Sabtu, 04 Februari 2012

AOSA BESAR IKHWANUL MUSLIMIN TERHADAP UMAT INI

Dosa Besar Ikhwanul Muslimin Terhadap Umat Ini

Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pernah bersabda:


مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”

Takhrij : Hadits yang mulia di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.

Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyiah

Yang dimaksud dengan sunnah hasanah dalam sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

"Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam"

Yakni menempuh satu jalan yang diridhai, yang jalan tersebut ada contoh/asalnya dalam agama ini (bukan perkara yang diada-adakan/ bid’ah) dan akan menjadi contoh bagi orang lain.

Sedangkan sunnah sayyiah dalam sabda beliau:

ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً

"siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam"

Yakni jalan yang tidak diridhai yang tidak ada asalnya dalam agama ini.

(Diringkas dari Tuhfatul Ahwadzi, hal. 2034, kitab Al-’Ilm, bab Fi Man Da’a Ilal Huda Fatutbi’a aw Ila Dhalalah, Syarhu Sunan An-Nasa‘i lil Imam As-Sindi, 5/76)

Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian dengan pokok-pokok syar’i atau tidak (Syarhu Sunan Ibni Majah lil Imam As-Sindi 1/90).

Namun jangan dipahami dari hadits di atas bahwa ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyiah. Fadhilatusyaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, anggota Majelis Kibarul ‘Ulama, juga anggota Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa Kerajaan Saudi Arabia Lajnah Daimah) berkata: “Tidak ada dalil bagi orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah sayyiah (yang jelek). Karena yang namanya bid’ah itu semuanya sayyiah, dengan dalil sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam:


كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“Seluruh bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di dalam neraka." [1]

Adapun sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam:


مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

maka yang dimaksud adalah: "Siapa yang menghidupkan satu sunnah" bukan "Siapa yang menghidupkan satu bidah"

Nabi bersabda demikian disebabkan salah seorang shahabat beliau yang datang dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka berturut-turut memberikan sedekah.” Beliau juga menyatakan: “Hadits ini tidak menunjukkan sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid’ah hasanah) karena Nabi shalallahu alaihi wasalam dalam hadits tersebut tidak menyatakan:

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً

"Siapa yang mengada-adakan bid’ah hasanah", namun beliau shalallahu alaihi wasalam hanya menyatakan:


مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

"Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam"

Sementara sunnah bukanlah bid’ah. Sunnah adalah apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki dalil, demikianlah yang namanya sunnah. Maka barangsiapa yang mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah –dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada manusia dan menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut karena mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut, -pent.)–, maka ia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat. Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi. Beliau terenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi bersabda:


مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam...”

Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan bid’ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka.” (Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)

Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi n di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati, –pent.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”

Beliau rahimahullah juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)

Sunnah Hasanah Para Nabi dan Atsar Hamidah (Dampak Positif) Dakwah Mereka

Hadits di atas mencakup amalan dan perbuatan lainnya, dan mencakup pula perkataan, pendapat dan keyakinan. Sehingga, apapun amalan kebajikan yang ada dan sesuai dengan syariat ini, atau amalan apa saja yang didorong dan diridhai oleh syariat ini, bila dilakukan oleh seseorang lalu ditiru dan dicontoh oleh orang lain berarti ia telah melakukan sunnah hasanah. Dan ia pantas, dengan izin Allah k, mendapatkan janji yang tersebut dalam hadits:


مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً ...

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam...”

Para nabi dan rasul diutus oleh Allah k untuk mengajak manusia kepada cahaya dan petunjuk setelah sebelumnya manusia tenggelam dalam kegelapan dan kesesatan. Di tengah rusaknya umat manusia dan berkubangnya mereka dalam kesyirikan, kekufuran dan kebid’ahan, para nabi dan rasul ini tampil berdakwah mengajak mereka kembali kepada Allah k dengan mentauhidkan-Nya. Mereka mengadakan perbaikan di tengah kerusakan. Mereka tampil sebagai pribadi-pribadi yang mulia, berakhlak agung dan tinggi, yang menjadi suri teladan bagi umat manusia.

Di antara manusia ada yang menerima dakwah tersebut hingga mereka pun berpegang dengan tauhid dan meninggalkan kesyirikan. Bahkan di antara mereka ada yang mengikuti jejak rasul dengan berdakwah di tengah umat guna menyampaikan al-haq sebagaimana yang diajarkan para rasul tersebut.

Dan cukuplah sebagai contoh bagi kita semua di sini, dakwah Nabi kita Muhammad shalallahu alaihi wasalam di tengah masyarakat jahiliyyah, di tengah musyrikin Arab yang paganis dan sangat memuja leluhur mereka. Betapa tantangan besar beliau hadapi di awal dakwah dan betapa sedikit orang yang menolong dakwah beliau. Namun semuanya beliau hadapi dan jalani dengan penuh kesabaran dan keyakinan, yang juga pada akhirnya Allah k akan memenangkan al-haq dan melumatkan al-bathil. Sedikit demi sedikit, namun pasti, orang yang mengikuti dakwah beliau bertambah hingga akhirnya manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah k sebagaimana Allah k kabarkan dalam firman-Nya:


إِذَا جآءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.” (An-Nashr: 1-3)

Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menyampaikan dakwah tidak sebatas pada suku Quraisy, tapi juga kepada bangsa Arab lainnya. Bahkan kepada orang-orang ajam (non Arab), baik dari kalangan kaum musyrikin ataupun dari ahlul kitab dengan mengirimkan surat yang berisi ajakan kepada Islam. Beliau kirimkan da’i-da’i ke berbagai negeri untuk mengajari manusia tentang agama Allah subhanahu wata ala.

Demikianlah, sampai akhirnya Allah subhanahu wata ala wafatkan beliau dengan meninggalkan murid-murid dari kalangan shahabat g yang siap meneruskan dakwah beliau kepada umat. Para shahabat mengajari para tabi’in, para tabi’in mengajari atba’ut tabi’in, para atba’ut tabi’in mengajari orang-orang setelah mereka, dan seterusnya hingga zaman kita ini, dakwah Rasulullah n akhirnya tersampaikan. Agama beliau dipeluk, akhlak beliau ditiru, perjalanan hidup beliau dipelajari untuk menjadi teladan….

Sungguh beliau meninggalkan sunnah hasanah bagi umat ini hingga beliau mendapatkan pahala dari apa yang telah beliau amalkan dan perjuangkan, berikut pahala-pahala umat beliau sampai hari kiamat dari kalangan orang-orang yang yang beriman kepada beliau, membenarkan, mengikuti, dan mengamalkan ajaran beliau n.

Dakwah tauhid yang ditegakkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam meninggalkan atsar (pengaruh) yang baik pula, berupa persatuan dan kejayaan yang didapatkan oleh generasi awal umat ini dan keberkahan dalam kehidupan mereka, sebagaimana hal ini jelas bagi kita bila membaca sejarah umat ini. Demikianlah janji Allah k yang tertulis dalam kitab-Nya:


وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأََرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهْمَ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِيْ وَلاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan mengganti keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Ulama Pewaris Para Nabi

Setelah terputusnya nubuwwah, tampillah ahlul ilmi di setiap zaman dan tempat, yang berdakwah dengan dakwah para nabi dan rasul serta beramal dengan amalan mereka. Karena para ulama ini mewarisi ilmu para nabi dan rasul serta mengambil sunnah-sunnah mereka, maka dengan mereka inilah Allah subhanahu wata ala menegakkan hujjah-Nya kepada umat dan dengan mereka pula Allah k merahmati umat ini. Mereka menegakkan dakwah yang mubarakah (diberkahi) di tengah umat sehingga mereka pantas mendapatkan balasan yang pantas dan derajat yang tinggi di sisi Allah subhanahu wata ala. Mereka jadikan para rasul Allah subhanahu wata ala sebagai uswah hasanah dan qudwah shalihah. Mereka berdakwah kepada Allah subhanahu wata ala dengan hati yang ikhlas, lisan yang jujur dan amalan badan guna menyampaikan dakwah dengan penuh hikmah dan mau’izhah hasanah (memberikan nasehat yang baik), tanpa bosan, tanpa jemu, tanpa putus asa, tanpa ragu dan tanpa mengurang-ngurangi. (Al-Manhajul Qawim fit Ta‘assi bir Rasulil Karim, karya Syaikh yang mulia Zaid ibnu Muhammad Al-Madkhali, seorang ulama dan tokoh terkemuka dari Jizan, negeri di selatan Saudi Arabia, hal. 18-19)

Satu contoh dari ulama rabbani tersebut adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Beliau berdakwah dengan dakwah para nabi dan rasul, yakni dakwah tauhid mengajak manusia untuk mengesakan Allah dan menjauhi kesyirikan, di tengah masyarakatnya yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid’ahan, dan khurafat. Penentangan yang beliau hadapi sangat besar. Sampai akhirnya Allah menolong dakwah beliau dengan memberikan dukungan penguasa pada waktu itu terhadap dakwah beliau. Atsar (pengaruh) dakwah beliau yang paling nyata dan bisa kita lihat sampai hari ini adalah berdirinya negeri tauhid Mamlakah Saudi Arabia yang di sana ditegakkan syariat Islam dan diberlakukan hukum-hukum Allah.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah telah melakukan sunnah hasanah di tengah masyarakatnya yang telah melupakan tauhid dengan mengajak mereka kembali kepada tauhid. Banyak orang yang mengikuti dakwah beliau dan akhirnya terjun pula ke medan dakwah untuk mengajari umat dengan ilmu yang telah diajarkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Barakah dakwah beliau tidak hanya sebatas di negeri Saudi, bahkan sampai ke negeri-negeri lainnya dari negeri kaum muslimin termasuk negeri kita ini, dan negeri kafirin seperti Perancis, Inggris dan yang lainnya. Bahkan kitab-kitab para ulama Islam pun yang mendakwahkan Islam yang shahih yang terdahulu sampai sekarang –sebagai hasil dan manfaat dakwah beliau tersebar di penjuru negeri-negeri tersebut– dibaca dan dipelajari oleh kaum muslimin. Para pemuda Islam pun bersemangat kembali untuk mempelajari agama Allah azza wa jalla yang murni, kembali kepada apa yang dibawa dan dijalani oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan para shahabatnya. Kembali kepada pemahaman salafus shalih, menghidupkan sunnah, mempelajari, mengamalkan, dan mendakwahkannya.

Lihat sejarah beliau t yang begitu harum, yang ditulis para ulama kaum muslimin, di antaranya Al-Imam Muhammad ibnu Abdil Wahhab Da’watuhu wa Siratuhu oleh ulama besar diabad ini Mufti (ketua fatwa) Kerajaan Saudi Arabia Asy-Syaikh yang mulia Abdul ‘Aziz ibnu Baz rahimahullah, ‘Aqidah Muhammad ibnu Abdil Wahhab As-Salafiyyah oleh Rektor Universitas Islam Madinah Prof. Dr. Asy-Syaikh Shalih ibnu Abdillah Al-’Abud, Masyakil Da’wah Wad Du’at fi ‘Ashril Hadits oleh mantan Dekan Fak. Hadits dan Ketua Bagian Akidah, Program Pasca-sarjana Universitas Islam Madinah, Dr. Asy-Syaikh Muhammad Aman ibnu ‘Ali Al-Jami, Dahru Iftira`at Ahliz Zaigh Wal Irtiyab ‘an Da’watil Imam Muhammad ibnil Abdi Wahhab oleh mantan Ketua Bagian Sunnah pada Program Pascasarjana, Universitas Islam Madinah Prof. Dr. Syaikh Rabi’ ibnu Hadi Al-Madkhali hafizhahullah, dan yang lainnya. Demikianlah sunnah hasanah yang dilakukan oleh ulama rabbani dan atsar hamidah yang mereka tinggalkan.

Sunnah Sayyiah Hizbiyyun

Bila para ulama Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah melakukan sunnah hasanah di tengah umat, yang dilakukan oleh kaum hizbiyyun adalah sebaliknya. Di antaranya Al-Ikhwanul Muslimun (atau lebih pantasnya mereka disebut Al-Ikhwanul Muflisun, orang-orang yang bangkrut dunia dan agamanya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh guru besar kami, ulama dan imam ahlul hadits dari negeri Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah). Mereka melakukan sunnah sayyiah di tengah umat ini. Mereka tumbuhkan perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat agama ini di tengah umat, hingga mereka pantas mendapatkan ancaman dari sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam:


مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”

Di antara sunnah sayyiah yang diada-adakan dan didakwahkan oleh Ikhwanul Muflisin, mereka mengajak para pemuda untuk berdakwah dengan mendendangkan nasyid dan berdakwah dengan sandiwara, drama, ataupun sinetron. Dan lihatlah hari-hari ini pengaruh dari sunnah sayyiah mereka. Para pemuda membentuk grup-grup nasyid, dan maraknya pentas -atau yang biasa mereka sebut konser nasyid- di berbagai kota di negeri kita ini, sehingga para pemuda sibuk bernasyid ria. Sementara Al-Qur`an jarang mereka baca, kitab-kitab hadits dan ulama tidak pernah mereka telaah. Dengan nasyid, mereka telah dipalingkan dari perkara kebaikan dan amalan shalih. Konyolnya lagi, nasyid yang mereka namakan Islami tersebut diiringi dengan alat-alat musik muharramah (yang diharamkan). Dan para pemuda ini, sambil bergaya dan bergoyang di hadapan para wanita ataupun para akhwat yang menontonnya, mereka berupaya mengeluarkan segala upayanya dalam bidang tarik suara ini.

Dalam acara yang lain –walaupun menurut mereka adalah dalam rangkaian dakwah– para pemuda tersebut disibukkan dengan pentas drama, membintangi sinetron atau film. Sehingga di antara mereka ada yang kita dapati berperan sebagai Abu Bakr Ash-Shiddiq, sebagai ‘Umar Al-Faruq, sebagai ‘Utsman dan lainnya. Atau sebagai para tokoh musyrikin seperti Abu Jahal, Abu Lahab atau kafirin seperti Heraklius dan pasukannya, ataupun para Yahudi, bahkan seperti setan juga iblis la’natullah ‘alaihi. Dan sekali lagi, semua ini dalam anggapan mereka sebagai sarana untuk menyampaikan dakwah kepada umat ini. Mereka tidak peduli dengan keharaman yang mereka langgar karena kaidah yang mereka pegangi: untuk mencapai tujuan boleh menghalalkan segala cara. Untuk berdakwah, menyampaikan Islam kepada umat, boleh memakai cara-cara yang haram.

Ulama besar terkemuka di dunia ini, imam dan guru besar imam-imam ahlul hadits pada zaman ini, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah ketika ditanya tentang nasyid Islami atau diniyah, beliau memberikan komentarnya: “Yang kami lihat atas apa yang dinamakan nasyid diniyah pada hari ini, sebenarnya dulunya merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada tarekat sufiyah. Namun kebanyakan para pemuda yang beriman dulunya juga mengingkarinya, karena dalam nasyid tersebut terdapat pujian yang melampaui batas kepada Rasul dan ber-istighatsah kepada beliau, tidak kepada Allah. Kemudian muncul dan berkembanglah nasyid-nasyid baru. Dan menurut keyakinanku, ini adalah pengembangan dari nasyid-nasyid terdahulu tersebut, walaupun ada beberapa perubahan seperti menjauhi senandung kesyirikan dan pemujaan kepada selain Allah yang didapati pada senandung nasyid-nasyid terdahulu.” (dari kitab Hadzihi Da’watuna Wa ‘Aqidatuna hal. 52-53)

Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Siapa saja yang mau membahas dan meneliti di dalam Kitabullah, hadits Rasul ataupun petunjuk dan jalan salafus shalih, mutlak dia tidak akan mendapati apa yang dinamakan nasyid diniyah ini, walaupun mungkin sudah ada perubahan pada senandung nasyid tersebut dari nasyid-nasyid dahulu yang mengandung (perbuatan) melampaui batas memuja dan menyanjung kepada Rasul.” (Hadzihi Da’watuna Wa ‘Aqidatuna, hal. 62)

Syaikh yang mulia Muhammad ibnu ‘Utsaimin rahimahullah (Anggota Dewan Majelis Kibarul Ulama Kerajaan Saudi Arabia) berkata: “Nasyid Islami (yang digandrungi orang-orang saat ini) adalah nasyid bid’ah. Hal ini menyerupai apa yang diada-adakan kalangan sufi. Oleh karena itu, sepantasnya (seseorang) berpaling dari nasyid tersebut kepada nasehat-nasehat yang datang dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kecuali di medan-medan peperangan yang dibutuhkan penyemangat untuk maju ke garis terdepan atau ketika berjihad di jalan Allah k, maka hal ini tentunya baik. Dan apabila nasyid tersebut diiringi dengan duff (rebana), tentunya lebih jauh lagi dari kebenaran.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 21-22)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Adapun hukum nasyid, kami memandang (agar) tidak diamalkan dan tidak didengarkan, karena:

(1) Melalaikan manusia dari (mendengar dan membaca,–pen.) Al-Qur`an dan mengambil nasehat darinya [2]. Dalam kesempatan yang lain beliau berkata: “Memalingkan hati manusia dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang dari keduanya diperoleh nasehat yang hakiki, sehingga nasyid tidak sepantasnya dijadikan sebagai nasehat oleh seseorang.”
(2) Menyerupai lagu-lagu dan nyanyian secara sempurna, sebagaimana disampaikan kepadaku bahwasanya sekarang nasyid telah digubah menjadi senandung lagu dan nyanyian.
(3) Manusia dibuat terlena dan mabuk kepayang dengannya. Sebagaimana mereka juga dibuat seakan-akan beribadah, kembali dan tunduk (kepada Allah) dengan nasyid tersebut. Dan demikianlah yang sering kita dapati dari nasyid tersebut. Oleh karena itu, kami memandang agar manusia tidak mendengarkannya dan tidak menjadikannya sebagai suatu kesenangan. Akan tetapi, jika suatu saat mereka merasakan lemah jiwanya dan ingin mendengarkannya (untuk menghibur diri dan menguatkannya), maka tidak mengapa dengan syarat nasyid tersebut tidak diiringi alat-alat musik. Dan dalam kesempatan yang lain beliau menyatakan:
“Tidak disenandungkan sebagaimana lagu dan nyayian ataupun menggunakan alat-alat musik, karena yang demikian diharamkan.”
(4) Nasyid merupakan agama warisan kaum sufiyah. Karena merekalah yang mengumpulkan dzikir-dzikir mereka semisal nasyid-nasyid ini.

(Bayanul Mufid fi Hukmit Tamtsil wal Anasyid hal. 10 dan 12, dinukil dari kitab Fatawa ‘Ulamal Islam Al-Amjad fi Hukmit Tamtsil wal Insyad hal. 15-16)

Asy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, anggota Majelis Kibarul Ulama, juga anggota Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) berkata: “Perkara yang pantas mendapatkan peringatan adalah apa yang beredar di kalangan para pemuda yang agamis berupa kaset-kaset rekaman nasyid yang didendangkan secara bersama-sama, satu suara, yang mereka istilahkan Al-Anasyid Al-Islamiyyah (nasyid-nasyid Islami). Padahal sungguh ini merupakan satu jenis nyanyian. Bahkan terkadang nasyid itu didendangkan dengan suara yang membuat fitnah. Nasyid ini dijual di toko-toko bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`anul Karim dan muhadharah diniyyah (ceramah agama).

Penamaan nasyid ini dengan nasyid Islami adalah penamaan yang salah. Karena Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada kita, namun yang disyariatkan adalah dzikrullah, membaca Al-Qur`an dan mempelajari ilmu yang bermanfaat.

Adapun nasyid, maka ia berasal dari agama bid’ah sufiyyah, yang mereka menjadikan agama mereka sebagai permainan dan sesuatu yang sia-sia. Menjadikan nasyid sebagai bagian dari agama merupakan perbuatan tasyabbuh (penyerupaan) dengan Nasrani, yang menjadikan agama mereka sebagai nyanyian secara berkelompok (paduan suara) dan senandung-senandung yang merdu. Maka wajib memperingatkan (kaum muslimin) dari nasyid-nasyid ini, dan wajib melarang penjualan dan pendistribusiannya. Ditambah lagi keberadaan nasyid ini terkadang berisi senandung yang membakar dan mengobarkan api fitnah dibarengi dengan semangat yang ngawur, juga mengakibatkan ditaburkannya benih perselisihan di kalangan muslimin.

Terkadang orang yang melariskan nasyid-nasyid ini berdalil dengan perbuatan para shahabat yang mengucapkan syair-syair di sisi Nabi dan beliau mendengarkan dan menetapkannya. Maka dijawab bahwa syair-syair yang diucapkan di sisi Rasulullah tidaklah disenandungkan dengan satu suara secara bersama-sama seperti bentuk nyanyian. Juga, hal tersebut tidak dinamakan nasyid Islami, tapi hanyalah syair-syair Arab yang berisi hikmah, permisalan, gambaran keberanian dan kedermawanan. Para shahabat pun mendendangkannya sendiri-sendiri karena dalam syair itu ada makna-makna yang telah kita sebutkan. Mereka mengucapkan sebagian syair ketika sedang melakukan pekerjaan yang melelahkan seperti membangun bangunan dan berjalan di malam hari saat safar. Ini menunjukkan bahwa dibolehkannya jenis nasyid yang demikian hanya dalam keadaan-keadaan yang khusus, bukan untuk dijadikan sebagai satu bidang/bagian dari tarbiyah dan dakwah sebagaimana kenyataan yang ada sekarang.” (Al-Khuthab Al-Minbariyyah, 3/184-185, sebagaimana dinukil dari catatan kaki Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 21)

Demikian perkataan ulama umat ini, ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan keterangan ilmiah dan amanah agama, mereka memaparkan keberadaan nasyid yang katanya Islami tersebut. Sehingga seandainya ada yang membolehkan, itu pun dengan ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan dan dipenuhi. Kita tidak mengambil pandangan ahlul hawa wal bida’ karena pandangan mereka tidak teranggap dan tidak punya nilai di mata umat ini. Selain itu, pandangan mereka pasti menyelisihi ulama umat ini dengan membolehkannya. Sementara pembolehan ini didukung dan bersumber dari hawa nafsu mereka, sama sekali tidak ilmiah, sebagaimana akan disebutkan sebagiannya nanti insya Allah subhanahu wata ala.

Adapun mengenai tamtsil (sandiwara, drama, fragmen, lawak, pantomim, film ataupun dunia teater yang sejenisnya) maka pengharamannya adalah dengan nash dan kesepakatan ulama umat ini. Dan tidak ada dalil bagi mereka yang membolehkannya dengan dalih mashalih [3] al-mursalah ataupun mashlahat da’wah, sebagaimana penyeru hawa nafsu dan bid’ah pada zaman ini sering mendengungkan kalimat yang haq ini, tetapi yang diinginkan adalah pembenaran terhadap kebatilan. Sehingga pantas kalau kita katakan pada mereka: “Muutuu bi kaidikum” (Matilah kalian dengan tipu daya kalian).

Di antara nash yang mencela dan melarang tamtsil (meniru-niru dan memerankan seseorang) adalah hadits ‘Aisyah radhiallahu anda, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda:

مَا أُحِبُّ أَنِّي حَكَيْتُ إِنْسَانًا، وَأَنَّ لِي كَذَا وَكَذَا

“Aku tidak suka menirukan seseorang, walaupun aku diberikan ini dan itu (dari dunia ini).” (HR. At-Tirmidzi no. 2503, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dalam kitab Al-Mu’jamul Mufashshal (2/1149-1150) dan At-Tamtsil (hal. 18 dan 27) dinyatakan bahwasanya tamtsil itu asalnya dari Yunani dan merupakan syiar peribadatan kepada berhala. Dan hal ini tidak ada asalnya dalam Islam, tidak diketahui di kalangan kaum muslimin dan tidak pula di kalangan orang-orang Arab sebelum Islam. Bahkan tamtsil ini muncul dengan tiba-tiba dan berkembang pada abad ke-14 H yang menyelinap dari gereja-gereja Nasrani, kemudian diadaptasi dalam panggung-panggung teater dan hiburan, sehingga pada waktu itu barulah kaum muslimin mengenalnya.

Asy-Syaikh yang mulia Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, mujahid dan dari ulama ahli hadits, yang telah mendapatkan Jaizah (penghargaan) Malik Faisal ‘Alamiyah dari kerajaan Saudi Arabia karena pelayanan dan pembelaan beliau terhadap agama ini), beliau berkata: “Memasukkan tamtsil sebagai (bagian) dakwah ilallah tidaklah termasuk Sunnah dan petunjuk Rasul, dan tidak pula dari Sunnah Al-Khulafa`ur Rasyidin. Tamtsil ini hanyalah perkara yang diada-adakan pada zaman kita ini. Dan sungguh Rasul n telah memberi peringatan terhadap perkara yang diada-adakan ini, memerintahkan untuk menolaknya dan mengabarkan bahwa perkara tersebut jelek dan sesat.” (Tahdzi rul ‘Aqil An-Nabil mimma Lifiqhil Mubihuna lit Tamtsil hal. 7-10, sebagaimana dinukil dari Al-Hujajul Qawiyyah hal. 67)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Apa yang dinamakan sandiwara Islami adalah haram dan tidak diperbolehkan, karena sandiwara mengajak kepada kedustaan dan penipuan. Sesuatu yang dibangun di atas kerusakan maka ia pasti rusak. Lagi pula, sesuatu yang berupa khayalan tidak akan memberi faedah kepada manusia. Sementara di sisi kita ada hakikat-hakikat syariat (bukan khayalan) yang jauh lebih baik dalam mendidik manusia daripada upaya pendidikan melalui khayalan. Ini adalah cara kaum musyrikin. Dan ulama telah sepakat dalam ucapan mereka: ‘Setiap kebaikan diperoleh dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan dihasilkan dari mengikuti orang khalaf’.” (Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna, hal. 45)

Guru besar kami, ulama dan imam ahlul hadits dari negeri Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, berkata tentang dakwah menggunakan sandiwara dan nasyid: “Sandiwara (dan semisalnya –pent.) mendekati kedustaan, sekalipun ia bukan dusta. Dan kami meyakini tentang keharamannya. Bersandiwara ini tidaklah termasuk cara berdakwah menurut ulama kita yang terdahulu, semoga Allah merahmati mereka. Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullah telah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda:


أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلاَثَةٌ: رَجُلٌ قَتَلَهُ نَبِيٌّ أَوْ قَتَلَ نَبِيًّا، وَإِمَامٌ ضَلاَلَةٌ، وَمُمَثِّلٌ مِنَ الْمُمَثِّلِيْنَ

“Manusia yang paling pedih azabnya di hari kiamat nanti ada tiga: orang yang dibunuh oleh seorang nabi atau ia membunuh seorang nabi, imam/pemimpin yang sesat, dan mumatstsil.”

Mumatstsil bisa dimaknakan orang yang membuat gambar dan bisa pula orang yang menghikayatkan (memerankan) perbuatan orang lain. Sebagaimana hal ini tersebut dalam kitab lughah (bahasa), dan juga dipahami dari hadits:


مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فِي الْيَقْظَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِنَبِيٍّ

“Siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia melihatku dalam keadaan terjaga (tidak tidur, yakni ia berarti benar-benar melihatku), karena setan tidak bisa memerankan dirinya seperti nabi (tidak bisa menyerupai nabi).” (Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 106-107)

Adapun lawak, yang sudah sangat jelas membuat kebohongan untuk membuat manusia tertawa, maka Rasul shalallahu alaihi wasalam bersabda:


وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ باِلْحَدِيْثِ لَيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah orang yang mengatakan suatu ucapan untuk membuat manusia tertawa dengan ucapannya itu kemudian dia berdusta. Celakalah dia, celakalah dia!” (HR. At-Tirmidzi no. 2315, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan setelah membawakan hadits ini: “Ibnu Mas’ud telah mengatakan: ‘Sesungguhnya kebohongan itu tidak layak dilakukan, baik dalam keadaan sungguh-sungguh ataupun main-main’. Adapun ucapan yang mengandung permusuhan di antara kaum muslimin, serta mengandung sesuatu yang membahayakan agama, maka hal ini lebih berat lagi pengharamannya. Dan bagaimanapun keadaannya, pelaku perbuatan ini –yakni membuat orang tertawa dengan kebohongan– berhak mendapatkan hukuman syar’i yang dapat membuatnya jera.” (Majmu’ Fatawa, 32/256)

Bandingkan penjelasan ulama umat ini, dengan sunnah sayyiah yang dilakukan oleh hizbiyyun ikhwaniyyun. Dan bandingkan dengan fatwa nyeleneh Dewan Syariah mereka [4] ketika ditanya tentang seni pentas. Para doktor nyeleneh yang duduk dalam dewan fatwa tersebut menyatakan bahwa seni merupakan bagian dari sarana hiburan yang baik dan mendidik serta dapat dijadikan sarana dakwah yang potensial.

Dengan pertimbangan mereka yang sempit, mereka menetapkan bahwa seni pentas dengan segala bentuknya dibolehkan dalam Islam dengan memperhatikan batasan-batasan syariah [5]. Mereka juga membolehkan para da’i terjun dalam dunia film “Islami”. Mereka menyatakan: “Keterlibatan para da’i dalam dunia film –sebagai aktor dan aktris, selama tidak menimbulkan fitnah seperti aktor/ aktris yang berakhlak jahiliyah atau keterlibatannya tidak mengundang image negatif [6]– dalam kondisi Islami, maka menjadi boleh bahkan dapat bernilai da’awi (dakwah), baik sebagai pemeran, penulis cerita/ skenario, sutradara, produser ataupun lainnya”. [7]

Mereka membolehkan para da’i menonton film Islami baik itu berupa video, laser disc, VCD, penayangan di TV pada bulan Ramadhan, di TIM atau di bioskop Islami [8]. Mereka memfatwakan bolehnya lagu Islami, nyanyian yang baik, yang menggugah semangat kerja, tidak jorok dan mengundang syahwat, dan menghalalkan semua alat musik selama tidak melalaikan.

Mereka menyatakan pula bahwa hadits-hadits yang terkait dengan hukum musik semuanya lemah, dan para ulama salaf dari kalangan shahabat Nabi dan tabi’in menghalalkan alat musik, karena para shahabat dan tabi’in tersebut melihat memang tidak ada dalil yang menjelaskan baik dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga hukum asalnya mubah [9].

Sunnah sayyiah mereka juga di tengah kaum muslimin adalah memfatwakan bolehnya demonstrasi yang Islami bagi lelaki dan perempuan –walaupun pada kenyataannya demonstrasi yang kita dapati tersebut menyelisihi Islam dengan sendirinya, sebagaimana bisa disaksikan dengan mata kepala kita, seperti terjadinya ikhtilath (campur baur lelaki perempuan tanpa hijab), mengeluarkan wanita dari rumahnya dengan tanpa kebutuhan syar’i, terjadinya fitnah wanita terhadap lelaki, menyerupai orang-orang kafir, menyia-nyiakan waktu, menjadikan wanita sebagai pajangan di depan umum, memecah belah barisan kaum muslimin, membuat rakyat benci kepada pemimpinnya dan lain-lain– sebagai sarana amar ma’ruf nahi mungkar menurut mereka, dengan mengambil pendalilan yang salah dari Al-Qur`an, hadits Rasulullah n dan sangkaan mereka bahwa Rasulullah dan para shahabatnya pernah melakukan demonstrasi [10]. Sungguh ini adalah kedustaan yang mereka ada-adakan atas nama Rasulullah n dan para shahabatnya.

Mereka menyerukan kaum muslimin untuk membuat partai politik dan menghalalkannya dengan menyatakan bahwa jalan yang paling bagus untuk berdakwah adalah dengan berpartai. Pernyataan mereka ini memberi kesan bahwa Rasulullah n dan para shahabatnya tidak tahu cara terbaik dalam berdakwah, karena mereka tidak membuat partai dan tidak mengajarkannya. Dan cukuplah kerusakan yang timbul dengan adanya partai-partai Islam seperti terpecah belahnya kaum muslimin, dan sekian banyak kerusakan/mafsadah lainnya.

Mereka membolehkan wanita tampil di depan umum sebagai pembicara ketika dibutuhkan, juga duduk sebagai fungsionaris partai dan duduk di parlemen bersama pria-pria yang bukan mahramnya. Para aktivis laki-laki dan perempuan boleh berinteraksi satu dengan lainnya selama bisa menjaga hati, kata mereka. Dan masih banyak lagi dosa, kejahatan dan kebobrokan yang lain, yang kalau kita mau membeberkannya tidak akan cukup di sini tempatnya, yang bisa dilihat dari fatwa-fatwa dewan syariah mereka di buku ataupun di situs mereka [11].

Kita katakan kepada mereka, silakan kalian menuai buah dari sunnah sayyiah yang kalian lakukan berupa dosa orang-orang yang mengikuti dakwah dan ajakan kalian sampai hari kiamat, bila kalian tidak bertaubat dari perbuatan kalian, kemudian mengadakan ishlah, perbaikan di tengah manusia setelah sebelumnya kalian mengadakan kerusakan. Lebih dari semua ini, selain mereka telah salah dalam dakwah menggunakan nasyid, sandiwara, demonstrasi dan sebagainya, gerakan Al-Ikhwanul Muslimin ini –sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh yang mulia Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah (Ulama besar abad ini, Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Majelis Kibarul Ulama)– tidak mempunyai semangat untuk berdakwah kepada tauhidullah, mengingkari syirik dan bid’ah. Mereka memiliki cara-cara/metode yang khusus, namun metode tersebut kurang, karena tidak adanya semangat untuk mengajak manusia kepada Allah subhanahu wata ala, tidak adanya bimbingan/ajakan kepada akidah yang shahihah seperti yang dipegangi oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka juga tidak memperhatikan As-Sunnah, tidak memperhatikan hadits yang mulia dan hukum-hukum syar’iyyah yang dipegangi oleh salaful ummah. (Catatan kaki Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 115)

Demikian gambaran ringkas dari kebobrokan Al-Ikhwanul Muflisin dan sunnah sayyiah yang mereka buat.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

----------------------------------------------

[1] HR. An-Nasa‘i dalam Sunannya no. 1578, kitab Al-’Iedain, bab Kaifal Khuthbah dari hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa‘i. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2002, kitab Al-Jum’ah, bab Raf’ush Shaut fil Khuthbah wa Ma Yaqulu fiha dari hadits Jabir juga namun tanpa lafadz: وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
[2] Dengan alasan ini juga Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t mengingkari nasyid tersebut, ditambah keberadaannya tidak didapatkan dari pendahulu kita yang shalih dari kalangan shahabat nabi, tabi’in dan atba’u tabi’in g. (Hadzihi Da’watuna Wa ‘Aqidatuna hal. 62-63)
[3] Asy-Syaikh Dr. Abdus Salam bin Barjas t berkata: “Menentukan bahwa suatu perkara termasuk kemaslahatan (atau bukan) merupakan perkara yang sangat sulit. Karena terkadang seseorang menyangka ini adalah maslahat, padahal tidak demikian. Oleh sebab itu, yang berkuasa memberikan ketentuan bahwa ini masuk maslahat adalah ahlul ijtihad (ulama) yang mempunyai sifat adil, pandangan yang mendalam terhadap hukum-hukum syariah, dan maslahat demi maslahat yang sifatnya duniawi. Karena menyatakan sesuatu termasuk maslahat, perlu ekstra hati-hati di dalam menentukannya, dan perlu kewaspadaan yang sangat dari dominasi hawa nafsu. Karena hawa nafsu –dalam banyak keadaan– menghiasi mafsadah sehingga terlihat sebagai maslahat. Dan kebanyakan manusia tertipu dengan sesuatu yang ternyata madharatnya lebih besar daripada sisi kemanfaatannya.” (Al Hujajul Qawiyyah, hal. 55-56)
[4] Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera, sementara PKS sendiri adalah sebuah partai politik yang menjadi sarang Al-Ikhwanul Muslimin di Indonesia.
[5] Dari buku mereka Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera, bab 3. Fiqih Kontemporer, fatwa no. 37, hal. 154-155.
[6] Bab 3. Fiqih Kontemporer, fatwa no. 38, hal. 157.
[7] Bab 3. Fiqih Kontemporer, fatwa no. 38, hal. 156-157.
[8] Bab 3. Fiqih Kontemporer, fatwa no. 39, hal. 160.
[9] Bab 3. Fiqih Kontemporer, fatwa no. 43, hal. 178-187.
[10] Bab 4. Fiqih Siyasah, fatwa no. 48, hal. 210-214.
[11] Mudah-mudahan para santri kami diberi kelapangan untuk membantah kejahatan para doktor IM tersebut.

Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Majalah Syariah, Rubrik Hadits, 11 Januari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar