Dosa Besar Ikhwanul Muslimin Terhadap Umat Ini
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari
ayahnya Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah
shalallahu alaihi wasalam pernah bersabda:
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ
شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang
melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya
dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya
tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang
melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya
dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”
Takhrij : Hadits yang mulia di
atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i
no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad
Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang
lainnya.
Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyiah
Yang dimaksud dengan sunnah hasanah dalam sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
"Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam"
Yakni menempuh satu jalan yang
diridhai, yang jalan tersebut ada contoh/asalnya dalam agama ini (bukan
perkara yang diada-adakan/ bid’ah) dan akan menjadi contoh bagi orang
lain.
Sedangkan sunnah sayyiah dalam sabda beliau:
ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
"siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam"
Yakni jalan yang tidak diridhai yang tidak ada asalnya dalam agama ini.
(Diringkas dari Tuhfatul Ahwadzi, hal. 2034, kitab Al-’Ilm, bab Fi Man Da’a Ilal Huda Fatutbi’a aw Ila Dhalalah, Syarhu Sunan An-Nasa‘i lil Imam As-Sindi, 5/76)
Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian dengan pokok-pokok syar’i atau tidak (Syarhu Sunan Ibni Majah lil Imam As-Sindi 1/90).
Namun jangan dipahami dari hadits di atas bahwa ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyiah. Fadhilatusyaikh Shalih Al Fauzan
hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, anggota Majelis Kibarul
‘Ulama, juga anggota Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia Lajnah Daimah) berkata: “Tidak ada dalil bagi
orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah
sayyiah (yang jelek). Karena yang namanya bid’ah itu semuanya sayyiah,
dengan dalil sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Seluruh bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di dalam neraka." [1]
Adapun sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
maka yang dimaksud adalah: "Siapa yang menghidupkan satu sunnah" bukan "Siapa yang menghidupkan satu bidah"
Nabi bersabda demikian disebabkan
salah seorang shahabat beliau yang datang dengan membawa sedekah di satu
waktu dari saat-saat krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh
orang lain sehingga mereka berturut-turut memberikan sedekah.” Beliau
juga menyatakan: “Hadits ini tidak menunjukkan sebagaimana yang
dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid’ah hasanah) karena Nabi
shalallahu alaihi wasalam dalam hadits tersebut tidak menyatakan:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً
"Siapa yang mengada-adakan bid’ah hasanah", namun beliau shalallahu alaihi wasalam hanya menyatakan:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
"Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam"
Sementara sunnah bukanlah bid’ah.
Sunnah adalah apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki
dalil, demikianlah yang namanya sunnah. Maka barangsiapa yang
mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah
–dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada manusia dan
menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut
karena mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut, -pent.)–,
maka ia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang
yang mengamalkannya sampai hari kiamat. Sababul wurud (sebab terjadinya)
hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin
datang menemui Nabi. Beliau terenyuh melihat keadaan mereka dan merasa
sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para
shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan
shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak
tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena
mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka
jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam...”
Orang ini telah melakukan amalan
sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan
sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah
merupakan sunnah hasanah, bukan bid’ah. Siapa yang menghidupkan,
mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun
mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut,
orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka.” (Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham
(1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi n di atas tidaklah
sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi
justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti)
keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang
diada-adakan/ bid’ah).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam
hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan
dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan
yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang
telah mati, –pent.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan
untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”
Beliau rahimahullah juga menyatakan
bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang
memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan
ihsan/ kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah
hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang
didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena
mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari
kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia
akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam
melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai
hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)
Sunnah Hasanah Para Nabi dan Atsar Hamidah (Dampak Positif) Dakwah Mereka
Hadits di atas mencakup amalan dan
perbuatan lainnya, dan mencakup pula perkataan, pendapat dan keyakinan.
Sehingga, apapun amalan kebajikan yang ada dan sesuai dengan syariat
ini, atau amalan apa saja yang didorong dan diridhai oleh syariat ini,
bila dilakukan oleh seseorang lalu ditiru dan dicontoh oleh orang lain
berarti ia telah melakukan sunnah hasanah. Dan ia pantas, dengan izin
Allah k, mendapatkan janji yang tersebut dalam hadits:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً ...
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam...”
Para nabi dan rasul diutus oleh Allah k
untuk mengajak manusia kepada cahaya dan petunjuk setelah sebelumnya
manusia tenggelam dalam kegelapan dan kesesatan. Di tengah rusaknya umat
manusia dan berkubangnya mereka dalam kesyirikan, kekufuran dan
kebid’ahan, para nabi dan rasul ini tampil berdakwah mengajak mereka
kembali kepada Allah k dengan mentauhidkan-Nya. Mereka mengadakan
perbaikan di tengah kerusakan. Mereka tampil sebagai pribadi-pribadi
yang mulia, berakhlak agung dan tinggi, yang menjadi suri teladan bagi
umat manusia.
Di antara manusia ada yang menerima
dakwah tersebut hingga mereka pun berpegang dengan tauhid dan
meninggalkan kesyirikan. Bahkan di antara mereka ada yang mengikuti
jejak rasul dengan berdakwah di tengah umat guna menyampaikan al-haq
sebagaimana yang diajarkan para rasul tersebut.
Dan cukuplah sebagai contoh bagi kita
semua di sini, dakwah Nabi kita Muhammad shalallahu alaihi wasalam di
tengah masyarakat jahiliyyah, di tengah musyrikin Arab yang paganis dan
sangat memuja leluhur mereka. Betapa tantangan besar beliau hadapi di
awal dakwah dan betapa sedikit orang yang menolong dakwah beliau. Namun
semuanya beliau hadapi dan jalani dengan penuh kesabaran dan keyakinan,
yang juga pada akhirnya Allah k akan memenangkan al-haq dan melumatkan
al-bathil. Sedikit demi sedikit, namun pasti, orang yang mengikuti
dakwah beliau bertambah hingga akhirnya manusia berbondong-bondong masuk
ke dalam agama Allah k sebagaimana Allah k kabarkan dalam firman-Nya:
إِذَا
جآءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ
دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
“Apabila telah datang pertolongan
Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.” (An-Nashr: 1-3)
Rasulullah shalallahu alaihi wasalam
menyampaikan dakwah tidak sebatas pada suku Quraisy, tapi juga kepada
bangsa Arab lainnya. Bahkan kepada orang-orang ajam (non Arab), baik
dari kalangan kaum musyrikin ataupun dari ahlul kitab dengan mengirimkan
surat yang berisi ajakan kepada Islam. Beliau kirimkan da’i-da’i ke
berbagai negeri untuk mengajari manusia tentang agama Allah subhanahu
wata ala.
Demikianlah, sampai akhirnya Allah
subhanahu wata ala wafatkan beliau dengan meninggalkan murid-murid dari
kalangan shahabat g yang siap meneruskan dakwah beliau kepada umat. Para
shahabat mengajari para tabi’in, para tabi’in mengajari atba’ut
tabi’in, para atba’ut tabi’in mengajari orang-orang setelah mereka, dan
seterusnya hingga zaman kita ini, dakwah Rasulullah n akhirnya
tersampaikan. Agama beliau dipeluk, akhlak beliau ditiru, perjalanan
hidup beliau dipelajari untuk menjadi teladan….
Sungguh beliau meninggalkan sunnah
hasanah bagi umat ini hingga beliau mendapatkan pahala dari apa yang
telah beliau amalkan dan perjuangkan, berikut pahala-pahala umat beliau
sampai hari kiamat dari kalangan orang-orang yang yang beriman kepada
beliau, membenarkan, mengikuti, dan mengamalkan ajaran beliau n.
Dakwah tauhid yang ditegakkan oleh
Rasulullah shalallahu alaihi wasalam meninggalkan atsar (pengaruh) yang
baik pula, berupa persatuan dan kejayaan yang didapatkan oleh generasi
awal umat ini dan keberkahan dalam kehidupan mereka, sebagaimana hal ini
jelas bagi kita bila membaca sejarah umat ini. Demikianlah janji Allah k
yang tertulis dalam kitab-Nya:
وَعَدَ
اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأََرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهْمَ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِيْ
وَلاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal
shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan mengganti keadaan
mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
Mereka tetap beribadah kepada-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun
dengan-Ku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Ulama Pewaris Para Nabi
Setelah terputusnya nubuwwah,
tampillah ahlul ilmi di setiap zaman dan tempat, yang berdakwah dengan
dakwah para nabi dan rasul serta beramal dengan amalan mereka. Karena
para ulama ini mewarisi ilmu para nabi dan rasul serta mengambil
sunnah-sunnah mereka, maka dengan mereka inilah Allah subhanahu wata ala
menegakkan hujjah-Nya kepada umat dan dengan mereka pula Allah k
merahmati umat ini. Mereka menegakkan dakwah yang mubarakah (diberkahi)
di tengah umat sehingga mereka pantas mendapatkan balasan yang pantas
dan derajat yang tinggi di sisi Allah subhanahu wata ala. Mereka jadikan
para rasul Allah subhanahu wata ala sebagai uswah hasanah dan qudwah
shalihah. Mereka berdakwah kepada Allah subhanahu wata ala dengan hati
yang ikhlas, lisan yang jujur dan amalan badan guna menyampaikan dakwah
dengan penuh hikmah dan mau’izhah hasanah (memberikan nasehat yang
baik), tanpa bosan, tanpa jemu, tanpa putus asa, tanpa ragu dan tanpa
mengurang-ngurangi. (Al-Manhajul Qawim fit Ta‘assi bir Rasulil Karim,
karya Syaikh yang mulia Zaid ibnu Muhammad Al-Madkhali, seorang ulama
dan tokoh terkemuka dari Jizan, negeri di selatan Saudi Arabia, hal.
18-19)
Satu contoh dari ulama rabbani
tersebut adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Beliau berdakwah dengan dakwah para nabi dan rasul, yakni dakwah tauhid
mengajak manusia untuk mengesakan Allah dan menjauhi kesyirikan, di
tengah masyarakatnya yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid’ahan, dan
khurafat. Penentangan yang beliau hadapi sangat besar. Sampai akhirnya
Allah menolong dakwah beliau dengan memberikan dukungan penguasa pada
waktu itu terhadap dakwah beliau. Atsar (pengaruh) dakwah beliau yang
paling nyata dan bisa kita lihat sampai hari ini adalah berdirinya
negeri tauhid Mamlakah Saudi Arabia yang di sana ditegakkan syariat
Islam dan diberlakukan hukum-hukum Allah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah telah melakukan sunnah hasanah di tengah masyarakatnya yang
telah melupakan tauhid dengan mengajak mereka kembali kepada tauhid.
Banyak orang yang mengikuti dakwah beliau dan akhirnya terjun pula ke
medan dakwah untuk mengajari umat dengan ilmu yang telah diajarkan oleh
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Barakah dakwah beliau
tidak hanya sebatas di negeri Saudi, bahkan sampai ke negeri-negeri
lainnya dari negeri kaum muslimin termasuk negeri kita ini, dan negeri
kafirin seperti Perancis, Inggris dan yang lainnya. Bahkan kitab-kitab
para ulama Islam pun yang mendakwahkan Islam yang shahih yang terdahulu
sampai sekarang –sebagai hasil dan manfaat dakwah beliau tersebar di
penjuru negeri-negeri tersebut– dibaca dan dipelajari oleh kaum
muslimin. Para pemuda Islam pun bersemangat kembali untuk mempelajari
agama Allah azza wa jalla yang murni, kembali kepada apa yang dibawa dan
dijalani oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan para
shahabatnya. Kembali kepada pemahaman salafus shalih, menghidupkan
sunnah, mempelajari, mengamalkan, dan mendakwahkannya.
Lihat sejarah beliau t yang begitu
harum, yang ditulis para ulama kaum muslimin, di antaranya Al-Imam
Muhammad ibnu Abdil Wahhab Da’watuhu wa Siratuhu oleh ulama besar diabad
ini Mufti (ketua fatwa) Kerajaan Saudi Arabia Asy-Syaikh yang mulia
Abdul ‘Aziz ibnu Baz rahimahullah, ‘Aqidah Muhammad ibnu Abdil Wahhab
As-Salafiyyah oleh Rektor Universitas Islam Madinah Prof. Dr. Asy-Syaikh
Shalih ibnu Abdillah Al-’Abud, Masyakil Da’wah Wad Du’at fi ‘Ashril
Hadits oleh mantan Dekan Fak. Hadits dan Ketua Bagian Akidah, Program
Pasca-sarjana Universitas Islam Madinah, Dr. Asy-Syaikh Muhammad Aman
ibnu ‘Ali Al-Jami, Dahru Iftira`at Ahliz Zaigh Wal Irtiyab ‘an Da’watil
Imam Muhammad ibnil Abdi Wahhab oleh mantan Ketua Bagian Sunnah pada
Program Pascasarjana, Universitas Islam Madinah Prof. Dr. Syaikh Rabi’
ibnu Hadi Al-Madkhali hafizhahullah, dan yang lainnya. Demikianlah
sunnah hasanah yang dilakukan oleh ulama rabbani dan atsar hamidah yang
mereka tinggalkan.
Sunnah Sayyiah Hizbiyyun
Bila para ulama Islam Ahlus Sunnah wal
Jamaah melakukan sunnah hasanah di tengah umat, yang dilakukan oleh
kaum hizbiyyun adalah sebaliknya. Di antaranya Al-Ikhwanul Muslimun
(atau lebih pantasnya mereka disebut Al-Ikhwanul Muflisun, orang-orang
yang bangkrut dunia dan agamanya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh
guru besar kami, ulama dan imam ahlul hadits dari negeri Yaman,
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah). Mereka melakukan
sunnah sayyiah di tengah umat ini. Mereka tumbuhkan perkara yang tidak
ada asalnya dalam syariat agama ini di tengah umat, hingga mereka pantas
mendapatkan ancaman dari sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam:
مَنْ
سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ
وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Dan siapa yang melakukan satu
sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa
orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi
dosa-dosa mereka sedikitpun.”
Di antara sunnah sayyiah yang
diada-adakan dan didakwahkan oleh Ikhwanul Muflisin, mereka mengajak
para pemuda untuk berdakwah dengan mendendangkan nasyid dan berdakwah
dengan sandiwara, drama, ataupun sinetron. Dan lihatlah hari-hari ini
pengaruh dari sunnah sayyiah mereka. Para pemuda membentuk grup-grup
nasyid, dan maraknya pentas -atau yang biasa mereka sebut konser nasyid-
di berbagai kota di negeri kita ini, sehingga para pemuda sibuk
bernasyid ria. Sementara Al-Qur`an jarang mereka baca, kitab-kitab
hadits dan ulama tidak pernah mereka telaah. Dengan nasyid, mereka telah
dipalingkan dari perkara kebaikan dan amalan shalih. Konyolnya lagi,
nasyid yang mereka namakan Islami tersebut diiringi dengan alat-alat
musik muharramah (yang diharamkan). Dan para pemuda ini, sambil bergaya
dan bergoyang di hadapan para wanita ataupun para akhwat yang
menontonnya, mereka berupaya mengeluarkan segala upayanya dalam bidang
tarik suara ini.
Dalam acara yang lain –walaupun
menurut mereka adalah dalam rangkaian dakwah– para pemuda tersebut
disibukkan dengan pentas drama, membintangi sinetron atau film. Sehingga
di antara mereka ada yang kita dapati berperan sebagai Abu Bakr
Ash-Shiddiq, sebagai ‘Umar Al-Faruq, sebagai ‘Utsman dan lainnya. Atau
sebagai para tokoh musyrikin seperti Abu Jahal, Abu Lahab atau kafirin
seperti Heraklius dan pasukannya, ataupun para Yahudi, bahkan seperti
setan juga iblis la’natullah ‘alaihi. Dan sekali lagi, semua ini dalam
anggapan mereka sebagai sarana untuk menyampaikan dakwah kepada umat
ini. Mereka tidak peduli dengan keharaman yang mereka langgar karena
kaidah yang mereka pegangi: untuk mencapai tujuan boleh menghalalkan
segala cara. Untuk berdakwah, menyampaikan Islam kepada umat, boleh
memakai cara-cara yang haram.
Ulama besar terkemuka di dunia ini, imam dan guru besar imam-imam ahlul hadits pada zaman ini, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah ketika ditanya tentang nasyid Islami atau diniyah, beliau
memberikan komentarnya: “Yang kami lihat atas apa yang dinamakan nasyid
diniyah pada hari ini, sebenarnya dulunya merupakan ciri-ciri khusus
yang melekat pada tarekat sufiyah. Namun kebanyakan para pemuda yang
beriman dulunya juga mengingkarinya, karena dalam nasyid tersebut
terdapat pujian yang melampaui batas kepada Rasul dan ber-istighatsah
kepada beliau, tidak kepada Allah. Kemudian muncul dan berkembanglah
nasyid-nasyid baru. Dan menurut keyakinanku, ini adalah pengembangan
dari nasyid-nasyid terdahulu tersebut, walaupun ada beberapa perubahan
seperti menjauhi senandung kesyirikan dan pemujaan kepada selain Allah
yang didapati pada senandung nasyid-nasyid terdahulu.” (dari kitab Hadzihi Da’watuna Wa ‘Aqidatuna hal. 52-53)
Beliau rahimahullah juga menyatakan:
“Siapa saja yang mau membahas dan meneliti di dalam Kitabullah, hadits
Rasul ataupun petunjuk dan jalan salafus shalih, mutlak dia tidak akan
mendapati apa yang dinamakan nasyid diniyah ini, walaupun mungkin sudah
ada perubahan pada senandung nasyid tersebut dari nasyid-nasyid dahulu
yang mengandung (perbuatan) melampaui batas memuja dan menyanjung kepada
Rasul.” (Hadzihi Da’watuna Wa ‘Aqidatuna, hal. 62)
Syaikh yang mulia Muhammad ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah (Anggota Dewan Majelis Kibarul Ulama Kerajaan Saudi
Arabia) berkata: “Nasyid Islami (yang digandrungi orang-orang saat ini)
adalah nasyid bid’ah. Hal ini menyerupai apa yang diada-adakan kalangan
sufi. Oleh karena itu, sepantasnya (seseorang) berpaling dari nasyid
tersebut kepada nasehat-nasehat yang datang dari Al-Kitab dan As-Sunnah,
kecuali di medan-medan peperangan yang dibutuhkan penyemangat untuk
maju ke garis terdepan atau ketika berjihad di jalan Allah k, maka hal
ini tentunya baik. Dan apabila nasyid tersebut diiringi dengan duff
(rebana), tentunya lebih jauh lagi dari kebenaran.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 21-22)
Beliau rahimahullah juga berkata: “Adapun hukum nasyid, kami memandang (agar) tidak diamalkan dan tidak didengarkan, karena:
(1) Melalaikan manusia dari (mendengar
dan membaca,–pen.) Al-Qur`an dan mengambil nasehat darinya [2]. Dalam
kesempatan yang lain beliau berkata: “Memalingkan hati manusia dari
Al-Qur`an dan As-Sunnah yang dari keduanya diperoleh nasehat yang
hakiki, sehingga nasyid tidak sepantasnya dijadikan sebagai nasehat oleh
seseorang.”
(2) Menyerupai
lagu-lagu dan nyanyian secara sempurna, sebagaimana disampaikan kepadaku
bahwasanya sekarang nasyid telah digubah menjadi senandung lagu dan
nyanyian.
(3) Manusia dibuat
terlena dan mabuk kepayang dengannya. Sebagaimana mereka juga dibuat
seakan-akan beribadah, kembali dan tunduk (kepada Allah) dengan nasyid
tersebut. Dan demikianlah yang sering kita dapati dari nasyid tersebut.
Oleh karena itu, kami memandang agar manusia tidak mendengarkannya dan
tidak menjadikannya sebagai suatu kesenangan. Akan tetapi, jika suatu
saat mereka merasakan lemah jiwanya dan ingin mendengarkannya (untuk
menghibur diri dan menguatkannya), maka tidak mengapa dengan syarat
nasyid tersebut tidak diiringi alat-alat musik. Dan dalam kesempatan
yang lain beliau menyatakan:
“Tidak disenandungkan sebagaimana lagu dan nyayian ataupun menggunakan alat-alat musik, karena yang demikian diharamkan.”
(4) Nasyid merupakan agama warisan
kaum sufiyah. Karena merekalah yang mengumpulkan dzikir-dzikir mereka
semisal nasyid-nasyid ini.
(Bayanul Mufid fi Hukmit Tamtsil wal Anasyid hal. 10 dan 12, dinukil dari kitab Fatawa ‘Ulamal Islam Al-Amjad fi Hukmit Tamtsil wal Insyad hal. 15-16)
Asy Syaikh Shalih Al-Fauzan
hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, anggota Majelis Kibarul
Ulama, juga anggota Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia) berkata: “Perkara yang pantas mendapatkan
peringatan adalah apa yang beredar di kalangan para pemuda yang agamis
berupa kaset-kaset rekaman nasyid yang didendangkan secara bersama-sama,
satu suara, yang mereka istilahkan Al-Anasyid Al-Islamiyyah
(nasyid-nasyid Islami). Padahal sungguh ini merupakan satu jenis
nyanyian. Bahkan terkadang nasyid itu didendangkan dengan suara yang
membuat fitnah. Nasyid ini dijual di toko-toko bersama dengan kaset
rekaman Al-Qur`anul Karim dan muhadharah diniyyah (ceramah agama).
Penamaan nasyid ini dengan nasyid
Islami adalah penamaan yang salah. Karena Islam tidak pernah
mensyariatkan nasyid kepada kita, namun yang disyariatkan adalah
dzikrullah, membaca Al-Qur`an dan mempelajari ilmu yang bermanfaat.
Adapun nasyid, maka ia berasal dari
agama bid’ah sufiyyah, yang mereka menjadikan agama mereka sebagai
permainan dan sesuatu yang sia-sia. Menjadikan nasyid sebagai bagian
dari agama merupakan perbuatan tasyabbuh (penyerupaan) dengan Nasrani,
yang menjadikan agama mereka sebagai nyanyian secara berkelompok (paduan
suara) dan senandung-senandung yang merdu. Maka wajib memperingatkan
(kaum muslimin) dari nasyid-nasyid ini, dan wajib melarang penjualan dan
pendistribusiannya. Ditambah lagi keberadaan nasyid ini terkadang
berisi senandung yang membakar dan mengobarkan api fitnah dibarengi
dengan semangat yang ngawur, juga mengakibatkan ditaburkannya benih
perselisihan di kalangan muslimin.
Terkadang orang yang melariskan
nasyid-nasyid ini berdalil dengan perbuatan para shahabat yang
mengucapkan syair-syair di sisi Nabi dan beliau mendengarkan dan
menetapkannya. Maka dijawab bahwa syair-syair yang diucapkan di sisi
Rasulullah tidaklah disenandungkan dengan satu suara secara bersama-sama
seperti bentuk nyanyian. Juga, hal tersebut tidak dinamakan nasyid
Islami, tapi hanyalah syair-syair Arab yang berisi hikmah, permisalan,
gambaran keberanian dan kedermawanan. Para shahabat pun mendendangkannya
sendiri-sendiri karena dalam syair itu ada makna-makna yang telah kita
sebutkan. Mereka mengucapkan sebagian syair ketika sedang melakukan
pekerjaan yang melelahkan seperti membangun bangunan dan berjalan di
malam hari saat safar. Ini menunjukkan bahwa dibolehkannya jenis nasyid
yang demikian hanya dalam keadaan-keadaan yang khusus, bukan untuk
dijadikan sebagai satu bidang/bagian dari tarbiyah dan dakwah
sebagaimana kenyataan yang ada sekarang.” (Al-Khuthab Al-Minbariyyah, 3/184-185, sebagaimana dinukil dari catatan kaki Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 21)
Demikian perkataan ulama umat ini,
ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan keterangan ilmiah dan amanah
agama, mereka memaparkan keberadaan nasyid yang katanya Islami tersebut.
Sehingga seandainya ada yang membolehkan, itu pun dengan
ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan dan dipenuhi. Kita tidak
mengambil pandangan ahlul hawa wal bida’ karena pandangan mereka tidak
teranggap dan tidak punya nilai di mata umat ini. Selain itu, pandangan
mereka pasti menyelisihi ulama umat ini dengan membolehkannya. Sementara
pembolehan ini didukung dan bersumber dari hawa nafsu mereka, sama
sekali tidak ilmiah, sebagaimana akan disebutkan sebagiannya nanti insya
Allah subhanahu wata ala.
Adapun mengenai tamtsil (sandiwara,
drama, fragmen, lawak, pantomim, film ataupun dunia teater yang
sejenisnya) maka pengharamannya adalah dengan nash dan kesepakatan ulama
umat ini. Dan tidak ada dalil bagi mereka yang membolehkannya dengan
dalih mashalih [3] al-mursalah ataupun mashlahat da’wah, sebagaimana
penyeru hawa nafsu dan bid’ah pada zaman ini sering mendengungkan
kalimat yang haq ini, tetapi yang diinginkan adalah pembenaran terhadap
kebatilan. Sehingga pantas kalau kita katakan pada mereka: “Muutuu bi
kaidikum” (Matilah kalian dengan tipu daya kalian).
Di antara nash yang mencela dan
melarang tamtsil (meniru-niru dan memerankan seseorang) adalah hadits
‘Aisyah radhiallahu anda, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam
bersabda:
مَا أُحِبُّ أَنِّي حَكَيْتُ إِنْسَانًا، وَأَنَّ لِي كَذَا وَكَذَا
“Aku tidak suka menirukan seseorang, walaupun aku diberikan ini dan itu (dari dunia ini).” (HR. At-Tirmidzi no. 2503, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam kitab Al-Mu’jamul Mufashshal (2/1149-1150) dan At-Tamtsil
(hal. 18 dan 27) dinyatakan bahwasanya tamtsil itu asalnya dari Yunani
dan merupakan syiar peribadatan kepada berhala. Dan hal ini tidak ada
asalnya dalam Islam, tidak diketahui di kalangan kaum muslimin dan tidak
pula di kalangan orang-orang Arab sebelum Islam. Bahkan tamtsil ini
muncul dengan tiba-tiba dan berkembang pada abad ke-14 H yang menyelinap
dari gereja-gereja Nasrani, kemudian diadaptasi dalam panggung-panggung
teater dan hiburan, sehingga pada waktu itu barulah kaum muslimin
mengenalnya.
Asy-Syaikh yang mulia Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri
hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, mujahid dan dari ulama
ahli hadits, yang telah mendapatkan Jaizah (penghargaan) Malik Faisal
‘Alamiyah dari kerajaan Saudi Arabia karena pelayanan dan pembelaan
beliau terhadap agama ini), beliau berkata: “Memasukkan tamtsil sebagai
(bagian) dakwah ilallah tidaklah termasuk Sunnah dan petunjuk Rasul, dan
tidak pula dari Sunnah Al-Khulafa`ur Rasyidin. Tamtsil ini hanyalah
perkara yang diada-adakan pada zaman kita ini. Dan sungguh Rasul n telah
memberi peringatan terhadap perkara yang diada-adakan ini,
memerintahkan untuk menolaknya dan mengabarkan bahwa perkara tersebut
jelek dan sesat.” (Tahdzi rul ‘Aqil An-Nabil mimma Lifiqhil Mubihuna lit Tamtsil hal. 7-10, sebagaimana dinukil dari Al-Hujajul Qawiyyah hal. 67)
Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah mengatakan: “Apa yang dinamakan sandiwara Islami adalah
haram dan tidak diperbolehkan, karena sandiwara mengajak kepada
kedustaan dan penipuan. Sesuatu yang dibangun di atas kerusakan maka ia
pasti rusak. Lagi pula, sesuatu yang berupa khayalan tidak akan memberi
faedah kepada manusia. Sementara di sisi kita ada hakikat-hakikat
syariat (bukan khayalan) yang jauh lebih baik dalam mendidik manusia
daripada upaya pendidikan melalui khayalan. Ini adalah cara kaum
musyrikin. Dan ulama telah sepakat dalam ucapan mereka: ‘Setiap kebaikan
diperoleh dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan dihasilkan
dari mengikuti orang khalaf’.” (Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna, hal. 45)
Guru besar kami, ulama dan imam ahlul hadits dari negeri Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
rahimahullah, berkata tentang dakwah menggunakan sandiwara dan nasyid:
“Sandiwara (dan semisalnya –pent.) mendekati kedustaan, sekalipun ia
bukan dusta. Dan kami meyakini tentang keharamannya. Bersandiwara ini
tidaklah termasuk cara berdakwah menurut ulama kita yang terdahulu,
semoga Allah merahmati mereka. Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullah telah
meriwayatkan dalam Musnad-nya dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu
bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda:
أَشَدُّ
النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلاَثَةٌ: رَجُلٌ قَتَلَهُ نَبِيٌّ
أَوْ قَتَلَ نَبِيًّا، وَإِمَامٌ ضَلاَلَةٌ، وَمُمَثِّلٌ مِنَ
الْمُمَثِّلِيْنَ
“Manusia yang paling pedih azabnya
di hari kiamat nanti ada tiga: orang yang dibunuh oleh seorang nabi atau
ia membunuh seorang nabi, imam/pemimpin yang sesat, dan mumatstsil.”
Mumatstsil bisa dimaknakan orang yang
membuat gambar dan bisa pula orang yang menghikayatkan (memerankan)
perbuatan orang lain. Sebagaimana hal ini tersebut dalam kitab lughah
(bahasa), dan juga dipahami dari hadits:
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فِي الْيَقْظَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِنَبِيٍّ
“Siapa yang melihatku dalam mimpi
maka sungguh ia melihatku dalam keadaan terjaga (tidak tidur, yakni ia
berarti benar-benar melihatku), karena setan tidak bisa memerankan
dirinya seperti nabi (tidak bisa menyerupai nabi).” (Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 106-107)
Adapun lawak, yang sudah sangat jelas
membuat kebohongan untuk membuat manusia tertawa, maka Rasul shalallahu
alaihi wasalam bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ باِلْحَدِيْثِ لَيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang mengatakan
suatu ucapan untuk membuat manusia tertawa dengan ucapannya itu kemudian
dia berdusta. Celakalah dia, celakalah dia!” (HR. At-Tirmidzi no. 2315, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah mengatakan setelah membawakan hadits ini: “Ibnu Mas’ud
telah mengatakan: ‘Sesungguhnya kebohongan itu tidak layak dilakukan,
baik dalam keadaan sungguh-sungguh ataupun main-main’. Adapun ucapan
yang mengandung permusuhan di antara kaum muslimin, serta mengandung
sesuatu yang membahayakan agama, maka hal ini lebih berat lagi
pengharamannya. Dan bagaimanapun keadaannya, pelaku perbuatan ini –yakni
membuat orang tertawa dengan kebohongan– berhak mendapatkan hukuman
syar’i yang dapat membuatnya jera.” (Majmu’ Fatawa, 32/256)
Bandingkan penjelasan ulama umat ini,
dengan sunnah sayyiah yang dilakukan oleh hizbiyyun ikhwaniyyun. Dan
bandingkan dengan fatwa nyeleneh Dewan Syariah mereka [4] ketika ditanya
tentang seni pentas. Para doktor nyeleneh yang duduk dalam dewan fatwa
tersebut menyatakan bahwa seni merupakan bagian dari sarana hiburan yang
baik dan mendidik serta dapat dijadikan sarana dakwah yang potensial.
Dengan pertimbangan mereka yang
sempit, mereka menetapkan bahwa seni pentas dengan segala bentuknya
dibolehkan dalam Islam dengan memperhatikan batasan-batasan syariah [5].
Mereka juga membolehkan para da’i terjun dalam dunia film “Islami”.
Mereka menyatakan: “Keterlibatan para da’i dalam dunia film –sebagai
aktor dan aktris, selama tidak menimbulkan fitnah seperti aktor/ aktris
yang berakhlak jahiliyah atau keterlibatannya tidak mengundang image
negatif [6]– dalam kondisi Islami, maka menjadi boleh bahkan dapat
bernilai da’awi (dakwah), baik sebagai pemeran, penulis cerita/
skenario, sutradara, produser ataupun lainnya”. [7]
Mereka membolehkan para da’i menonton
film Islami baik itu berupa video, laser disc, VCD, penayangan di TV
pada bulan Ramadhan, di TIM atau di bioskop Islami [8]. Mereka
memfatwakan bolehnya lagu Islami, nyanyian yang baik, yang menggugah
semangat kerja, tidak jorok dan mengundang syahwat, dan menghalalkan
semua alat musik selama tidak melalaikan.
Mereka menyatakan pula bahwa
hadits-hadits yang terkait dengan hukum musik semuanya lemah, dan para
ulama salaf dari kalangan shahabat Nabi dan tabi’in menghalalkan alat
musik, karena para shahabat dan tabi’in tersebut melihat memang tidak
ada dalil yang menjelaskan baik dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga
hukum asalnya mubah [9].
Sunnah sayyiah mereka juga di tengah
kaum muslimin adalah memfatwakan bolehnya demonstrasi yang Islami bagi
lelaki dan perempuan –walaupun pada kenyataannya demonstrasi yang kita
dapati tersebut menyelisihi Islam dengan sendirinya, sebagaimana bisa
disaksikan dengan mata kepala kita, seperti terjadinya ikhtilath (campur
baur lelaki perempuan tanpa hijab), mengeluarkan wanita dari rumahnya
dengan tanpa kebutuhan syar’i, terjadinya fitnah wanita terhadap lelaki,
menyerupai orang-orang kafir, menyia-nyiakan waktu, menjadikan wanita
sebagai pajangan di depan umum, memecah belah barisan kaum muslimin,
membuat rakyat benci kepada pemimpinnya dan lain-lain– sebagai sarana
amar ma’ruf nahi mungkar menurut mereka, dengan mengambil pendalilan
yang salah dari Al-Qur`an, hadits Rasulullah n dan sangkaan mereka bahwa
Rasulullah dan para shahabatnya pernah melakukan demonstrasi [10].
Sungguh ini adalah kedustaan yang mereka ada-adakan atas nama Rasulullah
n dan para shahabatnya.
Mereka menyerukan kaum muslimin untuk
membuat partai politik dan menghalalkannya dengan menyatakan bahwa jalan
yang paling bagus untuk berdakwah adalah dengan berpartai. Pernyataan
mereka ini memberi kesan bahwa Rasulullah n dan para shahabatnya tidak
tahu cara terbaik dalam berdakwah, karena mereka tidak membuat partai
dan tidak mengajarkannya. Dan cukuplah kerusakan yang timbul dengan
adanya partai-partai Islam seperti terpecah belahnya kaum muslimin, dan
sekian banyak kerusakan/mafsadah lainnya.
Mereka membolehkan wanita tampil di
depan umum sebagai pembicara ketika dibutuhkan, juga duduk sebagai
fungsionaris partai dan duduk di parlemen bersama pria-pria yang bukan
mahramnya. Para aktivis laki-laki dan perempuan boleh berinteraksi satu
dengan lainnya selama bisa menjaga hati, kata mereka. Dan masih banyak
lagi dosa, kejahatan dan kebobrokan yang lain, yang kalau kita mau
membeberkannya tidak akan cukup di sini tempatnya, yang bisa dilihat
dari fatwa-fatwa dewan syariah mereka di buku ataupun di situs mereka
[11].
Kita katakan kepada mereka, silakan
kalian menuai buah dari sunnah sayyiah yang kalian lakukan berupa dosa
orang-orang yang mengikuti dakwah dan ajakan kalian sampai hari kiamat,
bila kalian tidak bertaubat dari perbuatan kalian, kemudian mengadakan
ishlah, perbaikan di tengah manusia setelah sebelumnya kalian mengadakan
kerusakan. Lebih dari semua ini, selain mereka telah salah dalam dakwah
menggunakan nasyid, sandiwara, demonstrasi dan sebagainya, gerakan
Al-Ikhwanul Muslimin ini –sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh yang
mulia Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah (Ulama besar abad
ini, Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Majelis Kibarul Ulama)– tidak
mempunyai semangat untuk berdakwah kepada tauhidullah, mengingkari
syirik dan bid’ah. Mereka memiliki cara-cara/metode yang khusus, namun
metode tersebut kurang, karena tidak adanya semangat untuk mengajak
manusia kepada Allah subhanahu wata ala, tidak adanya bimbingan/ajakan
kepada akidah yang shahihah seperti yang dipegangi oleh Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Mereka juga tidak memperhatikan As-Sunnah, tidak memperhatikan
hadits yang mulia dan hukum-hukum syar’iyyah yang dipegangi oleh salaful
ummah. (Catatan kaki Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 115)
Demikian gambaran ringkas dari kebobrokan Al-Ikhwanul Muflisin dan sunnah sayyiah yang mereka buat.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
----------------------------------------------
[1] HR. An-Nasa‘i dalam Sunannya no. 1578, kitab Al-’Iedain, bab Kaifal Khuthbah dari hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa‘i. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2002, kitab Al-Jum’ah, bab Raf’ush Shaut fil Khuthbah wa Ma Yaqulu fiha dari hadits Jabir juga namun tanpa lafadz: وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
[2]
Dengan alasan ini juga Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t
mengingkari nasyid tersebut, ditambah keberadaannya tidak didapatkan
dari pendahulu kita yang shalih dari kalangan shahabat nabi, tabi’in dan
atba’u tabi’in g. (Hadzihi Da’watuna Wa ‘Aqidatuna hal. 62-63)
[3]
Asy-Syaikh Dr. Abdus Salam bin Barjas t berkata: “Menentukan bahwa
suatu perkara termasuk kemaslahatan (atau bukan) merupakan perkara yang
sangat sulit. Karena terkadang seseorang menyangka ini adalah maslahat,
padahal tidak demikian. Oleh sebab itu, yang berkuasa memberikan
ketentuan bahwa ini masuk maslahat adalah ahlul ijtihad (ulama) yang
mempunyai sifat adil, pandangan yang mendalam terhadap hukum-hukum
syariah, dan maslahat demi maslahat yang sifatnya duniawi. Karena
menyatakan sesuatu termasuk maslahat, perlu ekstra hati-hati di dalam
menentukannya, dan perlu kewaspadaan yang sangat dari dominasi hawa
nafsu. Karena hawa nafsu –dalam banyak keadaan– menghiasi mafsadah
sehingga terlihat sebagai maslahat. Dan kebanyakan manusia tertipu
dengan sesuatu yang ternyata madharatnya lebih besar daripada sisi
kemanfaatannya.” (Al Hujajul Qawiyyah, hal. 55-56)
[4]
Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera, sementara PKS sendiri
adalah sebuah partai politik yang menjadi sarang Al-Ikhwanul Muslimin di
Indonesia.
[5] Dari buku mereka
Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera, bab 3. Fiqih
Kontemporer, fatwa no. 37, hal. 154-155.
[6] Bab 3. Fiqih Kontemporer, fatwa no. 38, hal. 157.[7] Bab 3. Fiqih Kontemporer, fatwa no. 38, hal. 156-157.
[8] Bab 3. Fiqih Kontemporer, fatwa no. 39, hal. 160.
[9] Bab 3. Fiqih Kontemporer, fatwa no. 43, hal. 178-187.
[10] Bab 4. Fiqih Siyasah, fatwa no. 48, hal. 210-214.
[11] Mudah-mudahan para santri kami diberi kelapangan untuk membantah kejahatan para doktor IM tersebut.
Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Majalah Syariah, Rubrik Hadits, 11 Januari 2006
Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Majalah Syariah, Rubrik Hadits, 11 Januari 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar