Senin, 30 April 2012

PERNYATAAN PARA IMAM YANG 4



PERNYATAAN PARA IMAM UNTUK MENGIKUTI  AS-SUNAH  DAN MENINGGALKAN PENDAPAT MEREKA YANG BERTENTANGAN DENGAN AS-SUNAH

Termasuk hal yang berfaedah di sini , kita menyebutkan sebagian atau keseluruhan apa yang kita ketahui  dari perkataan para imam . Agar menjadi nasehat bagi orang orang yang taklid kepada mereka.  Bahkan taklid buta kepada mereka yang  derajatnya lebih  rendah  dari mereka dan memegangi mazhab dan ucapan mereka seolah olah hal itu di turunkan dari langit.Taklid semacam ini di peringatkan oleh Imam Ath-Thahawy beliu berkata” Tidak ada yang berbuat taklid melainkan seorang yang fanatik dan dungu”(hal ini di nukilkan oleh Ibnu Abidin dalam Rasmul mufti (hal 32 juz 1) dari kitab Majmu’ah Rasa’il karya beliu.) Padahal Alloh Ta’ala berfirman:
“Ikutlah kalian apa yang telah di turunkan dari sisi Rabbmu  kepada kalian , dan jangan mengikuti wali wali selainNYA .sungguh sedikit orang orang yang mau berfikir.(Qs.Al-A’raf:3)
Untuk  selanju tnya marilah kita simak pernyataan para imam tersebut:

I.AL IMAM ABU HANIFAH rohimahumulloh
        Sungguh para sahabat beliau telah meriwayatkan  ucapan yang banyak dan ungkapan yang beragam .Semua menunjukan kepada satu perkara yakni wajibnya mengambil hadist dan meninggalkan perbuatan taklid terhadap pendapat pendapat para imam yang bertentangan denganya  diantara ucapan beliau adalah :
1.       Bila suatu hadist telah shahih maka itulah pendapatku( diriwayatkan  oleh Ibnu Abidin dalam  Al-Hasyiyah (1/63) dan Rasmul Mufti(1/4)dari kitab Majmu’ah Rasa’il Ibnu Abidin)Syaikh Shaleh Al-Fulany dalam Iqodhul Himmam(hal.62)dan selain mereka.Ibnu Abidin  menukilkan  dari kitab syarhul Hidayah karya Ibnu Syahnah Al-Kabir  ucapan Syaikh Ibnul Hamammam  seuai dengan yang tersebut di dalamnya  beliu mengatakan” Bila telah shahih suatu hadist dan bertentangan dengan mazhab beliau maka harus beramal dengan hadits  dan hadits tersebut menjadi mazhab baru beliu .dan titdak dikatakan keluar dari sebutan “HANAFI” (yang bermazhab hanafi)seseorang yang mengamalkan hadist tersebut.Karena telah shahih dari beliau bahwa  beliau berkata”Bila suatu hadist telah shahih maka itulah pendapatku” . Sungguh hal itu telah dihikayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dari Abu Hanifah dan Imam Imam selain beliau.
2.       Tidak halal bagi seorangpun  untuk mengambil ucapan kami selama dia belum mengetahui dari mana kami mengambil ucapan tersebut.( diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al Intiqa fi fadha’il Ats-Tsalatsah Al Aimah Al Fuqaha (hal 145),Ibnu Qoyim dalam I’Lammul  Muwaqqqi’in(2/309),Ibnu Abidin dalam Hasyiyah beliau terhadap  Al  Bahr ar-ra’iq(6/293)dan dalam Rasmul mufti(hal.29dan23)Asy-Sya’rani dalam  Al-Mizan(1/55). DAlam riwayat lain ,”Haram bagi siapa saja  yang tidak  mengetahui  dalilku  untuk berfatwa menggunakan ucapanku” ( Asy Sya’rany  dalam Al-Mizan( 1/55)Ditambahkan dalam riwayat lain “Karena kami adalah manusia biasa,bias jadi kami mengatakan demikian  di hari ini  kemudian kami  rujuk darinya di ke esokan hari “ (dikeluarkan oleh Abas  Ad-Daury dalam tarikh li Ibni Ma’in(6/77/1) dengan sanad yang shahih dari Zufar.) Ditambahkan  dalam riwayat lain “ Celakalah engkau wahai ya’qub(yakni Abu Yusuf)janganlah engkau menulis semua perkataan yang engkau dengar dariku karena  bisa jadi aku berpendapat demikian hari ini kemudian aku meninggalkannya esok hari  dan aku berpendapat dengan pendapat lain di esok harinya,kemudian aku meninggalkannya di waktu lusa.”(pernyataan seperti ini di sebutkan dari beberapa murid beliau  seperti Zufar, Abu Yusuf ,dan Afiyah bin Yazid,sebagaimana dalam AL-Iqad (hal 52) bahkan Ibnu Qoyim  memastikan ke shahihanya dari Abu Yusuf.demikian pula tambahan pada ta’liq terhadap Al-Iqadh ,dinukil dari Ibnu Abdil Bar(hal.65)Ibnu Qoyim dan selain keduanya.
3.       “Jika aku mengatakan suatu ucapan yang bertentangan dengan kitabbulloh dan kabar dari Ar-Rasul solallohu alaihi wa salam maka tinggalkan ucapanku tersebut.(Diriwayatkan oleh Al-Fulany dalam Al-Iqadh(hal.50)beliau menisbatkan hal itu kepada Imam Ahmad juga,kemudian beliau berkata “hal ini dan yang semisalnya tidaklah pantas di tujukan kepada seorang mujtahid,karena tidak dibutuhkan ucapan mereka dalam hal semacam itu,akan tetapi hal ini di tujukan kepada orang yang taklid” ).

II.AL IMAM MALIK BIN ANAS rohimahumuloh
                 Adapun Al-Imam Malik bin Anas rohimahumulloh  beliau berkata
              1. “Aku hanyalah seorang manusia biasa,terkadang salah dan terkadang                                                                                                                                              bernar,makaPerhatikanlah pendapatku.Setiap yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunah maka    ambilah       dan setiap yang tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah(Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al’Jami(2/32,Ibnu Hazm dalam Ushul Ahkam (6/149) ,demikian Al-Fulany (hal.72).
              2.”Tidak ada seorangpun setelah Nabi solallohu alaihi wa salam kecuali bisa diambil atau di tinggalkan ucapannya , kecuali Nabi solallohu alaihi wasalam.” (penisbatan ucapan ini kepada Imam Malik telah masyhur di kalangan muta’akhirin(orang orang belakangan )di shahihkan oleh Ibnu Abdil Hady dalam Irsyadus Salik (227/1).Ibnu Abdil Bar dalam Al;Jami(2/91) dan Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam (6/145dan79)telah meriwayatkan ucapan semacam ini dari Al-Hakam bin Utaibah dan Mujahid.Taqiyudin As-Subkhi dalam Al –Fatawa(1/148)menyebutkan hal ini dari Ibnu Abas kerena kagum dengan keindahannya.Kemudian beliau berkata “Al-Imam mujahid mengambil ucapan ini dari dari Ibnu Abas kemudian Malik mengambilnya dari keduanya lalu hal itu masyhur dari beliau.
              3.”Berkata Ibnu Wahb:Aku mendengar Imam Malik ditanya tentang hukum menyela nyela jari kaki ketika wudhu, Beliau menjawab, “Hal itu tidak wajib bagi manusia “ Ibnu Wahb melanjutkan ucapannya:Maka akupun membiarkan beliau hingga orang orang di sekeliling beliau mulai  berkurang,kemudian aku berkata”Kami memiliki hadist tentang hal itu “ Imam Malik bertanya , “apa itu?” Akupun menjawab “Telah menceritakan kepada kami Al Laits bin Sa’ad,Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al Harits dari Yazid bin AmrAl-Mu’afiri dari Abu Abdurohman Al-Hubully dari Al-Mustaurid bin Syadad Al-Qurasy bahwa dia berkata “Aku pernah melihat Rosululloh solallohu alaihi wa salam menggosok antara jari jemari kakinya dengan kelingking beliau “ Lalu beliau(Imam Malik) berkata “ Hadist semacam ini berderajat hasan dan aku belum pernah mendengarnya sama sekali selain saat ini”. Kemudian aku mendengar beliau setelah itu ditanya tentang hal itu maka beliaupun memerintahkan untuk menyela nyela jari jemari tersebut.”(lihat mukhodimah Al jahru wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim(hal31-32)dan Al Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan(1/8)meriwayatkannya secara sempurna.)

III. AL-IMAM AS-SYAFI’I rohimahumulloh
         Adapun Al-Imam Asy-Syafi’I rohimahumulloh maka sungguh nukilan nukilan dari beliau lebih banyak dan lebih indah di mana pengikut beliau lebih banyak mengamalkannya dan lebih beruntung dari yang lain . diantara ucapan beliau rohimahumulloh:
1.       “Tidak ada seorangpun melainkan pasti luput darinya satu Sunah Rosululloh solallohu alaihi wa salam ,maka sering kali saya katakan suatu ucapan atau suatu kaidah akan tetapi hal itu bertentangan dengan sunah Rosululloh solallohu alaihi wa salam maka ucapan yang di sabdakan Rosululloh solallohu alaihi wa salam itulah itulah pendapatku.(Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanad yang muttashil(bersambung)sampai kepada Imam Syafi’i.Sebagaimana dalam kitab Tarikh Dimasyqi karya Ibnu Asakir(15/1/3),I’lamul Muwaqi’in(2/363-364),dan Al-Iqadh (hal.200).
2.       “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapa yang jelas baginya Sunah Rosulluloh solallohu alaihi wa salam maka tidak halal meninggalkannya hanya karena ucapan seseorang” (Diriwayatkan oleh IbnuQoyim (2/361)dan Al-Fulany (hal.68)
3.       Bila kalian mendapati dalam kitabku suatu hal yang menyelisihi Sunah Rosululloh solallohu alaihi wa salam maka berkatalah dengan sunah Rosululloh solallohu alaihi wa salam dan tinggalkanlah ucapanku!”(dalam riwayat lain di sebutkan “maka ikutilah Rosulluloh solallohu alaihi wa salam )dan jangan sekali kali kalian berpaling kepada ucapan orang lain”).(Di riwayatkan oleh Al-Harawy dalam Dzammul Kalam(3/47/1).Al-Khatib dalam Al Ihtijaj bis Syafi’i(218),Ibnu Asakir(1519/1)An-Nawawi dalam Al-Majmu(1/63)Ibnu Qoyim(2/361)dan Al-Fulany(hal100)sedangkan Riwayat lain dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah(9/107) dan Ibnu Hiban dalam Shahih Beliau(3/284-Al-Ihsan)dengan sanad shahih dari beliau semisal hal itu.
4         “ Bila telah shahih suatu hadits maka itulah Mazhabku” ( Diriwayatkan oleh An-Nawawi dalam sumber yang sama ,Asy-Sya’rany(1/57)beliau menisbatkan kepada Al-Hakim dan Al-Baihaqi,demikian pula Al-Fulany(hal.152).
5         “Engkau lebih mengetahui hadits dan rawi rawinya di banding aku,maka bila ada hadits yang shahih   beritahullah aku keberadaannya,di Kufah atau Basrah atau di Syam hingga aku akan berpendapat dengan hadist itu.bila mana hadist itu shahih.(ucapan ini di tujukan kepada Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adab Asy Syafi’i(hal94-95),Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/106)AL-khatib dalam AL-Ihtijaj bis syafi’i(hal1/8),Ibnu Asakir(15/9/1)Ibnu Abdil Bar dalam Al-Intiqo(hal.75)Ibnul Jauzi dalam Manakib Al-Imam Ahmad bin Hanbal dari bapaknya bahwasanya Imam syafi’I berkata kepadanya…hal ini shahih dari beliau.Oleh karena itulah Al-Imam Ibnu Qoyim memastikan penisbatan hal itu kepada beliau dalam kitab Al- I’lam(2/325)demikian pula Al-Fulany dalam Al-Iqadh(hal152) kemudian beliau berkata”Al-Baihaqi mengatakan “oleh karena inilah beliau-yakni Asy-Syafi’I lebih banyak mengambil hadits,bahkan beliau mengumpulkan ilmu penduduk Hijas,Syam,Yaman,dan Iraq. Beliau mengambil Hadits yang shahih menurut beliau tanpa sikap Muhaadah(berat sebelah),beliau tidak cenderung kepada apa yang di anggap boleh oleh Mazhab penduduk negerinya,bagaimanapun jelas baginya bahwa Al-haq itu ada pada selainnya,juga pada orang orang sebelum beliau yang membatasi hanya mengambil Apa yang sesuai dengan mazhab penduduk negerinya dan tidak mau bersungguh sungguh mengetahui keshahihan pendapatyang berseberangan dengannya. Semoga Alloh mengampuni kita dan mereka”.
6         “Setiap permasalahan di mana telah shahih padanya hadits dari Rosululloh solallohu alaihi wa salam menurut pakar Hadits namun bertentangan dengan ucapanku maka aku rujuk darinya di masa hidupku atau sepeninggalku nanti”.(Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah(9/107),Al-Harwy(1/47),Ibnu Qoyim dalam kitab I’lamul Muwaqi’in(2/363),dan Al-Fulany(hal140).
7         Jikalau kalian melihatku mengungkapkan suatu pendapat,sementara telah shahih hadist dari Nabi solallohu alaihi wa sallam yang bertentangan dengannya ,maka ketahuilah bahwa pendapatku tidak berguna(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam adab Asy syafi’i(hal 93)Abul Qasim As-Samarqandy dalam Al Amalysebagaimana tercantum dalam Al-Muntaqa milik Abu Hafsh Al Mauddib (1/234)dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah(9/107)serta Ibnu Asakir(15/10/1)dengan sanad yang shahih.).
8         Setiap apa yang aku ucapkan  sementara ada hadist shahih dari Nabi Solallohu alaihi wa sallam bertentangan dengan ucapanku maka hadist shahih dari Nabi solallohu alaihi wa sallam tersebut lebih layak di ikuti dan janganlah kalian taklid kepadaku(Diriwyatkan dari Ibnu Abi Hatim(hal 93) Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih.).
9         Setiap hadist yang shahih dari Nabi Solallohu alaihi wa sallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku(Diriwayatkan Oleh Ibnu Abi Hatim ( hal 93-94).

IV.AL –IMAM AHMAD BIN HANBAL  rohimahumulloh.
                 Al-Imam Ahmad bin Hanbal rohimahumulloh adalah ulama yang paling banyak mengumpulkan   (hadist) dan berpegang teguh dengan As-Sunah. Sampai sampai beliau tidak suka dengan kitab kitab yang memuat permasalahan tafri (membagi bagi agama menjadi ushul(pokok) dan furu (cabang) dan ra’yu( rasio) ( diriwaytkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al Manaqib(hal 192). Oleh karena itu beliau berkata:
1.       Janganlah engkau taklid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i ,Al-Auza’I, atau Ats-Tsaury.akan tetapi ambilah (agama ini)dari sumber  dimana mereka mengambil.(Diriwayatkan oleh Al-Fulany(133)dan Ibnu Qoyim dalam Al-I’lam(2/199)disebutkan juga dalam riwayat lain,Jangan sekali kali engkau taklid ke pada siapapun dalam perkara agama,apa saja yang datang dari Nabi solallohu alaihi wa sallam dan para sahabatnya  maka ambilah.Kemudian pada generasi tabi’in setelah itu,seseorang itu harus di seleksi terlebih dahulu(sebelum di ambil ucapannya,tergantung pada kecocokannya dengan As-Sunah-Pent).Trekadang beliau mengatakan “Ittiba” ialah seseorang itu mengikuti apa saja yang datang dari Nabi solallahu alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.Adapun yang datang dari generasi sesudah tabi’in ia harus di pilah (di teliti) terlebih dahulu.(Diriwayatkan oleh Abu Dawud,dalam Masa’il Al-Imam Ahmad(hal276 dan277).
2.       Pendapat Al-Auza’I, begitu pula Malik, dan Abu Hanifah seluruhnya hanya pendapat  dan sama nileinya disisiku.Sedangkan hujah itu terdapat pada atsar.(Diriwayatkan oleh Ibnu AbdilBarr dalam  Al-Jami(2/199).
3.       Barang siapa menolak hadist Rosululloh solallohu alaihi wa  sallam,maka dia berada  ditepi jurang kehancuran(Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzy(hal182).
Demikianlah ucapan- ucapan para imam semoga Alloh Ta’ala meridhoi mereka yang memerintahkan berpegng teguh pada hadist dan melarang perbuatan taklid kepda mereka tanpa dilandasi ilmu.Di mana halitu jelas dalam penjabarannya  tanpa perlu di perdebatkan atau di takwil(dijelaskan maknanya)lagi.Barang siapa yang berpegang teguh dengan hadist yang tsabit dalam As-Sunah walaupun bertentangan dengan pendapat sebagian Imam tidaklah ia bertentangan dengan mazhab mereka bahkan ia telah mengikuti mereka  dan berpegang teguh pada tali Alloh yang kokoh yang tidak pernah putus . Berbeda dengan orang yang meninggalkan As-Sunah yang shahih hanya semata mata karena bertentangan dengan ucapan imam mereka ,karena pada hakekatnya ia telah mendurhakai mereka dan menyelisihi ucapan ucapan imam mereka sebagaimana yang telah disebutkan . Padahal Alloh ta’ala telah berfirman: “ Maka sungguh demi Robbmu. Tidaklah mereka beriman hingga mereka menjadikanmu (Nabi)sebagai hakim dalam perkara yang mereka  perselisihkan,kemudian mereka t tidak merasa keberatan dalam hati mereka ,dan mereka menerima dengan sepenuhnya”(Qs.An-Nisa:65)  
                                                                                                                                                                                  
Dinukil dari Sifat Sholat Nabi Solallohu alaihi wa sallam Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (terbitan Ash-Shaf) Oleh : Abu Dawud maryanto

Minggu, 22 April 2012

Lafadz “SAYYIDUNA” Dalam Sholat, Bermasalahkah?

Lafadz “SAYYIDUNA” Dalam Sholat, Bermasalahkah?

Beradab kepada Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam merupakan kewajiban kita. Tidak ada seorang muslim pun yang memiliki keimanan mempermasalahkan hal itu. Namun, bagaimana wujud adab kepada Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang ilmiah. Bagaimana dengan perkataan sayyiduna dalam sholawat ketika sholat. Apakah sebaiknya kita mengucapkannya dengan alasan adab kepada Nabi, ataukah tidak mengucapkan karena hal juga merupakan petunjuk Nabi? Inilah yang akan menjadi pokok bahasan kita kali ini. Selamat mengikuti.
TEKS HADITS
لاَ تُسَيِّدُوْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Janganlah kalian menjadikan aku sayyid dalam sholat.”
Bahwa hadits diatas TIDAK ADA ASALNYA. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama ahli hadits. Al-Hafizh as-Sakhowi menegaskan: “Tidak ada asalnya”[1] Dan disetujui murid beliau Abdurrohman bin Ali asy-Syaibani[2], al-Qori [3] dan lain sebagainya.
Selain hadits ini adalah dusta dan tidak ada asalnya, ditinjau dari segi bahasa Arab, dalam lafadz hadits ini terdapat kejanggalan sebab secara kaidah bahasa seharusnya‭ ( لاَ‮ ‬تُسَوّدُوْنِيْ‭ ) dengan wawu karena fi’ilnya adalah wawi ‭( ‮ ‬سَادَ-‮  ‬يَسُوْدُ‭)
Seorang penyair berkata:
وَمَا سَوَّدَتْنِيْ عَامِرٌ عَنْ وَرَاثَةٍ         أَبَى اللهًُ أَنْ أَسْمُوَ بِأُمٍّ وَلاَ أَبٍ
Tidaklah Amir memuliakanku karena warisan.
Alloh enggan kalau aku mulia dengan ibu atau bapak.[4]
An-Naji dalam Kanzu al-Afah mengatakan: “Adapun nukilan dari Sayyid Waro (Nabi) bahwa beliau bersabda:
‘Janganlah kalian mengatakan aku sayyid dalam sholat’, maka ini adalah kedustaan dan kepalsuan. Orang awam yang sering membawakan hadits ini pun salah dalam mengucapkan. Mereka mengatakan  لاَ‮ ‬تُسَيِّدُوْنِيْ‭ ‬  dengan ya‭’‬,‭ ‬padahal yang benar adalah dengan wawu‭”‬.[5]
ROSULULLOH shalallahu ‘alayhi wasallam ADALAH SAYYIDUNA
Makna sayyid adalah seorang yang utama, mulia, agung, berkedudukan tinggi, pemimpin umat, dan lain sebagainya dari kebaikan dan keutamaan. [6]
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam adalah sayyid anak Adam. Beliau shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ‭ ‬وَلاَ‮ ‬فَخَرَ
“Saya adalah sayyid anak Adam dan tidak sombong.[7]
Imam al-Izzu bin Abdussalam berkata: “Sayyid adalah seorang yang memiliki sifat dan akhlak yang indah. Hal ini menunjukkan bahwa beliau manusia yang paling utama di dunia dan akhirat. Adapun di dunia karena beliau memiliki akhlak-akhlak yang agung sedangkan di akhirat karena balasan atau pahala bergantung pada akhlak. Kalau Alloh subhanahu wa ta’aala melebihkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam dari segenap manusia pada sisi akhlak, maka kelak Alloh subhanahu wa ta’aala melebihkan beliau derajatnya di akhirat.
Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam mengatakan hadits ini agar umatnya mengetahui kedudukan beliau di sisi Robbnya. Dan karena penyebutan kebaikan itu biasanya menjadikan kesombongan, maka Nabi menepis anggapan yang muncul dari orang jahil tersebut.” [8]
Bila ada yang bertanya: “Lantas bagaimana dengan teks hadits” :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ قَالَ أَبِى انْطَلَقْتُ فِى وَفْدِ بَنِى عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا. فَقَالَ « السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ». قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طَوْلاً. فَقَالَ « قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ‏‭
Dari Muthorrif berkata: Ayahku mengatakan: Saya pernah pergi ke rombongan Bani Amir kepada Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam, lalu kami mengatakan: Kamu adalah : Sayyiduna, maka Nabi bersabda: As-Sayyid adalah Alloh[9]. Ini menunjukkan bahwa As-Sayyid merupakan salah satu nama Alloh ‘azza wa jalla. Kami mengatakan: Kamu adalah orang yang paling mulia dan agung di antara kami, maka beliau bersabda: Katakanlah dengan ucapan kalian atau sebagian ucapan kalian tetapi janganlah Setan menggelincirkan kalian.” (HR. Abu Dawud 4808)
Dzohir hadits ini tidak melarang kita mengatakan Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna. Bukankah sekilas ada pertentangan antara dua hadits di atas?
Masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Pendapat yang kuat menurut kami bahwa boleh mengatakan Sayyid kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam atau selainnya[10]. Adapun hadits ini, tidaklah menunjukkan larangan mengatakan Nabi shallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna, bahkan beliau mengizinkan dengan ucapannya “Katakanlah dengan ucapan kalian”. Yang dilarang oleh Nabi shallahu ‘alayhi wasallam adalah kalau setan menggelincirkan mereka yang berujung kepada sikap ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Nabi shallahu ‘alayhi wasallam dan mengangkat beliau dari derajat yang telah ditetapkan oleh Alloh subhanahu wa ta’aala.[11]
LAFADZ DZIKIR ADALAH TAUQIFIYYAH
Dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktu dan tempatnya bersifat tauqifiyyah (paten). Tidak boleh seseorang menambah, mengurangi atau merubah lafadznya walaupun maknanya shohih[12]. Untuk lebih memahami kaidah ini, perhatikan hadits berikut; Baro’ bin Azib berkata:
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam pernah berkata kepadaku: ‘Apabila engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhumu untuk sholat. Kemudian berbaringlah ke sisi kanan serta bacalah do’a: ‘Ya Alloh aku berserah diri kepada-Mu, aku serahkan segala urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu, karena mengharap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat bersandar dan tempat menyelamatkan kecuali kepada-Mu. Ya Alloh aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan aku beriman kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus’. Maka jika engkau meninggal pada malam harinya sungguh engkau meninggal dalam keadaan fitroh dan jadikanlah do’a tersebut akhir yang engkau ucapkan. Aku mencoba untuk mengingat-ingatnya kembali dan aku katakan: ‘rosul-Mu yang telah Engkau utus’. Nabi berkata: ‘Salah, tapi katakanlah dan nabi-Mu yang telah Engkau utus’.” (HR. Bukhori 247, Muslim 2710).[13]
Ibnu Bathol rahimahulloh berkata: “Lafadz-lafadz itu tidak boleh diganti karena telah keluar dari taman hikmah dan jawami’ul kalim (kalimat singkat tapi padat). Seandainya ucapan Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam boleh dirubah dengan ucapan lainnya niscaya akan hilang faedah kehebatan bahasa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam.” [14]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata: “Hikmah yang paling tepat mengapa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam menyalahkan ucapan ‘rosul’ sebagai ganti dari ‘nabi’ adalah bahwa lafadz-lafadz dzikir adalah tauqifiyyah. Ada kekhususan yang tidak boleh dengan qiyas. Wajib untuk menjaga lafadz yang syar’i.”[15]
Imam al-Albani rahimahulloh mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat peringatan yang sangat tegas, bahwa wirid-wirid dan dzikir adalah tauqifiyyah. Tidak boleh dirubah, baik dengan menambah, mengurangi atau merubah lafadz yang tidak merubah arti. Karena lafadz ‘rosul’ lebih umum dari ‘nabi’, tetapi Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam tetap menyalahkannya”. [16]
Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “Termasuk kesalahan besar sebagian manusia adalah menjadikan dzikir-dzikir yang bukan dari Nabi sekalipun berasal dari tokoh mereka sendiri, lalu meninggalkan dzikir-dzikir dari Nabi Sayyid anak Adam dan Imam makhluk serta hujjah atas seluruh hamba”.[17]
Ibnu ‘Allan rahimahulloh mengatakan: “Tidak boleh seorang pun berpaling dari lafadz do’a Nabi. Dalam hal ini setan telah menggelincirkan manusia, sehingga ada suatu kaum yang membuat-buat lafadz do’a yang memalingkan dari petunjuk Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Maka waspadalah, janganlah kalian menyibukkan dengan hadits kecuali yang shohih saja.”[18]
BOLEHKAH MENAMBAH SAYYIDUNA DALAM SHOLAT?
Al-Munawi rahimahulloh berkata:
“Adapun menyebut Sayyidina dalam sholawat, maka hal ini dijelaskan oleh Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam tatkala para sahabat bertanya kepada beliau tentang tata caranya, lalu beliau shalallahu ‘alayhi wasallam menjawab: ‘Katakanlah Allohumma sholli ‘ala Muhammad’ tanpa menyebut sayyidina.”
Oleh karenanya, Ibnu Abdissalam ragu-ragu. Apakah yang lebih utama adalah menyebut sayyidina sebagai bentuk adab kepada Nabi atau tidak menyebut sayyidina karena mengikuti dalil yang ada.
Sebagian mereka menguatkan pendapat yang kedua yaitu mencukupkan dengan lafadz yang ada, tanpa menambahinya. Sebagian lagi merinci, apabila dalam lafadz sholawat yang sudah ada contohnya tidak boleh ditambahi, apabila membuat sholawat sendiri tanpa lafadz yang sudah ada contohnya maka boleh menambahinya.[19]
Syaikh al-Albani rahimahulloh berkata: “Pembaca memperhatikan bahwa tidak ada satu pun lafadz tambahan Sayyid pada hadits-hadits sholawat ketika sholat. Oleh karenanya, para ulama belakangan berselisih apakah tambahan tersebut disyari’atkan dalam sholawat Ibrohimiyyah[20]
Saya akan nukilkan fatwa penting dari al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani karena beliau adalah termasuk ulama Syafi’i yang ahli di bidang hadits dan fiqih.
Al-Hafidz Muhammad bin Muhammad al-Ghorobili (796-835) (murid imam Syafi’i ) berkata[21]: “Beliau (Ibnu Hajar) ditanya tentang sifat sholawat kepada Nabi dalam sholat atau di luar sholat. Apakah disyaratkan mengucapkan sayyidina ataukah tidak dan manakah yang lebih utama? Beliau menjawab: “Mengikuti atsar-atsar yang datang adalah lebih utama, jangan dikatakan: Barangkali Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam meninggalkan hal itu karena sikap tawadhu’ beliau. Karena kita katakan bahwa seandainya hal itu disunnahkan niscaya hal itu akan dinukil dari para sahabat dan tabi’in, dan kami tidak mendapatkannya atsar dari sahabat dan tabi’in tentang hal itu.
Demikianlah pendapat al-Imam asy-Syafi’i  –Semoga Alloh meninggikan derajatnya– dan ia adalah orang yang lebih mengagungkan Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Di dalam khotbahnya yang termuat di kitab al-Umm dan merupakan pegangan utama pengikut madzhabnya, beliau berkata:
Allohumma Sholli ‘ala Muhammad …” dan tidak berkata “Allohumma Sholli ‘ala sayyidinaa Muhammad …” Al-Qodhi Iyadh membuat suatu bab tentang sholawat kepada Nabi dalam kitabnya asy-Syifa’. Beliau menyebutkan atsar-atsar yang banyak sekali dari sahabat dan tabi’in, tetapi tidak ada satupun tambahan ‘sayyidina’.
Masalah ini telah masyhur dalam fiqih. Namun seandainya hal itu sunnah niscaya tidak akan samar dan tidak dilalaikan oleh mereka semua, dan kebaikan itu adalah dalam ittiba’. Wallahu A’lam”.
Apa yang difatwakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh adalah kebenaran yang harus dipegang. Oleh karena itu Imam Nawawi rahimahulloh berkata dalam ar-Rodhoh 1/265:
“Lafadz sholawat yang paling utama adalah: Allohumma Sholli ‘Ala Muhammad…tanpa menyebutkan sayyiduna.”
Kita yakin bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam adalah Sayyiduna, tetapi yang menjadi pembahasan adalah bolehkan menambahi lafadz dalam sholawat yang tidak ada contohnya? Seandainya tambahan itu termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Alloh subhanahu wa ta’aala, tentu akan disampaikan oleh Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam dan para salaf.
Kita mengetahui bahwa Salafush Sholih dari kalangan sahabat dan tabi’in tidaklah beribadah kepada Alloh subhanahu wa ta’aala dengan mengucapkan ‘Sayyidina’ di dalam sholat. Padahal mereka pasti lebih menghormati Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam daripada kita, dan lebih mencintainya[22]. Dan perbedaan antara mereka dan kita bahwa kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam adalah benar-benar dipraktikkan dengan ittiba’ kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam.”[23]
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
(www.abiubaidah.com)
__________________________________________________________________
[1] Al-Maqoshidul Hasanah hlm. 529.
[2] Tamyiz Thoyyib Minal Khobits hlm. 191.
[3] Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Hadits Maudhu’ hlm. 206.
[4] Raddul Muhtar 2/224 oleh Ibnu Abidin.
[5] Kasyful Khofa’ 2/476 oleh al-‘Ajluni.
[6] Lihat Al-Mufhim 6/48 oleh al-Qurthubi dan Al-Yawaqit wa Duror 1/198 oleh al-Munawi.
[7] HR. Muslim 1/2176.
[8] Bidayatus Su’ul fii Tafdhil Rosul hlm. 34, Tahqiq al-Albani
[9] Ini menunjukkan bahwa As-Sayyid merupakan salah satu nama Alloh q\. (Lihat Fiqhul Asma Husna hlm. 311 oleh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, An-Nahjul Asma 3/143 oleh Muhammad Hamud an-Najdi).
[10] Ada perbedaan tentang bolehnya mengatakan sayyid kepada selain Nabi n\, seperti kepada tokoh, alim dan lainnya. Pendapat yang benar adalah boleh berdasarkan dalil-dalil yang banyak. (Lihat Al-‘Urfu An-Nadi oleh asy-Syaukani, Bada’iul Fawaid 3/213 oleh Ibnu Qoyyim) dan Mu’jam al-Manahi Lafdziyyah hlm. 306-307 oleh Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid). Namun tidak boleh mengatakan sayyid kepada orang kafir, munafiq dan ahli bid’ah karena itu termasuk penghormatan kepada mereka. (Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah Min Ahli Bida’ wal Ahwa 2/570 oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili). Termasuk juga mengatakan kepada orang kafir dengan Mr, ini tidak boleh. (Lihat Mu’jam al-Manahi Lafdziyyah hlm. 287oleh Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid dan Fatawa Nur Ala Darb 1/414 oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz).
[11] Al-‘Urfu An-Nadi fii Jawaz Ithlaq Lafdzi Sayyidi –Fathur Robbani- 11/5649 oleh asy-Syaukani dan Al-Qoulul Mufid 2/515 oleh Ibnu Utsaimin.
[12] Lihat penjelasan lebih luas tentang kaidah berharga ini dalam Tashih Dua’ hlm. 41-42 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dan Ahkamul Adzkar hlm. 7 oleh Zakariyya Ghulam al-Bakistani.
[13] Lihat faedah-faedah berharga hadits ini dalam kitab Min Kulli Surotin Faedah hlm. 55-62 oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Romadhani.
[14] Syarh Shohih Bukhori 1/365.
[15] Fathul Bari 11/114.
[16] Shohih at-Targhib wat Tarhib 1/388.
[17] Majmu’ Fatawa 22/525.
[18] Syarh al-Adzkar 1/17.
[19] Al-Yawaqit wa Duror 1/199-200.
[20] Para ahli fikih Madzhab Hanafiyyah dan Syafi’iyyah belakangan berpendapat bahwa tambahan sayyidina dalam sholat adalah sunnah dengan alasan adab kepada Nabi. (Lihat Raddul Muhtar 2/224 oleh Ibnu Abidin, Hasyiyah al-Bajuri 1/156, Argumentasi Ulama Syafi’iyyah hlm. 208 oleh Ust. Mujiburrahman).
[21] Dalam sebuah manuskrip di Maktabah Dhohiriyyah. Fatwa ini juga dinukil oleh Syaikh Jamaluddin al-Qosimi dalam al-Fashlul Mubin ‘ala Aqdi al-Jauhar Tsamin hlm. 70 sebagaimana dalam al-Qoulul Mubin fi Akhto’il Mushollin hlm. 154 oleh Syaikhuna Masyhur Hasan Salman rahimahulloh.
[22] Inilah hakekat cinta kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang sebenarnya, yaitu dengan ittiba’ (mengikuti sunnah beliau) dan tunduk terhadap petunjuk beliau, bukan hanya sekadar dengan pengakuan belaka.
[23] Dinukil secara ringkas dari Ashl Shifat Sholat Nabi  3/938-944 oleh al-Albani. Lihat pula Ittihaf Anam Bima Yata’allaqu bis Sholati was Salam Ala Khoiril Anam hlm. 55-57 oleh Ahmad bin Abdillah as-Sulami.

Kemungkaran-Kemungkaran Dalam Perayaan Maulid Nabi

Kemungkaran-Kemungkaran Dalam Perayaan Maulid Nabi

Perayaan peringatan maulid ini bermacam-macam bentuknya. Ada yang hanya sekadar berkumpul dan membacakan kisah maulid (kelahiran) Nabi n\, qosidah, dan ceramah agama. Ada yang membuat makanan serta sejenisnya untuk para hadirin. Ada yang merayakannya di masjid, langgar (surau), dan ada yang di rumah.
Kemungkaran-Kemungkaran Dalam Perayaan Maulid NabiDan ada juga yang tak cukup hanya demikian, mereka meramaikan perayaan maulid ini dengan dibumbui keharaman dan kemungkaran. Seperti, ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, joget, dan menyanyi, bahkan syirik — semisal meminta pertolongan kepada Nabi n\.[1] Hukum perayaan seperti ini lebih besar dosanya dari jenis pertama di atas. Bahkan hal ini diingkari secara keras oleh tokoh pendiri organisasi Islam besar di Indonesia, Muhammad Hasyim Asy’ari al-Jombangi, yang juga pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng. Dia berkata dalam kitabnya, al-Tanbihat al-Wajibat li Man Yashna’ Maulid Bi al-Munkarot (Beberapa Peringatan Wajib untuk Orang yang Berbuat Kemungkaran Dalam Maulid) hlm. 17–18. Berikut kami nukil nash perkataannya, dan terjemahan dari kami:
عَمَلُ الْمَوْلِدِ عَلَى الْوَصْفِ الَّذِيْ وَصَفْتُهُ أَوَّلاً حَرَامٌ, لاَ يَخْتَلِفُ فِيْ حُرْمَتِهِ اثْنَانِ, وَلاَ يَنْتَطِحُ فِيْ مَنْعِهِ عَنْزَانِ, وَلاَ يَسْتَحْسِنُهُ ذَوُوْالْمُرُوْءَةِ وَالإِيْمَانِ, وَإِنَّمَا يَرْغَبُ فِيْهِ مَنْ طُمِسَتْ بَصِيْرَتُهُ, وَاشْتَدَّتْ فِيْ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ رَغْبَتُهُ, وَلاَ يَخَافُ فِيْ الْمَعَاصِيْ لَوْمَةَ لاَئِمٍ, وَلاَ يُبَالِيْ أَنَّهُ مِنَ الْعَظَائِمِ, وَكَذَا التَّفَرُّجُ عَلَيْهِ وَالْحُضُوْرُ فِيْه,ِ وَإِعْطَاءُ الْمَالِ لِأَجْلِهِ, فَإِنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ حَرَامٌ شَدِيْدُ التَّحْرِيْمِ لِمَا فِيْهِ مِنَ الْمَفَاسِدِ الَّتِيْ سَتُذْكَرُ إِنْشَاءَ اللهُ فِيْ آخِرِ التَّنْبِيْهَاتِ
“Perayaan maulid seperti yang saya sifatkan pertama kali (dibumbui maksiat) hukumnya haram, tidak ada perselisihan antara dua orang akan keharamannya dan tidak ada dua tanduk yang bertabrakan tentang terlarangnya (maulid), tidak dianggap baik oleh orang yang mempunyai sifat takut dan iman. Akan tetapi, yang menyenanginya hanyalah orang yang dibutakan matanya dan sangat bernafsu terhadap makan dan minum serta tidak takut maksiat kepada siapa pun dan tidak peduli dengan dosa apa pun. Demikian pula menontonnya, menghadiri undangannya, dan menyumbang harta untuk perayaan tersebut. Semua itu hukumnya haram dan sangat haram karena mengandung beberapa kemungkaran, yang akan kami sebutkan di akhir kitab.”
Setelah itu, al-Ustadz Hasyim Asy’ari menjelaskan kemungkaran-kemungkaran yang biasa dilakukan oleh sebagian orang dalam perayaan maulid Nabi n\ pada halaman 38–46:

PERTAMA: Musik dan Permainan Sejenis Judi

Ustadz Hasyim Asy’ari mengisyaratkan hal ini pada hlm. 8–10 sebagai berikut:
“Pada malam Senin tanggal 25 Rob’iul Awal tahun 1355 H saya melihat sebagian santri pondok pesantren agama mengadakan perayaan maulid dengan menghadirkan alat-alat musik kemudian membaca sedikit ayat al-Qur’an serta kisah kelahiran Nabi n\. Kemudian setelah itu, mereka mulai mengerjakan kemungkaran seperti pencak (jenis beladiri silat) dengan menabuh gendang. Semua itu dilakukan di hadapan para wanita yang bukan mahrom. Demikian pula musik, permainan sejenis judi (baca: domino), campur baur laki-laki perempuan, joget dan tenggelam dalam hal yang sia-sia, tertawa, dan mengeraskan suara di masjid dan sekelilingnya. Melihat semua itu saya pun mengingkari mereka dari kemungkaran-kemungkaran tersebut. Lalu mereka pun bubar.
Tatkala perkaranya seperti yang saya gambarkan tadi, dan saya khawatir kejadian menjijikkan ini akan bertambah menyebar ke tempat lainnya atau akan ditambah lagi oleh orang-orang awam dengan kemaksiatan lainnya, maka saya tulislah buku ini sebagai nasihat dan petunjuk kepada kaum muslimin.” [2]

KEDUA: Pemborosan

Yaitu mengeluarkan harta untuk mendukung keharaman. Misalkan untuk zina, minum khamar, atau maulid yang dibumbui maksiat. Alloh e\ berfirman:
إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَ‌ٰنَ ٱلشَّيَـٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًۭا ﴿٢٧﴾
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Robbnya. (QS. al-Isro’ [17]: 27)
Mengeluarkan harta untuk perayaan tersebut hukumnya haram karena sama dengan membantu maksiat. Haram pula menonton dan menghadiri undangannya. Sebab, kaidahnya, setiap hal yang haram hukumnya maka haram pula menonton dan menghadirinya.

KETIGA: Terang-Terangan Dalam Maksiat.

Padahal Rosululloh n\ bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافَى إِلاَّ الْمُجَاهِرُوْنَ
“Setiap umatku diampuni, kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat.” [3]
Ibnu Baththol v\ berkata, “Hadits ini menjelaskan tentang tercelanya orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Sebab terang-terangan dalam bermaksiat termasuk pelecehan terhadap hak Alloh e\ dan rosul-Nya serta orang-orang sholih dari kaum muslimin.” [4]

KEEMPAT: Bersifat Nifak

Karena ia menampakkan sesuatu yang sesungguhnya di hatinya tidak ada. Artinya, dengan maulid Nabi tersebut ia menampakkan rasa cinta dan memuliakan Nabi Muhammad n\. Padahal hatinya penuh dengan maksiat.

KELIMA: Sebab Kehancuran Agama

Apabila para santri melakukan hal ini, kemudian seseorang yang alim (baca: kiai) diam tak mengingkari, maka ini menyebabkan orang-orang awam akan menyangka bolehnya bahkan kebaikan hal itu dalam syari’at. Akhirnya, perbuatan tersebut akan menyebabkan hilangnya syari’at dan tumbuhnya kebatilan. Padahal semua itu dilarang dalam syari’at. Sebab itu, haram bagi seorang alim untuk diam dari perbuatan tersebut (maulid) karena menyebabkan orang-orang awam berkeyakinan akan bolehnya sesuatu yang menyelisihi syari’at.

KEENAM: Termasuk Jenis Penghinaan Kepada Rosululloh n\

Sebab, penghinaan tidak hanya dengan perkataan, tetapi bisa juga dengan perbuatan. Alloh e\ berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًۭا مُّهِينًۭا ﴿٥٧﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Alloh dan Rosul-Nya, Alloh akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. (QS. al-Ahzab [33]: 57)
Imam al-Bukhori meriwayatkan dari Anas dan Abu Huroiroh d\ dari Rosululloh n\ bahwa sesungguhnya Alloh e\ berfirman:
مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya.” (HR. al-Bukhori: 6502 dengan sanad dho’if, tetapi hadits ini shohih dengan berbagai jalannya, lihat Fath al-Bari: 13/143 dan Silsilah Shohihah no. 1640)
Sementara itu, tidak diragukan lagi bahwa Nabi n\ adalah tuan (penghulu)nya para wali sebagaimana dalam hadits di atas. Oleh sebab itu, dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa maulid Nabi n\ yang dibumbui maksiat[5]  termasuk penghinaan kepada Nabi n\ dan orang-orang yang merayakannya sungguh dalam dosa besar, amat dekat kepada kekufuran dan dikhawatirkan mati dalam keadaan su’ul khotimah. Tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali taubat dan kemurahan Alloh e\. Dan apabila dengan maulid tersebut mereka memaksudkan penghinaan kepada Nabi n\, maka tidak ragu lagi bahwa dia telah kufur. Alloh e\ berfirman:
فَلْيَحْذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٦٣﴾
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. (QS. an-Nur [24]: 63)
Maka wajib bagi pemerintah kaum muslimin dan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk menegakkan fondasi agama dan memberantas syubhat-syubhat para penyeleweng agar mengingkari dan menghukum mereka dengan hukuman yang keras agar mereka berhenti dari perilaku jelek dan keji ini — yang hampir saja mengeluarkan seseorang dari keimanannya.[6]
Demikianlah perkataan Ustadz Hasyim Asy’ari. Lalu, adakah mereka yang memahami dan mengikutinya?!!

KETUJUH: Keyakinan Bahwa Nabi n\ Atau Rohnya Datang

Termasuk kemungkaran dalam acara perayaan maulid ini juga adalah keyakinan bahwa Nabi Muhammad atau ruhnya hadir dalam acara maulid, sehingga saat disebut namanya, para hadirin berdiri untuk menghormatinya, bahkan barangsiapa yang tidak berdiri dianggap sebagai orang yang meremehkan Nabi dan bisa menjadi kafir!!
Keyakinan ini adalah batil sekali, karena beberapa hal:
  1. Keyakinan ini membutuhkan dalil yang shohih dan jelas, karena Nabi n\ tidak keluar dari kuburnya sebelum hari kiamat. Beliau tidak menghadiri perkumpulan mereka, bahkan beliau berada di kuburnya dan rohnya di sisi Alloh dalam kemuliaan.
  2. Seorang yang tidak berdiri belum tentu meremehkan Nabi n\ karena bisa jadi dia malas padahal dia mencintai Nabi n\. Atau, dia tidak berdiri karena ada larangan dari Nabi n\ dan mengikuti perbuatan salaf sholih yang tidak berdiri kepada Nabi n\ padahal mereka sangat mencintai Nabi n\. Mereka tahu bahwa Nabi n\ membenci hal itu karena perbuatan tersebut menyerupai nonmuslim.
  3. Berdiri untuk menghormati Nabi n\ bukanlah bentuk pengagungan kepadanya karena Nabi n\ melarang perbuatan tersebut, sedangkan pengagungan kepadanya harus sesuai dengan syari’atnya.
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barang siapa yang senang dihormati manusia dengan cara berdiri untuknya, maka hendaklah ia mengambil tempat di neraka.” [7]
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ
Dari Anas a\ berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat dibandingkan Rosululloh n\, mereka apabila melihat beliau tidak berdiri untuk beliau karena mereka tahu bahwa Nabi n\ membenci hal itu.” [8]
Syaikh Mahmud Muhammad Khoththob as-Subki v\ berkata, “Hendaknya diketahui bahwa berdiri ketika disebut kelahiran Nabi n\ adalah perkara yang bid’ah. Telah salah orang yang menganggapnya baik, karena dia lupa dengan nash yang jelas. Alasan bahwa hal itu sebagai pengagungan dan kegembiraan adalah alasan yang tertolak, karena suatu hukum tidaklah ditetapkan kecuali dengan syari’at yang datang dari Robbul’alamin.” [9]
Para ulama telah menulis secara khusus masalah ini, seperti Muhammad al-Hajawi ats-Tsa’alibi dalam kitabnya Shofa’ al-Maurid Fi Adami Qiyam ’Inda Sama’ al-Maulid, Muhammad Abid bin Saudah menulis Musamarot al-A’lam wa Tanbih al-Awm Bi Karohati al-Qiyam li Dzikri Maulid Khoiri al-Anam, dan sebagainya.[10]

KEDELAPAN: Sponsor Hadits-Hadits Lemah dan Palsu

Di antara kemungkaran perayaan maulid seringnya terlontar dari mereka hadits-hadits dusta, padahal hal itu termasuk dosa besar dengan kesepakatan ulama.
Berikut tiga contoh hadits yang sering muncul dalam acara-acara maulid berserta keterangannya agar kita mewaspadainya:

1.         Perayaan maulid Nabi

مَنْ أَقَامَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِيْ مَوْلِدِيْ فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جَبَلاً مِنَ الذَّهَبِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Barang siapa yang merayakan maulid (hari kelahiran)ku, maka aku akan menjadi pemberi syafa’atnya di hari kiamat. Dan barang siapa yang menginfakkan satu dirham untuk maulidku maka seakan-akan dia telah menginfakkan satu gunung emas di jalan Alloh.”
Perkataan serupa juga dinisbatkan kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Tholib, sebagaimana dalam kitab Madarij al-Shu’udh hlm. 15 kar. Syaikh Nawawi Banten.[11]
TIDAK ADA ASALNYA. Sejak awal mendengar ucapan yang dianggap hadits ini, hati penulis langsung mengingkarinya karena bagaimana mungkin hadits ini shohih, sedangkan maulid tidak pernah dicontohkan oleh Rosululloh n\ dan para sahabatnya?!! Akan tetapi, penulis ingin memperkuat pendapatnya dengan perkataan ulama. Sebab itu, penulis pun membolak-balik kitab-kitab hadits, tetapi tidak menjumpainya satu huruf pun, baik dalam kitab-kitab hadits yang shohih, dho’if, maupun maudhu’ (palsu). Alhamdulillah, pada suatu kesempatan penulis menanyakannya kepada Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman[12] lalu beliau menjawab:
هَذَا كَذِبٌ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ اخْتَلَقَهُ الْمُبْتَدِعَةُ
“Ini merupakan kedustaan kepada Rosululloh n\ yang hanya dibuat-buat oleh para ahlulbid’ah.”
Kepada para saudara kami yang berhujjah dengan hadits ini, kami katakan, “Dengan tidak mengurangi penghormatan kami, datangkan kepada kami sanad hadits ini agar kami mengetahuinya!!”

2.         Hikmah penciptaan makhluk

لَوْلاَكَ لَمَا خَلَقْتُ الأَفْلاَكَ
Seandainya bukan karenamu (Nabi Muhammad), Aku (Alloh) tidak akan menciptakan makhluk.
MAUDHU’. Sebagaimana dikatakan ash-Shoghoni.[13] Diriwayatkan ad-Dailami dalam Musnad-nya 2/41 dari jalur Ubaidulloh bin Musa al-Qurosyi: Menceritakan kepada kami Fudhoil bin Ja’far bin Sulaiman dari Abdushshomad bin Ali bin Abdulloh bin Abbas dari ayahnya, Ibnu Abbas secara marfu’.
Kecacatan hadits terletak pada Abdushshomad. Al-Uqoili v\ berkata tentangnya, “Haditsnya tidak terjamin. Dan orang-orang sebelum Abdushshomad tidak saya kenal.”
Ibnul Jauzi v\ juga meriwayatkannya dalam al-Maudhu’at (1/288–289) dari sahabat Salman a\, lalu berkomentar, “Haditsnya maudhu.’ ” Dan disetujui as-Suyuthi dalam al-Ala’i: 1/282.[14]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Ucapan ini bukanlah hadits Nabi n\ baik dari jalur yang shohih maupun lemah, tidak dinukil oleh seorang pun dari ahli hadits, baik dari Nabi n\ atau dari sahabat, bahkan ucapan ini tidak diketahui siapa yang mengucapkannya.” [15]
Makna hadits ini pun tidak benar, karena bertentangan dengan firman Alloh:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)
Ayat ini menegaskan bahwa Alloh menciptakan anak Adam untuk beribadah, bukan karena Nabi Muhammad n\.

3.       Nur Muhammad

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ نُوْرُ نَبِيِّكَ يَا جَابِرُ !
“Makhluk yang pertama kali diciptakan adalah cahaya Nabimu, wahai Jabir!”
TIDAK ADA ASALNYA. Hadits yang populer ini adalah batil, demikian juga semua hadits yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad n\ diciptakan dari cahaya, karena hal itu bertentangan dengan firman Alloh:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌۭ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌۭ وَ‌ٰحِدٌۭ ۖ
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya ilah (sembahan) kamu itu adalah Ilah Yang Esa.’ ” (QS. al-Kahfi [18]: 110)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  : خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ, وَخُلِقَ إِبْلِيْسُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ, وَخُلِقَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ مِمَّا قُدْ وُصِفَ لَكُمْ
Rosululloh n\ bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, Iblis dicptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan dari apa yang telah disifatkan pada kalian.” [16]
Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa malaikat saja yang diciptakan dari cahaya, bukan Adam dan anak keturunannya.[17]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah v\ menegaskan bahwa hadits ini adalah dusta dengan kesepakatan ahli hadits.[18] Demikian juga ditegaskan oleh Syaikh Sulaiman bin Sahman.[19] As-Suyuthi v\ juga menegaskan bahwa hadits ini tidak ada sanadnya.[20] Demikian juga Jamaluddin al-Qosimi[21] dan Muhammad Rosyid Ridho,[22] keduanya menegaskan bahwa hadits ini tidak ada asalnya.
Samahatusy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz v\ berkata, “Adapun ucapan sebagian manusia, ahli khurafat dan orang-orang Sufi bahwa Nabi n\  diciptakan dari cahaya dan makhluk pertama adalah cahaya Muhammad, semua ini adalah tidak ada asalnya, ucapan batil dan kedustaan belaka.”[23]
Akhirnya, Demikianlah sebagian kemungkaran-kemungkaran yang biasa terjadi dalam acara perayaan maulid, suatu hal yang menguatkan kebatilan perayaan ini. Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Muhammad Abdussalam as-Syaqiry tatkala berkata:
“…. Di bulan ini (Rob’iul Awal), Rosululloh n\ dilahirkan dan juga diwafatkan. Lantas mengapa mereka bergembira dengan kelahirannya tetapi tidak sedih dengan wafatnya? Oleh karenanya, menjadikan kelahiran beliau sebagai perayaan merupakan perkara bid’ah munkarah dan sesat serta tidak sesuai dengan syariat dan akal. Seandainya hal itu merupakan amalan yang baik, bagaimana mungkin dilalaikan oleh Abu Bakar, Umar bin Khoththob, Utsman, para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in, serta ulama kaum muslimin? Tidak syak lagi bahwa perayaan tersebut hanyalah dibuat-buat oleh para sufi yang suka makan, dan oleh para pengangguran dari kalangan ahlulbid’ah yang kemudian diikuti oleh mayoritas manusia. Pahala apa yang akan diperoleh dari harta yang dihambur-hamburkan? Keridhoan apa yang akan didapat dalam perkumpulan para penyanyi, artis, pelacur, perampok, dan lain-lain? Dan adakah kebaikan dalam perkumpulan para kiai beserban merah, hijau, kuning, dan hitam?
Apa manfaat yang bisa dipetik? Tidak lain hanyalah penghinaan orang-orang kafir Eropa kepada kita dan agama kita, sehingga mereka menyangka bahwa Nabi Muhammad n\ beserta para sahabatnya seperti itu — innaa lillahi wa innaa ilaihi roji’un. Mengapa mereka tidak berpikir bahwa manusia kini dilanda kemiskinan, kelaparan, penyakit, dan kebodohan? Bukankah sebaiknya harta-harta tersebut digunakan untuk pembangunan pabrik bagi para penganggur? Atau untuk membuat senjata-senjata guna menghadapi musuh-musuh Islam? Mengapa para tokoh agama hanya diam, bahkan turut mendukungnya? Dan mengapa negara juga diam terhadap penghamburan harta yang menyebabkan negara dalam kehinaan yang parah? ….” [24]
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi


[1]     Huquq Nabi hlm. 139–140
[2]     Demikianlah kecaman yang begitu keras dan tegas dari Ustadz Hasyim Asy’ari! Maka bagaimanakah kiranya jika dia melihat para pengikutnya sekarang yang tidak mengindahkan nasihatnya, bahkan dengan terang-terangan tanpa malu mereka menambahi dengan aneka kemaksiatan dan kemungkaran? Innaa lillahi wa innaa ilaihi roji’un. Semoga Alloh e\ merahmati al-Imam al-Barbahari ketika berkata, “Waspadailah olehmu perkara baru (bid’ah). Sebab, bid’ah yang awalnya kecil, lambat laun akan terbiasa dan menjadi besar. Demikian pula setiap bid’ah pada umat ini, awalnya hanya kecil mirip dengan kebenaran, hingga pelakunya tertipu dan tidak mampu lagi keluar darinya….” (Syarh al-Sunnah hlm. 68–69)
[3]     HR. al-Bukhori: 6069 dan Muslim: 2990
[4]     Lihat Fath al-Bari kar. Ibnu Hajar: 12/110.
[5]     Karena menurut Ustadz Hasyim Asy’ari, maulid hukumnya boleh dilakukan jika tidak dibumbui oleh maksiat, dan ini adalah pendapat yang salah sekalipun lebih ringan daripada bid’ah yang bercampur dengan maksiat. Wallohu A’lam.
[6]     Lihat al-Tanbihat al-Wajibat li Man Yashna’ Maulid Bi al-Munkarot hlm. 38–46.
[7]     HR. al-Bukhori dalam Adab al-Mufrod: 977, Abu Dawud: 5229, at-Tirmidzi: 2755. Lihat Silsilah Ahadits al-Shohihah: 375.
[8]     HR. Ahmad: 3/132, at-Tirmidzi: 2754 dll. dan dishohihkan at-Tirmidzi, an-Nawawi, al-Iraqi, Ibnul Qoyyim, dan al-Albani dalam al-Shohihah: 385.
[9]     Al-Maqomat al-Aliyyah Fi Nasy’ati al-Fakhimah al-Nabawiyyah hlm. 43
[10]    Lihat Ihkam al-Kalam Fi Mas’alati al-Qiyam hlm. 213-218, Abu Tholhah Umar bin Ibrohim bin Hasan.
[11]    Lihat Hadits-Hadits Bermasalah kar. Prof. Ali Musthofa Ya’qub hlm. 102
[12]    Beliau adalah salah seorang murid imam ahli hadits besar, al-Albani, yang berkunjung ke Indonesia dalam rangka dakwah. Pertanyaan ini saya tanyakan kepada beliau pada hari Rabu 6 Muharrom 1423 H, sebelum sholat Zhuhur di Masjid al-Irsyad, Surabaya.
[13]    Al-Ahadits al-Maudhu’ah hlm. 7
[14]    Silsilah Ahadits al-Dho’ifah: 282
[15]    Majmu’ al-Fatawa: 11/96
[16]    HR. Muslim: 8/226
[17]    Silsilah Ahadits al-Shohihah: 458
[18]    Majmu’ al-Fatawa: 18/367
[19]    Al-Showai’q al-Mursalah al-Syihabiyyah hlm. 15
[20]    Al-Hawi li al-Fatawi: 2/43
[21]    Syarh al-Arba’in al-Ajluniyyah: 343
[22]    Fatawa Rosyid Ridho: 2/447
[23]    Fatawa Nur ’Ala Darb: 1/112–113
[24]    Al-Sunan wa al-Mubtada’at hlm. 123

Senin, 16 April 2012

Mengenal Sedikit Agama Majusi dan Keberadaannya Sekarang di Iran Mencapai 20 Ribu Jiwa


Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati?


Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati?

Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena AllahTabaraka wa Ta’alatelah memerintahkan hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59)
Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)
AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari, 13/7)

Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?

Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pemerintah muslim. Sebagaimana juga dimaklumi bahwa hukum Islam belum diterapkan secara menyeluruh di negeri tercinta ini. Apakah dengan sebab tersebut pemerintah (dan rakyatnya) telah  menjadi murtad? Kemudian boleh bagi kaum muslimin memberontak atau membangkang kepada pemerintah Indonesia?
Syubhat ini dijawab oleh Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaiminrahimahullah dalam fatwa berikut ini:
Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab: “Pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau ia telah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.
Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:
1)      Dia mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.
2)      Motivasi dia berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba.
Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan dari kekuasaan.
Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zhalim, dan kekuasaannya tetap sah.
Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya. Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah juga menjelaskan, “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat: Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan hukum Allah. Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan lebih baik dari hukum Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82)

Kesimpulan

Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.
Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.
Mereka yang mempersoalkan dasar negara dalam hal ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan –baik dengan senjata maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah muslim, hanyalah orang-orang jahil dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfirilainnya yang tidak mengerti ushul dan qawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Wallahul Musta’an.

Jumat, 13 April 2012

SIAPAKAH AHLUSSUNAH ?

Siapakah Ahlus Sunnah

Penulis: Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi

Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu? Dan siapa pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?

Telah menjadi ciri perjuangan iblis dan tentara-tentaranya yaitu terus berupaya mengelabui manusia. Yang batil bisa menjadi hak dan sebaliknya, yang hak bisa menjadi batil. Sehingga ahli kebenaran bisa menjadi pelaku maksiat yang harus dimusuhi dan diisolir. Dan sebaliknya, pelaku kemaksiatan bisa menjadi pemilik kebenaran yang harus dibela. Syi’ar pemecah belah ini merupakan ciri khas mereka dan mengganggu perjalanan manusia menuju Allah merupakan tujuan tertinggi mereka.

Tidak ada satupun pintu kecuali akan dilalui iblis dan tentaranya. Dan tidak ada satupun amalan kecuali akan dirusakkannya, minimalnya mengurangi nilai amalan tersebut di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Iblis mengatakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala: “Karena Engkau telah menyesatkanku maka aku akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus dan aku akan benar-benar mendatangi mereka dari arah depan dan belakang, dan samping kiri dan samping kanan.”, (QS. Al A’raf : 17 )

Dalam upayanya mengelabui mangsanya, Iblis akan mengatakan bahwa ahli kebenaran itu adalah orang yang harus dijauhi dan dimusuhi, dan kebenaran itu menjadi sesuatu yang harus ditinggalkan, dan dia mengatakan: “Sehingga Engkau ya Allah menemukan kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Al A’raf: 17)

Demikian halnya yang terjadi pada istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Istilah ini lebih melekat pada gambaran orang-orang yang banyak beribadah dan orang-orang yang berpemahaman sufi. Tak cuma itu, semua kelompok yang ada di tengah kaum muslimin juga mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Walhasil, nama Ahlus Sunnah menjadi rebutan orang. Mengapa demikian? Apakah keistimewaan Ahlus Sunnah sehingga harus diperebutkan? Dan siapakah mereka sesungguhnya?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus merujuk kepada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dan ulama salaf dalam menentukan siapakah mereka yang sebenarnya dan apa ciri-ciri khas mereka. Jangan sampai kita yang digambarkan dalam sebuah sya’ir:
Semua mengaku telah meraih tangan Laila
Dan Laila tidak mengakui yang demikian itu

Bahwa tidak ada maknanya kalau hanya sebatas pengakuan, sementara dirinya jauh dari kenyataan.

Secara fitrah dan akal dapat kita bayangkan, sesuatu yang diperebutkan tentu memiliki keistimewaan dan nilai tersendiri. Dan sesuatu yang diakuinya, tentu memiliki makna jika mereka berlambang dengannya. Mereka mengakui bahwa Ahlus Sunnah adalah pemilik kebenaran. Buktinya, setelah mereka memakai nama tersebut, mereka tidak akan ridha untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah dan memiliki jalan yang salah. Bahkan mengatakan bahwa dirinya merupakan pemilik kebenaran tunggal sehingga yang lain adalah salah. Mereka tidak sadar, kalau pengakuannya tersebut merupakan langkah untuk membongkar kedoknya sendiri dan memperlihatkan kebatilan jalan mereka. Yang akan mengetahui hal yang demikian itu adalah yang melek dari mereka.

As Sunnah
Berbicara tentang As Sunnah secara bahasa dan istilah sangat penting sekali. Di samping untuk mengetahui hakikatnya, juga untuk mengeluarkan mereka-mereka yang mengakui sebagai Ahlus Sunnah. Mendefinisikan As Sunnah ditinjau dari beberapa sisi yaitu sisi bahasa, syari’at dan generasi yang pertama, ahlul hadits, ulama ushul, dan ahli fiqih.

As Sunnah menurut bahasa
As Sunnah menurut bahasa adalah As Sirah (perjalanan), baik yang buruk ataupun yang baik. Khalid bin Zuhair Al Hudzali berkata:
Jangan kamu sekali-kali gelisah karena jalan yang kamu tempuh
Keridhaan itu ada pada jalan yang dia tempuh sendiri.

As Sunnah menurut Syari’at Dan Generasi Yang Pertama
Apabila terdapat kata sunnah dalam hadits Rasulullah atau dalam ucapan para sahabat dan tabi’in, maka yang dimaksud adalah makna yang mencakup dan umum. Mencakup hukum-hukum baik yang berkaitan langsung dengan keyakinan atau dengan amal, apakah hukumnya wajib, sunnah atau boleh.

Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari 10/341 berkata: “Telah tetap bahwa kata sunnah apabila terdapat dalam hadits Rasulullah, maka yang dimaksud bukan sunnah sebagai lawan wajib (Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak akan berdosa, pent.).”

Ibnu ‘Ajlan dalam kitab Dalilul Falihin 1/415 ketika beliau mensyarah hadits ‘Fa’alaikum Bisunnati’, berkata: “Artinya jalanku dan langkahku yang aku berjalan di atasnya dari apa-apa yang aku telah rincikan kepada kalian dari hukum-hukum i’tiqad (keyakinan), dan amalan-amalan baik yang wajib, sunnah, dan sebagainya.”
Imam Shan’ani berkata dalam kitab Subulus Salam 1/187, ketika beliau mensyarah hadits Abu Sa’id Al-Khudri, “di dalam hadits tersebut disebutkan kata ‘Ashobta As Sunnah’, yaitu jalan yang sesuai dengan syari’at.”

Demikianlah kalau kita ingin meneliti nash-nash yang menyebutkan kata “As Sunnah”, maka akan jelas apa yang dimaukan dengan kata tersebut yaitu: “Jalan yang terpuji dan langkah yang diridhai yang telah dibawa oleh Rasulullah. Dari sini jelaslah kekeliruan orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu yang menafsirkan kata sunnah dengan istilah ulama fiqih sehingga mereka terjebak dalam kesalahan yang fatal.

As Sunnah Menurut Ahli Hadits
As sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).

As Sunnah Menurut Ahli Ushul Fiqih
Menurut Ahli Ushul Fiqih, As Sunnah adalah dasar dari dasar-dasar hukum syaria’at dan juga dalil-dalilnya.
Al Amidy dalam kitab Al Ihkam 1/169 mengatakan: “Apa-apa yang datang dari Rasulullah dari dalil-dalil syari’at yang bukan dibaca dan bukan pula mu’jizat atau masuk dalam katagori mu’jizat”.

As Sunnah Di Sisi Ulama Fiqih
As Sunnah di sisi mereka adalah apa-apa yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.

Di sini bisa dilihat, mereka yang mengaku sebagai ahlus sunnah -dengan menyandarkan kepada ahli fikih-, tidak memiliki dalil yang jelas sedikitpun dan tidak memiliki rujukan, hanya sebatas simbol yang sudah usang. Jika mereka memakai istilah syariat dan generasi pertama, mereka benar-benar telah sangat jauh. Jika mereka memakai istilah ahli fiqih niscaya mereka akan bertentangan dengan banyak permasalahan. Jika mereka memakai istilah ulama ushul merekapun tidak akan menemukan jawabannya. Jika mereka memakai istilah ulama hadits sungguh mereka tidak memilki peluang untuk mempergunakan istilah mereka. Tinggal istilah bahasa yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam melangkah, terlebih menghalalkan sesuatu atau mengharamkannya.

Siapakah Ahlus Sunnah

Ahlu Sunnah memiliki ciri-ciri yang sangat jelas di mana ciri-ciri itulah yang menunjukkan hakikat mereka.

1. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan jalan para sahabatnya, yang menyandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafus shalih yaitu pemahaman generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka. Rasulullah bersabda:
“ Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)

2. Mereka kembalikan segala bentuk perselisihan yang terjadi di kalangan mereka kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan siap menerima apa-apa yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasulullah. Firman Allah:
“Maka jika kalian berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan yang demikian itu adalah baik dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

“Tidak pantas bagi seorang mukmin dan mukminat apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara untuk mereka, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS. Al Ahzab: 36)

3. Mereka mendahulukan ucapan Allah dan Rasul daripada ucapan selain keduanya. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahulukan (ucapan selain Allah dan Rasul ) terhadap ucapan Allah dan Rasul dan bertaqwalah kalian kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurat: 1)

4. Menghidupkan sunnah Rasulullah baik dalam ibadah mereka, akhlak mereka, dan dalam semua sendi kehidupan, sehigga mereka menjadi orang asing di tengah kaumnya. Rasulullah bersabda tetang mereka:
“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula daam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

5. Mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat fanatisme golongan. Dan mereka tidak fanatisme kecuali kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah. Imam Malik mengatakan: “Tidak ada seorangpun setelah Rasulullah yang ucapannya bisa diambil dan ditolak kecuali ucapan beliau.”

6. Mereka adalah orang-orang yang menyeru segenap kaum muslimin agar bepegang dengan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabatnya.

7. Mereka adalah orang-oang yang memikul amanat amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Dan mereka mengingkari segala jalan bid’ah (lawannya sunnah) dan kelompok-kelompok yang akan mencabik-cabik barisan kaum muslimin.

8. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari undang-undang yang dibuat oleh manusia yang menyelisihi undang-undang Allah dan Rasulullah.

9. Mereka adalah orang-orang yang siap memikul amanat jihad fi sabilillah apabila agama menghendaki yang demikian itu.

Syaikh Rabi’ dalam kitab beliau Makanatu Ahli Al Hadits hal. 3-4 berkata: “Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi)-nya para sahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah dan menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mendahulukan keduanya atas setiap ucapan dan petunjuk, kaitannya dengan aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlaq, politik, maupun, persatuan. Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah kepada hamba dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan penuh semangat dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi yang melumatkan segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, kerancuan para penyesat dan takwil jahilin. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengintai setiap kelompok yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidah (Syi’ah), Murji’ah, Qadariyah, dan setiap orang yang menyeleweng dari manhaj Allah, mengikuti hawa nafsu pada setiap waktu dan tempat, dan mereka tidak pernah mundur karena cercaan orang yang mencerca.”

Ciri Khas Mereka
1. Mereka adalah umat yang baik dan jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di tengah umat yang sudah rusak dari segala sisi. Rasulullah bersabda:
“Berbahagialah orang yang asing itu (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di tengah orang-orang yang jahat. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada orang yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad)

Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Madarijus Salikin 3/199-200, berkata: “Ia adalah orang asing dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka, asing pada berpegangnya dia terhadap sunnah dikarenakan berpegangnya manusia terhadap bid’ah, asing pada keyakinannya dikarenakan telah rusak keyakinan mereka, asing pada shalatnya dikarenakan jelek shalat mereka, asing pada jalannya dikarenakan sesat dan rusaknya jalan mereka, asing pada nisbahnya dikarenakan rusaknya nisbah mereka, asing dalam pergaulannya bersama mereka dikarenakan bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka”.

Kesimpulannya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan dia tidak menemukan seorang penolong dan pembela. Dia sebagai orang yang berilmu ditengah orang-orang jahil, pemegang sunnah di tengah ahli bid’ah, penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah orang-orang yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah, penyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran di tengah kaum di mana yang ma’ruf menjadi munkar dan yang munkar menjadi ma’ruf.”

Ibnu Rajab dalam kitab Kasyfu Al Kurbah Fi Washfi Hal Ahli Gurbah hal 16-17 mengatakan: “Fitnah syubhat dan hawa nafsu yang menyesatkan inilah yang telah menyebabkan berpecahnya ahli kiblat menjadi berkeping-keping. Sebagian mengkafirkan yang lain sehingga mereka menjadi bermusuh-musuhan, berpecah-belah, dan berpartai-partai yang dulunya mereka berada di atas satu hati. Dan tidak ada yang selamat dari semuanya ini melainkan satu kelompok. Merekalah yang disebutkan dalam sabda Rasulullah: “Dan terus menerus sekelompok kecil dari umatku yang membela kebenaran dan tidak ada seorangpun yang mampu memudharatkannya siapa saja yang menghinakan dan menyelisihi mereka, sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”

2. Mereka adalah orang yang berada di akhir jaman dalam keadaan asing yang telah disebutkan dalam hadits, yaitu orang-orang yang memperbaiki ketika rusaknya manusia. Merekalah orang-orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia dari sunnah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang lari dengan membawa agama mereka dari fitnah. Mereka adalah orang yang sangat sedikit di tengah-tengah kabilah dan terkadang tidak didapati pada sebuah kabilah kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak didapati satu orangpun sebagaimana permulaan Islam.

Dengan dasar inilah, para ulama menafsirkan hadits ini. Al Auza’i mengatakan tentang sabda Rasulullah: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing.” Adapun Islam itu tidak akan pergi akan tetapi Ahlus Sunnah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan satu orang.” Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji sunnah dan mensifatinya dengan asing dan mensifati pengikutnya dengan kata sedikit.” (Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum At Thoifah Al Manshurah hal 103-104)

Demikianlah sunnatullah para pengikut kebenaran. Sepanjang perjalanan hidup selalu dalam prosentase yang sedikit. Allah berfiman:
“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”

Dari pembahasan yang singkat ini, jelas bagi kita siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah dan siapa-siapa yang bukan Ahlus Sunnah yang hanya penamaan semata. Benarlah ucapan seorang penyair mengatakan :
Semua orang mengaku telah menggapai si Laila
Akan tetapi si Laila tidak mengakuinya
Walhasil Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman, amalan, dan dakwah salafus shalih.