Kamis, 05 Januari 2012

APA MAKNA WAHABI


Apa Makna Wahabi ?


Asy Syaikh Muhammad Bin Jamil Zainu
 
Orang-orang biasa melabelkan kata “Wahhabi” kepada setiap orang yang menyelisihi tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, meskipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Quranul Karim dan hadits-hadits yang sahih. Termasuk yang mereka labeli dengan julukan ini adalah dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) melainkan hanya kepada Allah semata.
Suatu kali, di hadapan seorang Syaikh, saya bacakan hadits Ibnu Abbas yang ada di kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Bila kamu meminta, mintalah kepada Allah dan bila kamu memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan sahih)

Saya sangat kagum dengan keterangan Imam An-Nawawi ketika beliau mengatakan, “Kemudian jika kebutuhan yang dia minta –menurut kebiasaan– di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan, maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk, maka itu tercela.” Lalu aku katakan kepada Syaikh tersebut, “Hadits ini berikut penjelasannya memberikan faedah tidak boleh meminta pertolongan kepada selain Allah.” Ia lalu menyergah, “Bahkan hal itu dibolehkan!” Aku lalu bertanya, “Apa dalil anda?”

Syaikh itu lalu murka dan berkata dengan nada tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, ‘Wahai Syaikh Sa’ad! (Seorang syaikh yang dikuburkan di masjidnya, bibinya tadi meminta pertolongan dengannya)’. Aku pun bertanya padanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’ad dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab, “Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku.” Lalu aku berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu.” Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir Wahhabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab Wahhabi.”

Padahal tidaklah aku mengenal sedikit pun tentang Wahhabi kecuali sekedar apa yang aku dengar dari para Syaikh. Mereka berkata tentang Wahhabi bahwa orang-orang Wahhabi adalah mereka yang menyelisihi (kebiasaan) manusia. Mereka tidak mengimani adanya para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul. Dan berbagai tuduhan dusta lainnya.

Maka aku berkata dalam hati, “Jika orang-orang Wahhabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah semata, maka aku wajib mengenal Wahhabi lebih jauh”.

Kemudian aku mencari informasi tentang jamaah tersebut (yang sering disebut Wahhabi- pent), maka mereka mengatakan, “Mereka punya tempat berkumpul pada Kamis sore untuk memperlajari tafsir, hadits dan fikih”. Kemudian aku bersama anak-anakku dan sebagian pemuda yang berwawasan mendatangi majelis mereka. Maka kami masuk ke dalam sebuah ruangan yang besar. Kami duduk dan menanti pelajaran dimulai. Setelah beberapa saat, seorang Syaikh yang tua masuk ke dalam ruangan. Beliau mengucapkan salam, dan menjabat tangan kami semua dengan memulai dari sisi kanannya. Beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuknya. Aku berkata dalam hatiku “Ini adalah seorang Syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”

Lalu Syaikh membuka pelajaran dengan ucapan (dalam bahasa Arab), “Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.

Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat sahihnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Quranul Karim dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah bahwa kita adalah muslimun salafiyun. Sebagian orang menuduh kita orang-orang Wahhabi. Ini adalah gelaran dengan julukan yang buruk. Allah melarang kita dari hal itu dengan firman-Nya (yang artinya), “Dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (Al-Hujurat: 11)

Dahulu, mereka menuduh Imam Asy-Syafi’i sebagai Rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhah. Maka hendaknya jin dan manusia mempersaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah Rafidhah.”

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita Wahhabi, dengan ucapan salah seorang penyair, “Jika pengikut Ahmad ( Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam [1] ) adalah Wahhabi, maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku Wahhabi.”
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama sebagian para pemuda dalam keadaan kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah Syaikh yang sesungguhnya!”
 
[1] Keterangan tambahan dari redaksi Ghuroba. 
 
Sumber: Manhaj Al Firqah An Najiyah halaman 61-64
Bab/judul Asli: "Apakah Makna Wahhabi" 
Penerbit Al Ilmu Jogjakarta 
(http://penerbit.al-ilmu.com/) 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar