Jarh Wa Ta'dil: Upaya Memurnikan Agama
Setelah menerangkan penyimpangan manhaj Ikhwanul Muslimin. Seseorang bertanya kepadaku:
Bukannya kita masih saudara satu
iman? Kenapa harus mengingatkan dengan cara seperti ini? Kesannya
seperti kita ini adalah musuh. Bukankah hanya Allah yang berhak
menyatakan seseorang/sekelompok orang itu berdosa atau tidak? Kenapa
harus mengingatkan dengan langsung menjudge? Apakah anda sudah yakin
yang anda ikuti benar 100% benar? Bukankah segala sesuatu itu ada
kekurangannya? Dan Allah lah Yang Paling Sempurna. Kenapa harus
mengingatkan dengan membeberkan semua kekurangan orang tanpa melihat
kebaikan orang tersebut, atau mengingat kekurangan diri sendiri?
Saudaraku, alangkah baiknya kita berlomba-lomba dalam kebaikan dengan
Allah sajalah yang jadi jurinya.. dan jika ada kesalahan saudaramu,
ingatkanlah dengan cara yang ahsan.
Maka Aku katakan:
Segala puji bagi Allah, kami
memuji, memohon pertolongan dan meminta ampun kepada-Nya. Kami
berlindung kepada Allah dari kejelekan diri-diri kami dan dari keburukan
amalan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak
ada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang
disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya
petunjuk. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain
Allah yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Semoga shalawat senantiasa tercurah
kepada beliau, keluarga beliau dan para sahabat beliau dan kepada yang
mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat. Amma ba’du.
Wahai saudaraku, Sesungguhnya
bagi orang yang mau mengenal manhaj salaf (metodologi salaf dalam
beragama) dan menyadari adanya silang pendapat di antara jama'ah-jama'ah
Islami, tidaklah sulit untuk mengenali al haq dalam masalah kita ini.
Karena Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pernah bersabda,
"Aku tinggalkan kamu di atas
kejelasan yang putih cemerlang, malam seperti siangnya, tidak menyimpang
dari kecuali orang yang binasa." (HR. Ibnu Majah (1/16), Ahmad (4/126), Al Hakim (1/175), Ath Thabrani dalam Mu'jamul Kabir (18/247), disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam takhrij As Sunnah karya Ibnu Abi 'Ashim, hal 19).
Yang demikian itu karena agama Islam itu telah sempurna, sebagaimana yang Allah katakan dalam firman-Nya,
"Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untukmu agamamu dan Aku sempurnakan atas nikmat-Ku dan telah
Aku ridhai Islam sebagai agamamu." (Al Maidah: 3).
Kemuliaan yang diberikan oleh
Allah subhanahu wata’ala ini adalah nikmat yang besar. Allah memberikan
syariat secara sempurna dan Allah subhanahu wata’ala tidaklah menginginkan umat ini menderita kepayahan karena berlebihan dalam mengamalkan syariat. Yang dimaukan oleh Allah azza wa jalla adalah kemudahan. Sebagaimana firman-Nya,
“Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan." (Al Baqarah: 185)
Akan tetapi tengoklah di
sekeliling kita wahai saudaraku, apabila kita melihat di hari ini,
muncullah kelompok/sekte-sekte baru yang ghuluw (berlebihan) diantara
mereka adalah Syiah, Khawarij, Sufiyah, Ikhwanul Muslimin (Tarbiyah) dan
Sururiyah. Maka celakalah orang yang demikian sampai-sampai Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, “tidak menyimpang kecuali orang yang binasa."
Dan Alhamdulillah Allah telah
memberikan petunjuk melalui lisan nabi-Nya, bagaimana cara agar kita
tetap diatas kesempurnaan Islam? Yaitu dengan memegang teguh kitabullah dan sunnah nabi-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam,
"Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang jika kalian berpegang dengannya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selama-lamanya yaitu Kitabullah dan sunnah-ku." (HR. Malik (2/899), Ibnu Nashr dalam As-Sunnah (68), Al Hakim dalam Al Mustadrak (1/93). Syaikh Al Albani menilai hasan hadits ini dalam ta'liqnya terhadap kitab Al Misykaat (186)).
Allah azza wa jalla sendiri telah memerintahkan manusia untuk mengikuti kedua perkara tersebut, sebagaimana firman-Nya,
"Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah jalan itu dan kamu jangan mengikuti jalan-jalan yang lain sehingga kalian berpecah-belah dari jalan Allah. Itulah yang Allah wasiatkan padamu agar kamu bertaqwa." (Al-An'am: 153)
Jadi yang namanya al haq itu jelas dan sumber-sumber rujukan juga nyata. Adapun ahlul
bid’ah baik di zaman ini dan zaman belakangan telah mengambil sunnah
setengah-setengah dan yang setengah lainnya adalah hawa nafsu.
Mereka campur adukkan yang sunnah dan yang bid’ah kemudian mereka poles
dengan kata-kata “Islami”. Wal iyadzubillah. Akan tetapi mereka tidak akan mampu meruntuhkan dua landasan agung ini. Karena Allah azza wa jalla berfirman,
“Mereka ingin memadamkan
cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka namun Allah terus menyempurnakan
cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir itu benci (tidak menyukainya).” (Ash-Shaff: 8)
Dan Allah subhanahu wata’ala
menjadikan dua sumber rujukan ini tidak lekang dihapus waktu karena
Allah berjanji sebagaimana firman-Nya,
"Kamilah yang menurunkan adz-dzikr (Al-Qur'an) dan Kamilah yang akan menjagannya." (Al Hijr: 9).
Maka ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya kesempurnaan dien ini akan tetap dijaga oleh Allah tabaroka wata’ala melalui penjagaan ahlusunnah. Sehingga mereka “para ahlul hawa wal mubtadi” tidak akan pernah bisa memadamkan kedua cahaya ini
Tidak ada seorangpun ahlul bidah melainkan penyimpangannya telah dibantah oleh ulama ahlusunnah.
Ketika mereka melakukan perubahan tafsir, lafadz, makna, atau juga
syariat maka bangkitlah para ulama ahlusunnah untuk membantah perubahan
yang mereka lakukan terhadap dien ini. Dengan demikian tegaklah
tonggak kemurnian Islam. Serta terwujudlah apa yang Allah janjikan yaitu
penjagaan-Nya terhadap dien ini.
Allah azza wa jalla sendiri telah menunjukkan cara untuk mempertahankan cahaya Islam dari penyelewengan ahlul bidah. Allah
tabaroka wata’ala banyak memuji orang-orang beriman tanpa menyebutkan
kesalahannya sedikitpun namun sebaliknya, Allah banyak mencela orang
kafir, munafik, dan fasik tanpa menunjukkan kebaikan mereka sedikitpun. Allah mensifati mereka dengan sifat kufur, nifaq, fasiq, buta, tuli.
Di antara contoh ayat-ayat Al
Qur’an yang berisi tahdzir dari kebatilan dan para pelakunya dengan
mencerca dan memberi gelaran-gelaran buruk bagi mereka, adalah firman
Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar orang-orang ‘alim Yahudi dan rahib-rahib Nashrani benar-benar telah memakan harta manusia dengan cara yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At Taubah: 34)
“Dan bacakanlah kepada mereka
berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami
(pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian ia melepaskan diri dari
ayat-ayat itu lalu ia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka
adilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi
dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah. Maka
perumpanaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dia mengulurkan
lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia pun mengulurkan lidahnya. Demikian
itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al A’raf: 175-176)
“Perhatikanlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan tentang engkau, maka sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu).” (Al Furqan: 9)
Inilah contoh celaan dan kritik
yang sangat tajam serta tahdzir yang sangat pedas dalam Al Qur’an dari
kebatilan dan orang-orangnya. Allah juga menegaskan untuk menjauhi dan
memboikot ahlul bid’ah,
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka jangalah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan tersebut).” (Al An’am : 68)
Tahdzir (tahdzir ialah
memperingatkan manusia dari pelaku kebid’ahan dan
kemaksiatan/kejahatan), cercaan, dan sikap keras terhadap ahlul bid’ah
juga ditunjukkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam.
Kita semua sepakat, bahwa Rasulullah memiliki akhlaq yang termulia dan
terbaik, sebagaimana direkomendasikan dengan tegas oleh Allah di dalam
firman-Nya,
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berakhlaq yang sangat tinggi.” (Al Qalam: 4)
Sampai-sampai Aisyah radhiallahu ata’alanha mengatakan,
“Akhlak beliau adalah al Qur’an” (HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 746 dari jalan Hisyam bin Amir radhiallahu anhu)
Maka tengoklah perangai
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dalam bermuamalah. Ketika melihat
orang yang salah shalatnya, beliau berkata, "Kembali dan shalatlah,
sesungguhnya kamu belum shalat." Beliau mengulangi perintahnya sampai
berkali-kali kemudian berkata, "Sungguh tidak ada yang lebih baik
shalatnya kecuali orang ini!" (Lihat HR. Bukhari no. 757 dan Muslim no.
883)
Beliau mengajarinya shalat dan tidak memperingatkan manusia darinya, tidak menuduh sesat dan bid'ah tetapi mengajari cara shalat yang benar.
Contoh lain adalah seorang
sahabat yang menyangka tidak boleh makan minum hingga tampak "benang
putih dan benang hitam" di bulan Ramadhan. Ia letakkan dua benang putih
dan hitam di bawah bantalnya ketika tidur. Ketika terlihat perbedaan
warna kedua benang itu, maka ia pun tidak makan dan minum. Padahal
sebenarnya yang dimaksud dalam ayat dengan "benang putih dan hitam"
adalah terbit fajar. (Lihat HR Bukhari 4/114 dan Muslim no. 1091).
Nabi menerangkannya dan tidak memerintahkan manusia mewaspadai orang ini (yang keliru karena tidak tahu).
Namun ketika beberapa sahabat
mendatangi Nabi shallallahu alaihi wassalam dan melihat ibadah beliau,
maka mereka merasa kalau ibadah mereka selama ini terlalu sedikit, dan
ingin menambah-nambah ibadah dari apa yang telah dituntunkan beliau.
Mengetahui ini, Rasulullah pun menjadi sangat marah, lantas berkhutbah
dengan menyebutkan ibadah-ibadahnya, bahwa beliau shalat dan tidur,
puasa dan berbuka, serta menikahi wanita. Setelah itu beliau
memerintahkan mereka dan berkata, "Barangsiapa membenci sunnahku maka
bukan dari golonganku". (Lihat HR. Bukhari no. 4675 dan Muslim no. 2487)
Disini kita dapati sikap beliau berbeda dengan sikap terhadap orang pertama. Mengapa? Karena mereka telah membuka pintu-pintu ghuluw.
Tengok pula kisah sahabat Ammar bin Yasar radhiallahu
anhu yang kedapatan meminum khamr, maka ia pun dihukum cambuk, dan pada
waktu itu sebagian sahabat mencercanya. Maka beliau shallallahu alaihi
wassalam pun mencegah para Sahabat seraya mengatakan bahwa dia masih
mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dengan ini, dapat kita simpulkan bahwa beliau mengubah tata caranya dalam bertindak. Berbeda ketika menghadapi orang yang ingin menambah ibadah di luar batasan syariat.
Tengok pula ketika Dzul Khuwaishirah
berkata kepada beliau, "Hai Muhammad, bersikap adil-lah, engkau belum
berbuat adil!" Beliau memberi isyarat kepadanya dan berkata,
"Akan keluar dari perut orang
ini beberapa kaum, yang yang kalian akan merendah bila shalat kalian
dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dibandingkan dengan
puasa mereka, amal-amal kalian dibanding dengan amal-amal mereka. Mereka
membaca Al-Qur'an akan tetapi tidak sampai ke tenggorokan mereka (tidak
paham), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari
buruannya. Seandainya aku menjumpai mereka maka aku akan membinasakan
mereka seperti Allah membinasakan kaum 'Ad. Barang siapa membunuh mereka
maka mendapat pahala sekian dan sekian dan barangsiapa dibunuh mereka
maka mati syahid." (Lihat HR. Bukhari no. 5058 dan Muslim 147/1064)
Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda,
“Ketahuilah bahwa mereka adalah anjing-anjing penduduk neraka.”
(HR Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah no. 156, HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam
As-Sunnah no. 428 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah
dalam Zhilalul Jannah, Lihat Al Fath Ibnu Hajar Asqalani rahimahullah 2/46, 205)
Rasulullah shalallahu alaihi wasalam juga bersabda,
“Mereka adalah anjing-anjing neraka, seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” (HR. At Tirmidzi, no. 3000, dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, dihasankan Syaikh Al Albani dalam Al Misykah, no. 3554)
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam mentahdzir orang ini serta mentahdzir kaum khawarij yang keluar dari perut orang ini.
Hal ini bisa diterangkan dari sisi bahwa penyelisihan terhadap syariat
itu bermacam-macam. Orang terakhir ini tidaklah seperti orang yang
pertama dalam contoh-contoh di atas. Ia menyelisihi perkara akidah,
menentang hukum Rasulullah, mencela pembagian dan amanah Rasulullah.
Oleh karena itu beliau bersabda, “Mengapa kalian tidak percaya padaku, sedangkan aku dipercaya oleh Dzat yang ada di langit ?”
Maka ketahuilah wahai saudaraku
bahwasanya sikap keras dan tegas yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
shalallahu alaihi wasalam pun telah dicontoh pula oleh para sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Abdullah bin Abbas radhiallahu anhu, ketika beliau berbicara tentang Al Qadariyyah, “Demi Allah, tidaklah turun ayat: “Rasakanlah oleh kalian adzab neraka Saqar Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ketetapan taqdir.”
(Al Qamar: 48-49), melainkan ditujukan kepada mereka. Mereka itu
adalah sejelek-jelek umat ini, jangan kalian jenguk orang yang sakit di
antara mereka, jangan kalian shalati orang yang mati dari kalangan
mereka. Bila aku melihat salah seorang dari mereka, niscaya aku akan mencungkil kedua matanya dengan dua jariku ini.” (Tafsir Aisirul Karim surat Al Qamar 48-49 karya Ibnu Abbas radhiallahu anhu)
Abdullah bin ‘Umar radhiallahu anhu ketika disampaikan kepada beliau perihal Qadariyah,
“Jika engkau berjumpa dengan mereka, sampaikan bahwa aku berlepas diri
dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi dzat yang Abdullah bin
‘Umar bersumpah dengan-Nya (Allah), jika salah seorang dari mereka
mempunyai emas sebesar gunung Uhud kemudian menginfakkannya, niscaya tidak akan diterima oleh Allah sampai ia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, 1/1)
Wahai saudaraku, adapun ahli ilmu mereka seluruhnya bersikap keras terhadap ahlul bid’ah. Karena Ahli Bid'ah akan berbuat seperti Bani Israil terhadap kitab Taurat dan Nashara terhadap kitab Injil. Mereka memperlakukan kedua kitab itu dengan jalan bid'ah.
Satu generasi datang lalu
menafsirkan Taurat. Sebagian lain menulis Taurat dari hasil pikirannya.
Sebagian lainnya menafsirkan dengan logika sendiri yang tidak
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, yakni Musa alaihi Salam. Jadi kitab
Taurat ini memiliki beberapa tafsiran dan pada saat sama dijadikan
rujukan (kitab) suci.
Demikian juga kitab Injil
ditafsirkan dalam banyak pemahaman sehingga menjadi rujukan utama.
Dimasukkanlah ke dalam agama Isa alaihis Salam perkara baru dan
menjadilah perkara itu seolah agama yang datang dari sisi Isa. Padahal
kenyataannya itu adalah bid'ah yang dilakukan oleh para pendeta dan
ulama jahat mereka.
Seandainya setiap bid'ah
dimasukkan ke dalam agama, sehingga terjadi kebid'ahan dalam akidah,
akhlak, suluk dan dakwah niscaya akan keluar "agama baru" yang sama
sekali lain dari agama yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi
wassalam.
Oleh karena itu kita mendapati
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersikap keras terhadap setiap
perkara baru dalam agama, baik berupa pengurangan ataupun penambahan. Adapun
orang yang masih mengikuti syariat namun terjatuh ke dalam dosa besar,
beliau jelaskan larangannya dan tegakkan hukuman jika memang terdapat
ketentuan hukumnya. Sesungguhnya orang ini tahu bahwa perbuatannya bukan
dari agama Allah dan ingin bertaubat. Berbeda dengan orang yang
mengadakan perkara bid'ah dan meletakkannya pada posisi agama yang ia
serukan.
Sebut saja Syi'ah Rafidhah
yang telah menciptakan bid'ah yang sangat besar sehingga menjadikan
sebagian kaum muslimin keluar dari Islam. Demikian pula orang-orang sufi
yang telah sampai pada tahap keyakinan "wihdatul wujud" (menyatunya
Allah dengan Makhluk). Fenomena inilah yang mendorong kita untuk tetap
berjalan di atas petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dalam
menyikapi Ahli Bid'ah dan pelaku dosa besar. Agar kita tidak seperti Khawarij yang sesat dalam menyikapi pelaku dosa besar. (Al Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal Ibnu Hazm rahimahullah, 2/113)
Dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
telah membantah prisip Khawarij ini dengan menyatakan bahwa pelaku dosa
besar tidaklah kafir. Dan mereka telah menyebutkan banyak dalil yang
membantah prinsip golongan sesat ini serta menerangkan bagaimana sikap
yang sebenarnya terhadap pelaku dosa beasr dan kebid'ahan di kalangan
Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Yang saya tekankan disini adalah bahwa kita
harus mengetahui sikap yang sepatutnya terhadap orang-orang yang
menyelisihi syariat. Dan itu sudah terdapat dalam kitab-kitab salaf (pendahulu kita yang shalih).
Ketika golongan Khawarij sesat dalam bermuamalah maka para salaf membantah mereka. Demikian pula ketika muncul bid'ah Murji'ah
yang menyatakan bahwa dosa-dosa besar tidak mempengaruhi Iman, para
Salaf membantah mereka dan menempatkan duduk persoalan pada posisi yang
sebenarnya. (Lihat Aqidah Salaf Ashabul Hadits Imam Abu Ismail Ash Shabuni dengan ta’liq Abul Yamin Al Manshuri, I/19)
Pada waktu muncul gerakan Mu'tazilah, para imam Salaf juga membantahnya. Seperti Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah yang memancangkan bendera Ahlus Sunnah, membantah dan berdiri tegak pada posisi yang telah kita ketahui (Lihat Aqidah Salaf Ashabul Hadits Imam Abu Ismail Ash Shabuni dengan ta’liq Abul Yamin Al Manshuri, I/19). Demikian juga Imam Ad-Darimi, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan selain mereka, telah membantah pikiran-pikiran yang menyimpang seperti Shufiyah, Jahmiyah dan lainnya. (Lihat Siyar A’lamin Nubala Imam Adz Dzahabi)
Wahai saudaraku, tengoklah
penyimpangan-penyimpangan manhaj ikhwani yang telah keluar jauh dari
kesempurnaan Islam. Aku akan membawakan sekelumit bukti dan fakta:
1. Hasan Al Bana menganjurkan bersahabat dengan Yahudi karena permusuhan dengan mereka bukan permusuhan karena agama
Kesimpulan ini aku sarikan dari perkataannya: “Maka
saya tetapkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan permusuhan
karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dengan
mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat
kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan
antara kita dengan mereka… dan ketika Allah ingin menyinggung masalah
Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya….” (Al Ikhwanul Al Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164)
Maka aku katakan: Apa yang pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (Al-Baqarah: 85)
Ke mana hafalan Al-Qur`an-nya?
Siapapun yang membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi,
mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi
Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, dan beberapa kali berusaha
membunuh Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Apakah ini semua tidak pantas
menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam
pandangannya?
2. Sebagian penasehat Ikhwani adalah Nashrani
Kesimpulan ini aku sarikan dari
perkataan Yusuf Al Qardhawi: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan yang
berkorban untuk Islam. Madrasah ini, yang memimpinnya adalah seorang
yang mempunyai ciri khas keseimbangan dalam pemikiran, gerakan, dan
hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini sendiri adalah umat
dari sisi ini, di mana dia bisa bergaul dengan semua manusia, sampai-sampai
sebagian penasehatnya adalah orang-orang Qibthi -yakni suku bangsa di
Mesir yang beragama Nashrani- dan ia masukkan mereka ke dalam departemen
politiknya…” (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4)
Maka aku katakan: Wal iyadzubillah apakah dia tidak pernah membaca firman Allah tabaroka wata’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar
kalanganmu, (karena) mereka tidak henti- hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.
Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh
hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu
ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)
3. Qaradhawi berupaya mengadakan pendekatan antar agama dan dia juga menghadiri muktamar orang kafir
“Pada tahun ini, bulan Mei yang
lalu saya menghadiri sebuah muktamar di Moskow. Muktamar itu membahas
tentang Islam dan bagaimana saling memahami antar agama dan
masyarakat-masyarakat lain. Yang mengikutinya adalah orang-orang
Nashrani dan Yahudi serta agama-agama selain mereka. Dan di akhir
musim panas, saya menghadiri pesta penghormatan untuk pertemuan
orang-orang Kristen dengan sebagian muslimin, yang diprakarsai oleh
Majelis Gereja untuk Timur Tengah.” (Koran Asy-Syarqul Ausath, edisi 2789, Jumada Ats-Tsaniyah 1416, bertepatan dengan 1995 M)
Buah dari pernyataan dan
perbuatannya itu, ia menyatakan siap untuk mengadakan pendekatan antar
agama. Yang disayangkan, ia memposisikan dirinya sebagai juru bicara
muslimin. Ia pun mencari titik temu antar agama dan mengatakan tidak ada
jihad dalam Islam kecuali jihad untuk membela diri. Bahkan menyatakan
peperangan dengan Yahudi bukan karena agama tapi karena tanah, katanya: “Kami
tidak memerangi Yahudi karena aqidah. Kami hanyalah memerangi mereka
karena tanah. Kami tidak memerangi orang-orang kafir karena mereka
kafir, tapi karena mereka merampas tanah dan rumah kami serta
mengambilnya tanpa hak.” (Ar-Rayah, edisi 4696) [kutipan-kutipan ucapannya ada dalam dalam buku Raf’ul Litsam dan lainnya]
4. Qaradhawi mengatakan bahwa orang Islam dan orang Kristen saudara seiman
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”. Ya, kita (kaum muslimin-pent.) adalah orang-orang beriman, dan mereka (para penganut agama Kristian) juga orang-orang beriman dilihat dari sisi lain.” (Fatwa Kontemporer, 2/668)
Melalui acara yang sama, Al-Qardhawi mengatakan –berkenaan dengan orang-orang Kristen Qibti (di Mesir)- bahwa orang-orang Kristian Qibti pun dapat mempersembahkan barisan syuhada’
(orang-orang yang mati syahid). (Maksud Al-Qardhawi, orang-orang
Kristian Qibti pun (di Mesir) tergolong orang-orang beriman, sehingga
orang-orang yang mati dalam peperangan dari kalangan mereka dinilai
sebagai syuhada’ (orang yang mati syahid), pent.)
Al-Qardhawi berkata: “Sesungguhnya rasa cinta (persahabatan) seorang muslim dengan non-muslim bukan merupakan dosa.” (Lihat kitab “Ghairul Muslimiin fii Al Mujtama’ Al Islaamiy”
(Kelompok-kelompok Non-muslim Di Bawah Naungan Syari’at Islam), cetakan
ke empat, tahun 1405H, halaman 68. Dan Al-Qardhawi mengemukakan pula
pernyataan ini melalui acara di atas (acara Asy Syari’ah wal Hayaah)
5. Muhammad Al Ghazali mengingkari hukum waris padahal telah jelas ketetapannya
Berkata Muhammad Al Ghazali
(Tokoh ikhwani bermadzab mutazilah) dalam rangka istihzaa (melecehkan)
Ahlil Hadits inilah apa yang dikatakan: “Ahli hadits menjadikan
diyatnya wanita separuh dari diyatnya laki-laki dan ini merupakan
pemikiran dan akhlaq yang jelek ditolak oleh Fuqahaa' al-Muhaqiqun” (as-Sunnah an-Nabawiyah; hlm, 19.)
Padahal Allah azza wa jalla berfirman,
“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan” (An Nisa: 176)
6. Hasan At Turabi (Tokoh Ikhwani Sudan) membolehkan pengikutnya murtad
“Aku ingin berkata bahwa dalam lingkup daulah yang satu dan perjanjian yang satu, boleh bagi seorang muslim -sebagaimana boleh pula bagi seorang Nashrani- untuk mengganti agamanya.” (Ucapan ini dinyatakan di Universitas Khurthum Sudan, seperti dinukil oleh Ahmad bin Malik dalam Ash-Sharimul Maslul fi Raddi ‘ala At-Turabi Syaatimir Rasul, hal 12)
Padahal Allah azza wa jalla berfirman,
“Barangsiapa yang murtad
di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka
itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah: 217)
7. Sayyid Quthb -semoga Allah mengampuninya- telah mentakwil Al Qur’an
Sayyid Quthb -semoga Allah
mengampuninya- berkata di dalam Fi Zhilalil Qur’an (menafsirkan) firman
Alloh Ta’ala, “Ar-Rahman (Allah yang Maha Pemurah) yang beristiwa` di
atas Arsy.” (Thoha : 5). “Adapun istiwa` di atas Arsy dapat kita
katakan bahwasanya istiwa` ini merupakan kinayah (kiasan) dari
al-Haimanah (penguasaan) atas makhluk (ciptaan)-Nya ini.” (Azh-Zhilal 4/2328 dan 6/3408, cet. Ke-12, Darul ‘Ilmi).
Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullahu berkata: “Ini semua adalah ucapan yang fasid (rusak), (ia
mengatakan) hal ini (istiwa`) maknanya adalah penguasaan, dan ia tidak
menetapkan istiwa`. Ini artinya ia mengingkari istiwa` yang telah ma’ruf
(diketahui maknanya), yaitu al-‘Uluw (ketinggian) di atas Arsy. Pendapatnya ini batil menunjukkan bahwa dirinya adalah miskin (lemah) dan dhoyi’ (kosong ilmu) terhadap tafsir.” (Minhajus Sunnah, Riyadh 1413H).
8. Sayyid Quthb mencela Nabi Musa alaihisalam
Kemudian beliau (Sayyid Quthb) berkata tentang firman Allah Ta'ala: "Karena itu jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan rasa khawatir."
Berkata Sayyid Quthb: "Hal itu merupakan suatu ungkapan yang
menggambarkan keadaan suatu kondisi yang telah diketahui, yaitu kondisi
orang yang khawatir ketakutan dan merasa was-was dengan keburukan dari
tiap gerak-geriknya, dan inilah ciri orang-orang yang fanatik itu." (Tashwirul Fanni 200/201/203, Darul Masyruq).
Berkata Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahi tatkala dibacakan kepada beliau ucapan ini: “Menghujat para Nabi adalah perbuatan murtad yang mengeluarkan dari Islam.” (Minhajus Sunnah, Riyadh 1413H)
Wahai saudaraku, lihatlah
penyimpangan-penyimpangan yang telah dilakukan para pembesar ikhwani.
Apakah engkau akan diam saja? Atau engkau akan berkata “Hendaknya
bantahlah mereka dengan cara hikmah (ahsan menurutmu)!”
Maka aku katakan: kaidah inilah yang disebut hikmah saudaraku yaitu kaidah yang diambil dari al Quran dan as Sunnah yaitu menghajr (memboikot). Dan bukanlah hikmah itu seperti yang engkau maukan dengan berlemah lembut.
Maka kritikan kedua yang ingin aku sampaikan adalah: Bahwasanya terkadang dosa adalah sesuatu hal yang nampak
karena Allah tabaroka wata’ala telah memberikan petunjuk manakah
perbuatan dosa dan manakah yang bukan perbuatan dosa. Allah terangkan
dalam firman-Nya,
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi…” (Al An’am: 120)
Perhatikanlah firman Allah azza
wa jalla diatas wahai saudaraku, bahwasanya kita pun bisa menilai apakah
seseorang berdosa atau tidak melalui kedua sumber agama ini. Dan aku
merasa adalah tidak tepat apabila engkau mengatakan “Hanya Allah yang
berhak menyatakan seseorang/sekelompok orang itu berdosa atau tidak”
Maka untuk terakhir kalinya wahai saudaraku, inilah
yang disebut dengan “berlomba-lomba dalam kebaikan” yaitu menjelaskan
kesesatan agar umat tidak terjatuh dalam penyimpangan yang lebih besar
sebagaimana kaum Yahudi dan Nashara. Bagaimana mungkin antum bisa mengatakan bahwa apa yang aku lakukan disini bukanlah berlomba-lomba dalam kebaikan?
Allah memberikan bimbingan
kepada manusia. Maka dengan ini aku mendudukkan sesuatu pada tempatnya
yaitu menjadikan firman Allah dan perkataan Rasulullah shalallahu alaihi
wasalam sebagai hakim dalam permasalahan ini. Sebagaimana firman Allah
azza wa jalla,
“Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa: 65)
Wahai saudaraku, apakah engkau
akan menerima nasehat ini? Sedangkan Allah tabaroka wata’ala berfirman,
“tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”?
Adalah Ahlus Sunnah memiliki
sikap yang tegas di hadapan golongan-golongan yang menyimpang tersebut.
Dan sikap mereka dapat kita baca dalam kitab-kitab mereka seperti
kitab-kitab karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa’ atau Aqidah Washitiyah, Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin atau Zadul Maad, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab
dalam Kitabut Tauhid, Kasyfu Syubhat atau Masaa’il Jahiliyah. Sampai
hari ini ulama Ahlus Sunnah senantiasa memperingatkan ahli bid'ah dalam
rangka menjaga agama, agar agama tetap murni dari penyimpangan dan
penggantian sebagaimana yang telah dilakukan Bani Israil di zaman
terdahulu. Dan cara yang mereka tempuh untuk adalah dengan Kaidah Jarh wa ta’dil yang telah aku sebutkan diatas.
Allahu a’lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar