Menggugat Hukum Mayo
ritas
Telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan
para penentang kebenaran. Maka menjadi ironi, ketika kebenaran kemudian diukur
dengan suara mayoritas.
Apa Itu Hukum Mayoritas?
Yang dimaksud dengan
hukum mayoritas dalam pembahasan kali ini adalah suatu ketetapan hukum di mana
jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara terbanyak merupakan
keputusan yang harus diikuti meski bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
n.
Sejauh mana keabsahan
hukum mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya, perlu ditelusuri terlebih
dahulu oknum (pengusung)nya, yang dalam hal ini adalah manusia, baik tentang
hakikat dirinya, sikapnya terhadap para rasul, maupun keadaan mayoritas mereka,
menurut kacamata syariat. Dengan diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan
diketahui pula sejauh mana keabsahan hukum tersebut.
Hakikat Jati Diri Manusia
Manusia adalah
satu-satunya makhluk Allah l yang menyatakan diri siap memikul ‘amanat berat’
yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi, dan
gunung-gunung. Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjatidiri dzalum
(amat zalim) dan jahul (amat bodoh). Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin
Nashir as-Sa’di t berkata, “Allah l mengangkat permasalahan amanat yang Dia
amanatkan kepada para mukallafin (makhluk yang dibebani hukum syariat), yaitu
amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang
diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat
itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi, dan gunung-gunung sebagai
tawaran pilihan, bukan keharusan, ‘Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya
niscaya ada pahala bagimu, dan bila tidak niscaya kamu akan dihukum.’ Maka
makhluk-makhluk itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan
mengkhianatinya, bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak
butuh terhadap pahala-Nya. Kemudian Allah l tawarkan kepada manusia, maka ia pun
siap menerima amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kezaliman dan
kebodohan yang ada pada dirinya. Maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul
olehnya.” (Taisirul Karimirrahman, hlm. 620)
Allah l Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana, tidaklah
membiarkan manusia mengarungi kehidupan dengan memikul amanat berat tanpa
bimbingan Ilahi. Maka Dia pun mengutus para rasul sebagai pembimbing mereka dan
menurunkan Kitab Suci agar manusia berpegang teguh dengannya dan mengambil
petunjuk darinya. Allah l berfirman:
“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata, serta Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (al-Hadid: 25)
Sikap Manusia
terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka
Namun, demikianlah
umat manusia. Para rasul yang membimbing mereka itu justru ditentang,
didustakan, dan dihinakan. Allah l berfirman:
“Yang demikian itu dikarenakan telah datang
para rasul kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir
(menentang para rasul tersebut), maka Allah mengazab mereka. Sesungguhnya Dia
Mahakuat lagi Mahadahsyat hukuman-Nya.” (Ghafir: 22)
“Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka
sesungguhnya para rasul sebelummu pun telah didustakan (pula). Mereka membawa
mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang
sempurna.” (Ali ‘Imran: 184)
“Sebelum mereka, kaum Nuh dan
golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (rasul), dan
tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya.
Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran
dengan yang batil itu, oleh karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azab-Ku.”
(Ghafir: 5)
“Dan sungguh telah diperolok-olok beberapa
rasul sebelum kamu. Maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan para rasul itu
azab atas apa yang selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Anbiya: 41)
Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Mereka?
Bila kita merujuk
kepada Al-Qur’anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan mayoritas umat
manusia adalah:
1. Tidak beriman
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Rabbmu, tetapi mayoritas
manusia tidak beriman.” (Hud: 17)
2. Tidak bersyukur
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi
mayoritas manusia tidak bersyukur.” (al-Baqarah: 243)
3. Benci kepada kebenaran
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa
kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.”
(az-Zukhruf: 78)
4. Fasiq (keluar dari ketaatan)
Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah
orang-orang yang fasiq.” (al-Maidah: 49)
5. Lalai dari ayat-ayat Allah l
Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia
benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.” (Yunus: 92)
6. Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu
mereka
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya mayoritas (dari manusia)
benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa
ilmu.” (al-An’am: 119)
Saudariku Sampai Kapan Kau Terlena
Saudariku muslimah…
Ketahuilah, kesulitan
yang menimpa umat Islam saat ini merupakan adzab dari Allah I. Adzab tersebut
tidaklah turun kecuali disebabkan dosa-dosa para hamba, yang dengan itu
diharapkan mereka mau bertaubat kepada Rabb mereka dan mau kembali kepada-Nya.
Dalam tulisan ringkas
ini kami ingin menjelaskan sebagian sebab yang menyampaikan kita pada apa yang
kita alami sekarang ini, agar kita mengoreksi diri dan memperbaiki kesalahan.
Pertama, dosa-dosa dan kemaksiatan
Tidak diragukan lagi
bahwa dosa dan kemaksiatan termasuk sebab terbesar yang menyampaikan umat
terdahulu pada kebinasaan. Ali z berkata: “Tidaklah turun bala` (siksaan)
kecuali karena dosa, dan bala` tersebut tidak akan diangkat kecuali dengan
taubat.”
Ketika bala‘ menimpa
suatu kaum, tak ada satupun upaya yang bisa dilakukan untuk mencegahnya. Meski
ada orang-orang shalih di antara mereka, azab tetap menyeluruh. Sebagaimana
ucapan Zainab x kepada Nabi r: “Apakah kita akan dibinasakan sedangkan ada
orang-orang shalih di antara kita?”
Nabi r bersabda: “Ya,
apabila telah banyak kejelekan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7059 dan Muslim
no. 2880)
Pada umat ini pun ada
orang-orang shalih, akan tetapi banyak pula tersebar kejelekan. Oleh karena itu
hendaknya orang-orang yang memiliki akal menjauhi dosa-dosa dan kemaksiatan
agar Allah I tidak memasukkan dirinya ke dalam adzab-Nya yang pedih dan tidak
menghadapkan dirinya kepada kemurkaan Allah I.
Betapa banyak
penduduk negeri yang berada dalam keamanan dan ketenangan, mereka diberi nikmat
dengan makmurnya kehidupan kemudian Allah I membinasakan dan mengubah keadaan mereka.
Allah I ganti nikmat tersebut dengan kelaparan, rasa aman dengan ketakutan,
disebabkan dosa dan kemaksiatan.
Allah I berfirman:
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah
negeri yang dahulunya aman dan tenteram, rizki datang kepada mereka melimpah
ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah.
Karena itu Allah menimpakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan disebabkan
apa yang mereka perbuat.” (An-Nahl: 112)
Maka perhatikanlah
kelembutan sifat Allah I dan perhatikan bagaimana Allah I mengubah keadaan
mereka. Semua itu disebabkan dosa dan kemaksiatan hamba.
Kedua, lemahnya ketakwaan
Ketahuilah wahai
Saudariku, semoga Allah I merahmatimu.
Lemahnya takwa dalam
hati juga merupakan sebab yang mengantarkan kepada kebinasaan dan hilangnya
kenikmatan serta berubahnya keadaan yang paling baik menjadi yang paling buruk.
Lemahnya takwa termasuk sebab datangnya murka Allah I.
Dia yang Maha Suci
berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi.
Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami, maka Kami siksa mereka karena
perbuatan mereka itu.” (Al-A’raf: 96)
Ketiga, merajalelanya kerusakan
Merajalelanya
berbagai macam perbuatan dosa, seperti wanita menampakkan perhiasan (aurat)-nya
di depan laki-laki yang bukan mahram, bercampur baurnya laki-laki dan wanita
yang bukan mahram tanpa hijab yang syar’i, banyaknya perzinaan, ditinggalkannya
shalat dan zakat, banyaknya riba, homoseks, dan sebagainya termasuk sebab
turunnya bala‘ pada umat ini. Ketika perbuatan tersebut dilakukan
terang-terangan dalam suatu kaum dan disiarkan sampai merata di kalangan
mereka, maka dipastikan akan turun adzab. Allah I berfirman dalam Surat Ar-Rum
ayat 41:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia, agar Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari
akibat perbuatan mereka agar mereka mau kembali.”
Bila Allah I ingin
membinasakan suatu kaum, Allah I jadikan orang-orang yang paling jahat di
antara mereka bertambah kefasikan dan kerusakannya, kemudian mereka menyebarkan
kerusakan itu dan menyeru manusia untuk melakukannya. Saat itulah turun adzab,
sebagaimana firman Allah I:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu supaya menaati
Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah
sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan) Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.” (Al-Isra`: 16)
Keempat, merasa aman dari makar Allah I
Orang-orang yang
shalih selalu tunduk dalam ketaatan, bertaubat, dan khusyu’. Hati mereka
bergetar karena takut kepada Allah I dan khawatir akan adzab-Nya yang pedih.
Namun sungguh
mengherankan, ada orang yang menampakkan kemaksiatan di hadapan Allah I secara
terang-terangan. Sungguh mengherankan, ia terus-menerus melakukan dosa besar
dan kemaksiatan. Tidaklah ia meninggalkan satu dosa kecuali telah melakukan
dosa yang lain.
Sungguh mengherankan,
wanita yang keluar dalam keadaan tidak berpakaian kecuali hanya sekedar menutup
separuh badannya, kemudian ia pergi ke pasar dan menimbulkan fitnah di hati
hamba-hamba Allah I. Betapa mengherankan orang yang lalai padahal ia berada dalam
pengawasan Allah I. Bagaimana mereka semua merasa aman dari makar Allah I?
Apakah mereka belum pernah mendengar firman Allah I:
“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari
datangnya siksaan Kami pada mereka di malam hari saat mereka tidur? Atau apakah
penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari datangnya siksaan Kami di waktu
dhuha ketika mereka sedang bermain? Apakah mereka merasa aman dari adzab Allah
(yang tidak diduga-duga)? Tidaklah merasa aman dari adzab Allah kecuali
orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 97-99)
Orang-orang yang
merasa aman dari makar Allah I adalah orang-orang yang merugi, karena mereka
lengah dari adzab Allah I hingga adzab itu sampai kepada mereka dengan
tiba-tiba tanpa mereka sadari. Yang demikian itu disebabkan mereka merasa aman
dari makar Allah I. Mereka terus-menerus dalam kemaksiatan, tidak menyadari
kemurkaan Allah I hingga terjadilah apa
yang terjadi.
Wahai saudariku
muslimah…
Sepantasnya seorang muslim
yang hakiki mengetahui beberapa perkara penting berikut ini:
Pertama, hendaknya
kita berserah diri kepada Allah dan meyakini bahwa Allah I tidak akan
mendzalimi siapapun sebagaimana firman-Nya:
“Dan sekali-kali Allah tidak mendzalimi hamba-hamba-Nya.”
(Fushshilat: 46)
Sebab turunnya adzab
kepada manusia adalah akibat ulah mereka sendiri, sebagai buah dari amalan
mereka. Allah I berfirman:
“Dan Allah tidaklah mendzalimi mereka, akan tetapi diri-diri
mereka sendirilah yang dzalim.” (Ali ‘Imran: 117)
Kedua, wajib atas
setiap muslim mengetahui bahwa ujian itu datangnya dari Allah I. Firman Allah
I:
“Dan Kami akan memberi kalian cobaan dengan kejelekan dan
kebaikan sebagai ujian dan hanya kepada Kami lah kalian akan dikembalikan.”
(Al-Anbiya`: 35)
Hendaknya pula ia
mengerti bahwa Allah I menguji hamba-hamba-Nya agar dapat dibedakan siapa yang
betul-betul beriman kepada Allah I dan siapa orang-orang munafik, siapa yang
jujur dan siapa yang dusta. Hal ini adalah sunnatullah yang berlaku pada
umat-umat terdahulu.
Allah I berfirman:
“Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari
dosa mereka) dan membinasakan orang-orang kafir. Apakah kamu mengira bahwa kamu
akan masuk jannah padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di
antara kalian dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali ‘Imran: 141-142)
Ketiga, wajib bagi
kita untuk bersabar, mengharap pahala, dan memuji Allah I atas segala yang
ditakdirkan-Nya. Hendaknya kita tidak mengeluh atas takdir buruk yang menimpa
kita. Kesabaran adalah jalan paling selamat dan paling mudah untuk mendapatkan
kelapangan dari Allah I. Dia berfirman:
“Jika kalian bersabar dan bertakwa maka yang demikian itu
sungguh merupakan hal yang patut diutamakan.” (Ali ‘Imran: 186)
Keempat, marilah kita
bertaubat kepada Allah I dan memohon ampunan-Nya atas apa yang telah kita
lakukan baik itu perbuatan maksiat dan dosa-dosa ataupun kelemahan dalam
menjalankan kewajiban. Kita sadari bahwa taubat adalah satu-satunya cara
mencapai jalan keselamatan. Akankah kita sambut seruan Allah I tatkala
berfirman:
“Dan bertaubatlah kamu sekalian wahai orang-orang yang
beriman agar kalian beruntung.” (An-Nur: 31)
Ataukah kita akan
terus berada dalam kemaksiatan dan dosa dengan meninggalkan shalat, memakan
riba, dan lainnya?
Akankah para wanita
tetap bertabarruj (bersolek dan dipertontonkan di depan laki-laki bukan mahram)
dan safar (bepergian) tanpa mahram? Apakah kita ingin menunda taubat dan
melupakan firman Allah I:
“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka merekalah orang-orang
yang dzalim.” (Al-Hujurat: 11)
Wahai saudariku muslimah…
Marilah kita
bertaubat kepada Allah I dengan taubatan nashuha (yang tulus):
“Wahai Rabb kami, hilangkanlah adzab dari kami, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang beriman kepada-Mu.” (Ad-Dukhan: 12)
Mari kita kembali
kepada Allah I. Semoga Allah U meringankan bencana atas kita dan menahan
siksa-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah atas Nabi kita Muhammad
r.
(Diterjemahkan dari Ilaa
Mataa Al Ghaflah karya Abu Umar Salim Al-Ajmi’ oleh Nafisah bintu Abi Salim)
7. Tidak mengetahui agama yang lurus
Allah l berfirman:
“Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas
manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)
8. Mengikuti persangkaan belaka
Allah l berfirman:
“Mereka (mayoritas manusia) tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah l).” (al-An’am: 116)
9. Penghuni Jahannam
Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi
Jahannam mayoritas dari jin dan manusia.” (al-A’raf: 179)
Refleksi terhadap
Hukum Mayoritas
Dari apa yang telah
lalu, kita pun mengetahui bahwa ternyata oknum mayoritas tersebut (manusia)
berjati diri amat zalim dan amat bodoh. Penentangan mereka terhadap para rasul
yang membimbing mereka luar biasa. Demikian pula mayoritas mereka tidak
beriman, tidak bersyukur, benci kepada kebenaran, keluar dari ketaatan, lalai
dari ayat-ayat Allah l, menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu dan tanpa
ilmu, tidak mengetahui agama yang lurus, mengikuti persangkaan belaka, dan
penghuni Jahannam.
Demikianlah kacamata
syariat memandang oknum mayoritas. Bila demikian kenyataannya, lalu bagaimana
dengan hukum mayoritas itu sendiri?
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t menggolongkan hukum mayoritas ini
ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliah, bahkan
termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata, “Sesungguhnya di
antara kaidah terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah
mayoritas. Mereka menilai suatu kebenaran dengannya serta menilai suatu
kebatilan dengan langka dan sedikitnya orang yang melakukan….” (Masail
al-Jahiliah, masalah ke-5)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan
berkata, “Di antara karakter jahiliah, mereka menilai suatu kebenaran dengan
jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas. Sehingga
sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang
diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri
mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak
benar, karena Allah k berfirman:
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang
yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah l).” (al-An’am: 116)
Allah l juga
berfirman:
“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.”
(al-A’raf: 187)
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka
memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang
fasik.” (al-A’raf: 102)
Dan lain sebagainya.” (Syarh Masail
al-Jahiliah, hlm. 60).
Bila demikian permasalahannya,
maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat
adalah suara Tuhan”1. Suatu pernyataan sesat yang memosisikan suara rakyat
(mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan.
Mau dikemanakan firman-firman Allah l di atas?! Yang lebih tragis lagi,
orang-orang yang mengampanyekan diri sebagai “partai Islam”….., siang dan malam
berteriak “tegakkan syariat Islam!!”, namun sejak awal kampanyenya yang dibidik
adalah suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu. Ketika telah duduk di
kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata “tegakkan” sedangkan kata
“syariat Islam” tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syariat Islam,
menampakkan syi’ar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan sekian
banyak pertimbangan.
Terlebih lagi ketika
rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara terbanyak. Tak mau
tahu, suara siapakah itu… Tak mau peduli, apakah sesuai dengan syariat Islam
ataukah justru menguburnya… Tak mau pusing, apakah menguntungkan umat Islam
ataukah justru menelantarkannya. Ketika hasil sidang tersebut diprotes karena
tak selaras dengan syariat Islam, maka dia pun orang yang pertama kali
berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan, kita harus
mempunyai sikap toleran dan legowo…, kita harus menjunjung tinggi demokrasi…,
dan lain sebagainya. Padahal jika belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah
orang pertama yang menggelar demonstrasi2 dengan berbagai macam atribut dan
spanduknya. Wallahul musta’an.
Demikianlah bila
hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh dari hukum Allah
l, akan semakin buta tentang syariat Islam, bahkan akan menjadi penentang
terhadap hukum Allah l dan syariat-Nya.
Para pembaca yang
dirahmati Allah l, sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu dijadikan
refleksi, yaitu digunakannya hukum mayoritas sebagai tolok ukur suatu dakwah.
Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh
radio nusantara dan akhirnya digelari “da’i sejuta umat” maka dakwahnya pun
pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka
dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Allah l telah
berfirman tentang Nabi Nuh Alaihisalam.
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh )
kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Rasulullah n
bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ
النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ،
وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ …
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi
bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang,
dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR. al-Bukhari
no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari hadits Abdullah bin ‘Abbas c)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy-Syaikh
berkata, “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan
hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka.
Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan
As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir al-‘Azizil Hamid,
hlm.106)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin t
berkata, “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas
terkadang di atas kesesatan. Allah l berfirman:
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang
yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah l).” (al-An’am: 116)
Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk
bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula
engkau katakan, ‘Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku
bersikap eksklusif tidak sama dengan mereka?’.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit
Tauhid, 1/106)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan
berkata, “Maka tolok ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu mazhab atau
perkataan, namun tolok ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar
walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang
mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah
keselamatan. Selamanya, sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar,
pen.) karena banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolok ukur yang harus selalu
dipegangi oleh setiap muslim.”
Beliau juga berkata,
“Maka tolok ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) ataupun sedikit (minoritas),
bahkan tolok ukurnya adalah al-haq (kebenaran). Barang siapa di atas
kebenaran—walaupun sendirian—maka ia benar dan wajib diikuti. Jika mayoritas
(manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu
dengannya. Jadi tolok ukurnya adalah kebenaran. Oleh karena itu, para ulama
berkata, ‘Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan
kebenaran. Barang siapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti’.” (Syarh
Masail al-Jahiliah, hlm. 61)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh berkata, “Hendaknya
seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah
banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku
berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang
diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (yaitu mengikuti mayoritas manusia,
pen.) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah l dan
Rasul-Nya n.” (Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq [catatan kaki]
Fathul Majid, hlm. 83, no. 1)
Bagaimanakah Jika Mayoritas Berada di Atas
Kebenaran?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata,
“Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang
baik. Namun sunnatullah menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas
kebatilan.
“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman,
walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
“Dan jika engkau menuruti mayoritas
orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah.” (al-An’am: 116) [Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 62]
Penutup
Dari pembahasan yang
telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan
dari syariat Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur
kebenaran suatu dakwah, manhaj, dan perkataan. Tolok ukur yang hakiki adalah
kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman
as-Salafush Shalih.
Atas dasar ini, maka
sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil. Demikian pula
sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj, dan perkataan dengan
hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari syariat Islam.
Wallahu a’lam
bish-shawab.
1 Bahkan ini adalah kata-kata syirik, menyekutukan Allah l
dalam hal sifat-Nya (red.).
2 Demonstrasi sendiri
bukanlah dari ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar