Wikipedia Saja Jujur dalam Menyampaikan Sejarah Wahhabi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) (bahasa Arab:محمد بن عبد الوهاب التميمى) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, namun mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".
Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb, yang memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd
al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin
Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha membangkitkan
kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung
pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada
dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi
Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti
"satu Tuhan".
Istilah
Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan
kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan
mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn
Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan
salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
Nama
Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama 'Abd
al-Wahhab iaitu bapa kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin 'Abd
al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh
para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka
sebagai golongan al-Muwahhidun(3) (unitarians) kerana mereka mendakwa
ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan
murni menurut sunnah Rasulullah. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad
bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan,
Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik sementara Ibnu
Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar
"keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun
mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya
Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
Masa Kecil
Syeikh
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di
kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi
sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar.
Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan
abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana
lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak
masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama, yang diajar
sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat bimbingan kedua
orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh
Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia
berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya
kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk
belajar ke luar daerah
Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab,
ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh
aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku
Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam
yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai
menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad
tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana.
Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di
Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
Kehidupannya di Madinah
Ketika
berada di kota Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang
tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam
Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada
kuburan dan penguhuninya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran
Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.
Hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada akidah Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah.
Belajar dan berdakwah di Basrah
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana
beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya
di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan
dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i.
Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat
tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya
beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam
untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, beliau lalu kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai
untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini
belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa
waktu, dan kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada
tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari 'Uyainah ke Huraymilah dan
dia ikut serta dengan bapanya dan belajar kepada bapanya. Tetapi beliau
masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di
Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya pertentangan dan perselisihan
yang hebat antara beliau dengan bapanya yang Ahlussunnah wal jama'ah
(serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga
ke tahun 1153H/1740M, saat bapanya meninggal dunia.
Perjuangan memurnikan aqidah Islam
Sejak
dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan
akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan
amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu dengan sikap
toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat .
Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin)
yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah
Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama
gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar.
Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan
beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Suatu
ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman
untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin
al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Amir
menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang
rancangan yang mulia ini." Tetapi Sbeliau khuatir masalah itu kelak akan
dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut.
Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut
bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab)
di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka
belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa
saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam
orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah
terlanjur beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun
mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu
kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan
Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.
Pergerakan
Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian
menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi
ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam
tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam
setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.
Ketika
pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab
mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka
kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah.
Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian
memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang
diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba
salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi
di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya,
setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di
capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah
Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz,
beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak
ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka
terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah
dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa
ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini
hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz,
Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi
ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh
Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir
Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah
setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan
politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir
Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh
Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan
dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar
dari negeri itu oleh pemerintahnya.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah.
Kehidupannya di Dir'iyyah
Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir'iyyah, yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini.
Bin Suwailim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat
setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di
rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada
awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana
Dir'iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah
Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya
datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah
dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim ingin
menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan
di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri
kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui
Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru
tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau.
Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di
rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita
yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah
isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada
suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah
kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah
telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang
mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya.
Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk
menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda
menjemputnya kemari."
Namun
baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu
dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang
menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun
kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah
ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya
baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad
bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah
baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin
Suwailim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya
baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam
dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud
berkata: "Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima
dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan
kami berjanji untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda di negeri ini
dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah
Islamiyah yang anda rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu
Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk berjuang bersama-sama
anda demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya,
sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"
Kemudian Syeikh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Taala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini,
Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya
Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini
dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir
(penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah, yang bukan hanya sekadar membela
dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan
saudara kandung sendiri, yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah
bersumpah setia sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam
menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang
diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama
Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah,
dan berjuang di jalanNya.
Nama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat,
baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di negeri-negeri tetangga.
Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke Dir'iyyah untuk
menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah penuh sesak
dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai
membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi modal utama bagi perjuangan beliau, yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.
Dalam
waktu yang singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan
mereka yang hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda,
berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal
(madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua
lapisan masyarakat. Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh
pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh
mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat
di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu,
beliau memulai di negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya
kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Berdakwah Melalui Surat-menyurat
Syeikh
menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai
dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah
melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan
pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas.
Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan
penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke
seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat
itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.
Berkat
hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan
luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau
disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya
semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di
kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Memang
cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut, tetapi
pada waktu itu kebanyakan dari mereka tidak fokus untuk membasmi syirik
dalam dakwahnya, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup
memadai.
Demikian
banyaknya surat-menyurat di antara Syeikh dengan para ulama baik di
dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga
sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan beliau, yang berupa risalah,
maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah
dicetak dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami,
maupun dari pihak kerajaan Saudi sendiri (di masa mendatang). Begitu
juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu beliau
serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya
yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan
beliau sudah tersebar luas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Dengan
demikian, jadilah Dir'iyyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum
Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid
keluaran Dir'iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke
seluruh penjuru dunia dengan membuka madrasah atau kajian umum di daerah
mereka masing-masing.
Sejarah
pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini
tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya
dan amat cemerlang.
Di
samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang
banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Hal ini terjadi karena
banyaknya perlawanan dari luar maupun dari dalam. Perlawanan dari
dalam terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan
kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Maupun dari
Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap pengaruh dakwah Ibnu Abdil
Wahhab yang telah merambah dua kota suci umat Islam, Mekkah dan
Madinah. Karenanya, demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka
mengirim pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali Basya (Gubernur
Mesir) untuk menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga akhirnya jatuh
pada tahun 1233 H.
Banyak
di antara tokoh Al Saud dan Al Syaikh (anak-cucu Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya
ibukota Dir'iyyah, bahkan sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya
adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang
merupakan pakar hadits di zamannya. Beliau dibunuh dengan cara sangat
keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah Su'udiyyah kala itu,
yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud
(cicit Muhammad bin Saud). Beliau dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah
periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah
Su'udiyyah II (1240-1309 H), dan yang terakhir ialah Daulah Su'udiyyah
III yang kemudian berganti nama menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As
Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi), yang didirikan oleh Abdul Aziz bin
Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun 1319 H
hingga kini.
Selain
mendapat perlawanan sengit dari Pihak Turki Utsmani, mereka juga
sangat dimusuhi oleh kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik dari Najran (selatan
Saudi) maupun yang lainnya. Salah satu pertempuran besar pernah
terjadi antara kaum muwahhidin dengan pasukan Hasan bin Hibatullah Al
Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah Bathiniyyah, dan peperangan
ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak muwahhidin. Bahkan Imam
Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di tangan salah seorang
syi'ah yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin, beliau ditikam
dari belakang ketika sedang mengimami salat berjama'ah.
Selain
perlawanan sengit dari mereka yang mengatasnamakan Islam, para
pengikut dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab juga dimusuhi oleh pihak
kafir. Imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum muslimin
kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syaikh
Ibnu Abdil Wahhab bagi eksistensi mereka. Sebab beliau menghidupkan
kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan
bid'ah, sedangkan Inggris justeru mempertahankan hal tersebut karena di
situlah titik kelemahan kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin
kembali kepada tauhid dan meninggalkan semua bentuk syrik dan bid'ah,
niscaya mereka akan angkat senjata melawan para penjajah. Karenanya,
Inggris memunculkan istilah 'Wahhabi' dan merekayasa berbagai kedustaan
dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut dakwah Syaikh Ibn
Abdil Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di negeri-negeri
jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta membenci
mereka.
Alhamdulillah,
masa-masa tersebut telah berlalu. Umat Islam kini lebih faham tentang
apa dan siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad
bin Abdul Wahhab (yang dijuluki Wahabi) tersebut. Satu persatu
kejahatan dan kebusukan kaum orientalis
yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam semenjak awal,
begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini terungkap.
Meskipun
usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, baik dari luar maupun dalam,
yang dilancarkan melalui pena atau ucapan demi membendung dakwah
tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang
dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat
sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga
sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat benua Afrika
sampai ke Merauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.
Untuk
mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan
kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia
mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak
menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga
lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap
dirinya dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya
pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang
para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang
lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa
kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa
yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah
dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah
Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:
"Sebenarnya
tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab
sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada
`Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu.
Diantaranya beliau menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata
dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah,
sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti
Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku
hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama
dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau
orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."
`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab,
seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah
mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah
mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal
rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang
bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak
mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab
empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah
dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti
mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid
(ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah
sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq,
juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani
mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang
kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah,
dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya,
atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat
daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka
kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti
dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki;
Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi
mazhab kami (Hambali)."
Demikianlah
bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau
berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan
maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka
membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan
Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan
kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad
Shalallahu 'alaihi wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi
Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa
tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak
mempunyai syafaat.
Dan
ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, dan Nabi tidak mengerti
makna "La ilaha illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang
berbunyi: "Fa’lam annahu La ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan
di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada
pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para
ulama mazhab, karena didalamnya bercampur antara yang hak dan batil.
Malah kami dianggap mujassimah
(menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup
sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga
dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’
Dikatakan
lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi
Shalallahu 'alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur.
Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama
sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan
kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.
Kami dituduh tidak mahu mengakui kebenaran para ahlul Bait
Radiyallahu 'anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak
kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri
yang muda untuk diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda
lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.
Maka
semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak
mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawaban, kecuali yang dapat
kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah
kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa menuduh kami
dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan
kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan
menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka
ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami,
yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari
menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada
Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.
Kami
beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti
melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar,
begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak, meskipun
berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam
(murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid
kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)
Khusus
tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat
Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa martabat beliau itu adalah
setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan Beliau itu hidup di
dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada
yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Beliau itu lebih utama
dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah Shalallahu
'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan
adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari
jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga
berziarah ke masjid Nabi dan melakukan salat di dalamnya, kemudian
berziarah ke maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang
berharga untuk membaca selawat ke atas Nabi, selawat yang datang
daripada beliau sendiri, maka ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan
akhirat."
Tantangan Dakwah dan Pemecahannya
Sebagaimana
lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran
permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar
Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas
melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang
tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru
negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya
itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi
beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi
puluhan jilid tebalnya.
Sebagian
dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan
sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini
tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis
sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu.
Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan
dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau
memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
- Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
- Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi
yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi
mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka
menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi
menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap
ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.
Namun
Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang,
sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa
memedulikan celaan orang yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
- Golongan ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
- Golongan ulama taashub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
- Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah
tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang
digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah
perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di
satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat
dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang
pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa
hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya.
Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.
Merekalah
yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab, yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung
ajarannya. Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu
dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya
oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.
Beliau
pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun
1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila
tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut,
meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya
orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan
oleh para pendukungnya.
Oleh
karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan
dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena
masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala
tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus
diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan
senjata.
Alangkah
benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang
padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat
manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan
RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat
dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat
di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para
RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan
kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka
dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum
dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan
neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi
tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Namun
semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa
ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an
al-Hadid fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan
dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan,
meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi, yang pembuatannya mesti
menggunakan unsur besi.
Sungguh
besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana
al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak
manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi
kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang
telah dimanfaatkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan
tauhidnya tiga abad yang lalu.
Orang
yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah
menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, mahupun
oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan
kejahatan, yang diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan
tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka diiring
dengan senjata.
Demikianlah
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah
memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda
mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang
demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama
lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah
akhir hayatnya pada tahun 1206 H.
Wafat
Muhammad
bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di
Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar,
berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan
Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai
usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan
dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di
Dar’iyah (Najd). Innalillah
Referensi
- (Audio Biographi Syaikhul Islam Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab -rahimahulloh) Audio Salaf
- (Inggris)Imaam Muhammad Ibn Abdul Wahhab His Life and Mission
- (Inggris)Biography of Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab
- (Inggris)Muḥammad ibn ʿAbd al-Wahhāb di Britannica.com
Sumber
ini dicopas oleh Anwar Baru Belajar dari Wikipedia pada hari Rabu
tanggal 3 Agustus 2011, tanpa merubah sedikitpun isi yang tertulis
dalam Wikipedia dan di-upload kembali pada hari dan tanggal yang sama.
Sumber aslinya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar