Minggu, 06 Mei 2012

TA’WIL BISA DIBENARKAN BILA MAKSUDNYA TAFSIR

.

 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan[1] : “Sesungguh lafal ta’wil menurut pemahaman orang-orang yg suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta’wil yg dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yg diturunkan). Bahkan bukan pula yg dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu.
Sesungguh para ulama tafsir Al-Qur’an terdahulu memahami lafal ta’wil dgn maksud tafsir. Ta’wil semacam ini dpt diketahui oleh ulama yg mengetahui tafsir Al-Qur’an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imam ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur’an kpd Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : “Sesungguh orang-orang yg benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-’Ilmi) jika memahami tentang ta’wil, maka maksud ta’wil itu ialah tafsir yg telah disebutkan Ibnu Abbas padanya”.
Adapun lafal ta’wil menurut At-Tanzil (wahyu yg diturunkan), makna ialah “hakikat”, yakni sesuatu yg menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dgn hakikat-hakikat yg telah diberitakan oleh Allah Ta’ala, misal ta’wil tentang hari akhir yg telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yg akan terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta’wil tentang apa yg Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yg Maha Suci lagi tersifati dgn sifat-sifat Maha Tinggi. Ta’wil (dalam arti hakikat) inilah yg tdk dpt diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala sendiri.
Oleh krn itulah kaum salaf mengatakan :”Istiwa’ telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikat itu majhul (tdk dpt diketahui)”. Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa’. Inilah yg disebut ta’wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yg dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dpt merenungi, memahami dan mengerti.
Sedangkan perkataan mereka “Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) ialah majhul (tdk dpt diketahui). Hal ini ialah ta’wil yg ha bisa diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang hakikat yg tiada satu mahluk pun dpt mengetahuinya”.
Pada tempat lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pula [2] : ” …… Sesungguh yg dimaksud dgn lafal ta’wil dalam Al-Qur’an ialah hakikat suatu perkara, meskipun hakikat itu sama dgn makna yg ditunjukan dan dipahami dari zhahir lafadz”.
Terkadang pula yg dimaksud dgn ta’wil ialah penafsiran dari suatu perkara serta penjelasan maknanya, walaupun penjelasan makna itu sama dgn lafal perkataan tadi. Dan istillah ta’wil dgn makna kedua inilah yg menjadi istilah mufassir terdahulu seperti Mujahid dan lain-lain. Tetapi istilah ta’wil kadang juga dimaksudkan dgn pengalihan suatu lafal dari kandungan makna yg rajih menuju kemungkinan makna yg marjuh disebabkan ada suatu dalil yg mengiringinya.
Pengkhususan istilah ta’wil dgn makna terakhir ini ha ada pada pembicaraan kaum muta’akhirin. Adapun para shahabat, tabi’in dan semua imam-imam kaum muslimin, seperti imam yg empat dan imam yg lain, mereka tdk menghususkan istilah ta’wil tersebut untuk makna yg terakhir itu, tetapi yg mereka kehendaki dgn ta’wil ialah makna yg petama dan kedua.
Oleh krn itulah, sekelompok orang-orang muta’akhirin berprasangka bahwa lafal (kalimat) ta’wil pada Al-Qur’an atau Hadits ha bermakna khusus menurut pengertian terakhir tersebut, seperti dalam firman Allah :
“Arti : …Dan tdk ada yg mengetahui ta’wil melainkan Allah. Dan orang-orang yg mendalam ilmu berkata : “Kami beriman kpd ayat-ayat yg mutasyabihat. Semua itu dari sisi Rabb kami”. [Ali-Imran : 7].
Mereka meyakini bahwa waqaf (bacaan berhenti) pada ayat diatas ialah pada :
“Arti : .. Dan tdk ada yg mengetahui ta’wil melainkan Allah”.
Sebagai akibat dari prasangka mereka tersebut, mereka terjebak dalam keyakinan bahwa ayat-ayat seperti di atas dan hadits-hadits Nabi, mempunyai makna-makna yg berlainan dgn makna yg langsung bisa dipahami dari lafal nash tersebut. Sementara itu makna yg dikehendaki dari nash tersebut tdk dpt diketahui kecuali oleh Allah saja. Bahkan Malaikat yg turun membawa Al-Qur’an yakni Jibril, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tdk bisa mengetahui makna-maknanya. Begitu pula nabi-nabi lain, para shahabat serta para tabi’in.
Menurut keyakinan mereka, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membaca firman-firman Allah berikut :
“Arti : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yg bersemayam (ber-istiwa) di atas ‘Arsy”. [Thaha : 5].
“Arti : Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yg baik”. [Faathir : 10].
“Arti : …. tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka”. [Al-Maidah : 64].
Dan ayat-ayat lainnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tdk mengerti makna-maknanya. Bahkan (menurut persangkaan mereka) beliau sendiripun tdk memahami kata-kata sendiri ketika bersabda :
“Arti : Rabb kita turun ke langit dunia pada tiap-tiap malam ….” [Hadits Riwayat Bukhari, Juz 2: 25].
Bahkan makna yg langsung dpt dimengerti dari nash di atas, tdk dpt dimengerti kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selanjut mereka beranggapan bahwa cara-cara semacam ini ialah cara kaum salaf”.
Kemudian pada tempat yg lain lagi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata[3] : “Ayat-ayat yg disebut oleh Allah sebagai ayat-ayat mutasyabihat yakni yg tdk dpt diketahui ta’wil- kecuali oleh Allah ; yg dimaksud “tdk dpt diketahui kecuali oleh Allah” hanyalah pengetahuan tentang tafsir dan maknanya. Sebagaimana ha ketika Imam Malik rahimahullah dita tentang firman Allah :
“Arti : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yg bersemayam (ber-istiwa’) di atas ‘Arsy”. [Thaha : 5].
“Bagaimana Ar-Rahman ber-istiwa’ (bersemayam) ?” Beliau menjawab : “Al-Istiwa’ telah dipahami (maknanya), sedangkan Al-Kaif (bagaimana hakikat istiwa’ [bersemayam] tdk dpt diketahui (majhul). Beriman terhadap istiwa’-Nya wajib dan berta tentang “Bagaimana (hakikat) ialah bid’ah”. Demikian pula sebelumnya, Rabi’ah dan Ibnu ‘Uyainah pun telah memberikan jawaban serupa dgn jawaban Imam Malik.
Imam Malik telah menjelaskan bahwa makna istiwa’ telah dipahami, sedangkan kaifiyah (cara istiwa-Nya) ialah majhul (tdk dpt dimengerti).
Dengan demikian kaif (hakikat) yg majhul inilah di antara arti ta’wil yg tdk dpt dimengerti melainkan oleh Allah semata. Adapun makna yg dpt dipahami (diketahui) baik istiwa maupun yg lainnya, maka itu ialah ta’wil yg bermakna tafsir yg telah dijelaskan makna oleh Allah dan Rasul-Nya.
Allah Ta’ala telah memerintahkan supaya kita menghayati Al-Qur’an dan telah memberitakan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur’an untuk dipahami. Sedangkan penghayatan serta pemahaman tdk mungkin akan bisa dilaksanakan melainkan jika si pembaca menjelaskan maksud pembicaraannya. Adapun apabila seseorang berbicara dgn lafal-lafal yg mengandung banyak makna, lalu dia menjelaskan maksudnya, tentu pembicaraan tdk mungkin bisa dipahami dan dihayati.
[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M][blog.re.or.id]
________ Foote Note. [1]. Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim [2]. Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/14-15 [3]. Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/9

1 komentar: