, maudlu’ (palsu) dan lainnya. Ketika ditegur mereka menjawab dengan enteng: “Dlaif-dlaif juga kan hadits”. Akibatnya jelas, yaitu membawa mereka pada kesesatan dan penyimpangan.
Kebenaran Istimbath Hukum
Perkara yang kedua, jika telah dipastikan keshahihan suatu hadits, kita harus meneliti pula makna yang dimaksudkan. Kita harus benar dalam mengambil hukum (istimbath hukum) dari hadits tersebut. Tentunya, harus kita ketahui bahwa yang paling tepat dalam melakukan istimbath hukum dan penerapannya terhadap sunnah adalah generasi pertama dan utama dari umat ini, yakni dari kalangan para Shahabat Radhiallahu ‘anhum.
Jangan sampai kita keliru dalam menafsirkan atau mengambil kesimpulan terhadap hadits-hadits yang shahih tersebut. Sebagai contoh, ada sebagian kaum muslimin yang menafsirkan kalimat khuruj fie sabilillah dengan mengembara yang diistilahkan oleh Syaikhul Islam dengan siyahah. Beliau menjelaskan bahwa siyahah adalah perkara kebid’ahan kaum sufi. Padahal dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maksud kalimat “khuruj fie sabilillah” adalah jihad dan berperang di jalan Allah.
Untuk itu, dalam masalah istimbath kita harus merujuk kepada mereka yang telah dipastikan kebenarannya dalam penerapan Qur’an dan as-Sunnah, yaitu generasi para shahabat, sebagaimana Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. [التوبة : 100
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)

Dalam ayat ini Allah meridlai tiga golongan manusia yakni kaum Muhajirin, Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (baik). Hanya merekalah yang telah mendapatkan rekomendasi dan pujian dari Allah. Hal ini menunjukkan kalau mereka telah tepat dalam menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupannya.
Karena kita bukan dari kaum Muhajirin dan bukan pula kaum Anshar, maka hendaknya kita menjadi para pengikut mereka dengan ihsan (baik, red), baik dalam memahami, istimbath hukum, menafsirkan dan ataupun penerapannya agar kita termasuk dalam golongan yang diridlai-Nya. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti mereka, berarti mereka telah menentang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan tidak mau mendengarkan ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berikut:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ. (متفق عليه
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang berikutnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Manusia yang terbaik adalah para shahabat, kemudian yang mengikuti mereka setelahnya (para tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (atba’ut tabi’in).
Para shahabat merupakan generasi yang telah dipastikan keimanan mereka dalam ucapan Allah Ta’ala :
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. [الأنفال : 74
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah (kaum muhajirin), dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin yakni kaum anshar), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (al-Anfaal: 74)
Dengan demikian barangsiapa yang tidak mau mengikuti orang-orang yang beriman tersebut terancam dengan kesesatan di dunia dan adzab jahannam di akhirat. Allah tegaskan dalam firman-Nya:
لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. [النساء : 115
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’: 115)
Oleh karena itu barangsiapa yang mengikuti mereka akan mendapatkan petunjuk, dan yang meninggalkannya terancam akan mendapatkan kesesatan.
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ .  [البقرة : 137
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 137)
Dalam ayat ini yang dimaksud kata ganti orang kedua yaitu “kalian” dalam ucapan Allah: “Jika mereka beriman seperti kalian beriman” adalah para shahabat. Artinya, jika mereka beriman seperti para shahabat beriman, maka dia akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar dan lurus. Namun sebaliknya jika mereka tidak mau mengikuti para shahabat, mereka akan terus berada dalam pertikaian dan perselisihan, menyimpang dari jalan yang lurus dan terjerumus ke dalam kesesatan dan kebid’ahan.
Para perusak Sunnah!!
Mereka yang menyelisihi kaidah pertama dalam penerapan sunnah ini bukanlah orang yang termasuk menghidupan sunnah, tetapi justru mematikan sunnah. Karena mereka yang memakai hadits-hadits dlaif, maudlu’, palsu, dan sejenisnya justru menjatuhkan martabat sunnah nabawiyah. Karena riwayat-riwayat yang mungkar dan palsu tersebut adalah buatan manusia biasa yang banyak mengandung kesalahan, kekurangan atau sebaliknya mengandung ekstrimitas dan berlebih-lebihan. Dan semua penyimpangan tersebut diatas namakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Demikian pula yang tidak memahami hadits-hadits nabi dengan pemahaman para shahabat niscaya yang terjadi justru kesesatan pula. Dengan demikian menyalahi kaidah pertama ini konsekwensinya adalah terjerumus dalam kebid’ahan dan kesesatan.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidla’ Sirathil Mustaqiem Fie Mukhalafati Ashhabil Jahim menyatakan bahwa golongan yang mematikan sunnah ada dua jenis:
Pertama, yang tidak mau mengamalkan sunnah.
Kedua, mereka yang menambah-nambahinya dengan perkara baru.
Yakni mereka yang menambahi sunnah dengan perkara baru, pemahaman baru, cara istimbath hukum yang baru atau hadits-hadits baru (yakni hadits yang maudlu’ dan palsu) secara tidak sadar mereka juga ikut membantu mematikan Sunnah Nabawiyah. Dengan kata lain menerapkan sunnah tidak dengan kaidah sunnah adalah justru menghancurkan dakwah Sunnah.
(Bersambung ke Kaidah-Kaidah Penerapan Sunnah : Sampaikan Sunnah & Jangan diperdebatkan).
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: Edisi: 17/Th. I tgl 15 Dulhijjah 1424 H/6 Pebruari 2004 M , penulis Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul asli “Kaidah-kaidah penerapan Sunnah : Pastikan kesahihan riwayat dan Makna”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143)
Sumber: