Rabu, 15 Februari 2012

SANAD ANTARA YANG BERLEBIHAN DAN YANG MEREMEHKAN

Sanad Antara yang Berlebihan dan Meremehkan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal)

Telah kami paparkan pada pembahasan sebelumnya tentang pentingnya sanad dalam menetapkan keabsahan sebuah riwayat. Akan tetapi, ada kelompok yang menyimpang dalam memahami kedudukan sanad dalam periwayatan tersebut. Dalam hal ini, kita dapat mengklasifikasi kelompok tersebut menjadi dua bagian. 1. Kelompok yang menganggap bahwa sanad tidak penting dalam penukilan 2. Kelompok yang berlebihan dalam menjadikan sanad sebagai landasan pemahaman Kelompok pertama adalah orang-orang yang tidak beramal dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sandaran amalan mereka dibangun di atas perasaan yang muncul dan getaran jiwa, yang mereka sebut “ilmu batin”, “ilmu ladunni”, atau “ilmu kasyaf”, dan yang semisalnya. Di antara ucapan mereka, “Saya tidak mengambil ilmu dari orang yang sudah mati, namun saya hanya mengambil dari Yang Mahahidup.” Yang lain mengatakan: “Hatiku telah memberitakan dari Rabb-ku.” Ibnu Hajar al-Asqalani t berkata setelah menyebutkan ucapan mereka ini, “Semua ucapan itu adalah kekufuran berdasarkan kesepakatan para ulama yang mengerti syariat.” (Fathul Bari, 1/222) Beliau t juga berkata, “Sebagian mereka berlebihan dan berkata, ‘Hatiku telah memberitakan dari Rabb-ku.’ Ini kesalahannya lebih fatal, karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa yang memberitakan kepada hatinya (ternyata) adalah setan. Wallahul musta’an.” (Fathul Bari, 11/345) Ibnul Qayyim t mengatakan, “Orang-orang bodoh ini melihat hal terkecil saja lalu menghukumi berdasarkan perasaannya melebihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dia tidak menoleh sedikit pun kepada keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah, pen.) dan berkata, ‘Hatiku telah memberitakan kepadaku dari Rabb-ku,’ ‘Kami mengambil (ilmu) dari Yang Mahahidup yang tidak pernah mati, sementara kalian mengambilnya melalui perantara,’ ‘Kami mengambil hakikatnya, sementara kalian hanya mengikuti rambu-rambu,’ dan ucapan semisalnya yang merupakan kekufuran dan ilhad (penyimpangan). Paling tidak, pelakunya dihukumi jahil yang dia diberi uzur karena kejahilannya. Dikatakan kepada sebagian mereka, ‘Tidakkah kamu tidak pergi untuk mendengar hadits dari Abdurrazzaq?’ Dia menjawab, ‘Apa gunanya orang yang telah mendengar langsung dari Maha Penguasa dan Pencipta, mendengar hadits dari Abdurrazzaq?’.” Ini merupakan tingkat kebodohan tertinggi, karena yang mendengar langsung dari Maha Penguasa dan Pencipta adalah Musa Kalimullah. Adapun orang ini dan semisalnya—yang tidak pernah mendengar hadits dari sebagian pewaris ilmu Rasul (para ulama, pen.)—tiba-tiba mengaku mendengar langsung dari yang mengutus Rasul (Allah l, pen.), sehingga dia merasa tidak lagi butuh kepada ilmu zahir. Mungkin saja yang berbicara kepada mereka adalah setan atau bisikan jiwanya yang bodoh, atau kedua hal itu sekaligus. Barang siapa yang menyangka bahwa dia tidak membutuhkan apa yang dibawa oleh Rasul n dan merasa cukup dengan bisikan dan perasaan hatinya, dia adalah manusia yang paling besar kekafirannya.” (Ighatsah al-Lahafan, Ibnul Qayyim,1/122-123) Kelompok kedua adalah orang-orang yang menganggap bahwa tidak sah ilmu dan keislaman seseorang kecuali apabila dia mengambilnya dengan cara sanad. Sebagian mereka mengistilahkan dengan “manqul.” Seperti halnya Islam Jamaah—di Indonesia lebih dikenal dengan nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)—yang membangun pemahamannya di atas ajaran manqul ini. Menurut pengakuan Nur Hasan Ubaidah, sang pendiri jamaah ini, ilmu itu tidak sah (tidak bernilai) sebagai ilmu agama kecuali ilmu yang disahkan oleh Nur Hasan Ubaidah dengan cara manqul, alias mengaji secara menukil (mengambil sanad) dari mulut ke mulut, dari Nur Hasan sampai kepada Rasulullah n, lalu ke Malaikat Jibril, yang langsung kepada Allah l. (Bahaya Islam Jamaah hlm. 44) Ini jelas merupakan pemahaman yang batil ditinjau dari beberapa sisi. 1. Zaman meriwayatkan hadits telah berlalu. Pentingnya ilmu sanad pada masa itu adalah untuk menjernihkan hadits-hadits Rasulullah n dari berbagai upaya pemalsuan yang disandarkan kepada beliau n. Setelah para ulama membukukan hadits-hadits dalam kitab-kitab seperti Shahih al-Bukhari dan Muslim, kitab-kitab Sunan, kitab-kitab Jami’, Musnad, Mu’jam, dan yang lainnya—setelah berlalunya zaman riwayat tersebut—sanad sudah tidak terlalu urgen dibandingkan zaman riwayat. Ya, para ulama ada yang masih memiliki sanad periwayatan sampai kepada kitab-kitab hadits tersebut, namun hanya sekadar memelihara sanad, tanpa memerhatikan keadaan seorang perawi apakah dia tepercaya atau tidak. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Shalah t. Beliau t berkata, “Pada masa ini sudah tidak mungkin mengetahui hadits yang sahih dengan hanya bersandar kepada sanad, karena tidak satu pun sanad tersebut melainkan engkau mendapati perawinya—yang dijadikan sandaran dalam kitab tersebut—tidak memenuhi syarat disahihkannya sebuah hadits, baik hafalan maupun ketelitian. Oleh karena itu, cara untuk mengenal hadits sahih dan hasan adalah dengan bersandar kepada ucapan para imam hadits dalam karya mereka yang masyhur, yang dijadikan rujukan dan selamat dari perubahan. Jadi, tujuan inti adanya sanad—yang telah keluar dari jalur riwayat tersebut—sekadar menjaga adanya sanad tersebut yang merupakan kekhususan umat ini.” (Muqaddamah Ibnu Shalah, bersama Taqyid wal Idhah, Al-Iraqi hlm. 24) 2. Para ulama menjaga sanad untuk memelihara kemurnian dua wahyu, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan untuk meyakini bahwa yang belajar agama tanpa memiliki sanad berarti ilmunya tidak sah atau Islamnya tidak sah. Tidak semua kaum muslimin sejak zaman dahulu memiliki sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah n. 3. Pada hakikatnya, pemahaman ini bertujuan mengajak para pengikutnya untuk bersikap fanatik pada kelompoknya dan meyakini bahwa yang tidak bersama kelompoknya adalah kafir dan keluar dari Islam, karena telah belajar agama tanpa jalur manqul model mereka. Ini merupakan manhaj takfir warisan kaum Khawarij. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar